Bagian#19

29.3K 2.4K 51
                                    

Fabian terkesiap saat mendapati Axel berada di luar pintu. Dia menatap Fabian dengan senyuman hangatnya itu. Fabian diam selama beberapa saat karena jantungnya tiba-tiba berdegup dengan kencang.

"Itu sangat mengejutkan." Balas Fabian secara jujur.

"Benarkah?!"

"Ya, Melebihi ekspektasi, Kak Axel. Eh, maaf maksud saya Pak Axel?"

Axel yang melihat Fabian tiba-tiba berbicara dengan formal kepadanya. Dia tidak bisa menganggap Fabian begitu lucu dan manis. Dia bahkan ingin mencubit pipi Fabian karena saking gemesnya.

Tapi, dia lebih memilih mengusak rambut Fabian dan berkata sambil terkekeh pelan, "Ada apa dengan panggilan aneh itu?"

"Saya tidak bisa berbicara santai seperti dulu lagi. Kak Axel— maksudku Pak Axel sekarang dosen saya." Kata Fabian sambil menggaruk pipinya pelan karena merasa malu sendiri.

"Entah aku dosen atau apapun. Aku tetaplah temanmu. Benarkan?"

"Itu, benar. Tapi—"

"Sudah. Jangan berdebat lagi. Bagaimana kalau kita ke kantin. Walaupun belum jam makan siang, aku merasa lapar."

"Boleh, Kak— Pak Axel."

Axel kembali terkekeh melihat Fabian yang terbata. Itu karena dia tidak terbiasa memanggil Axel dengan sebutan barunya.

Keduanya pun pergi ke kafetaria kampus. Sepanjang perjalanan Axel selalu menggoda Fabian. Fabian cukup kewalahan. Setelahnya mereka duduk di salah satu bangku kosong. Axel berdiri dan pergi untuk memesan makanan. Tidak lama setelahnya, dia membawa nampan berisi dua mangkuk bubur ayam.

"Kamu tidak perlu memanggilku dengan sebutan Pak."

"Itu tidak mungkin. Pak Axel adalah orang yang perlu saya hormati dari sekarang."

Fabian mengucapkan terima kasih untuk mangkuk bubur yang diberikan Axel. Walaupun terlalu siang untuk makan bubur, Fabian tidak mengeluh. Karena ini cukup untuk mengisi kekosongan perutnya.

Axel duduk di seberang meja, kemudian menatap Fabian yang lahap makan bubur di depannya. Dia tersenyum begitu bahagia. Seolah puas melihat Fabian.

"Kenapa Pak Axel?"

Fabian bertanya karena merasa sejak tadi, dia selalu diperhatikan Axel. Dia menjadi gugup dan malu sendiri.

"Aku lebih senang kamu memanggilku dengan sebutan 'Kak'. Karena dengan begitu, aku merasa hubungan di antara kita menjadi lebih dekat dibandingkan panggilan 'Pak' yang membuatku terasa semakin jauh."

"Tapi, diluar kampus saya masih bisa memanggil Kak Axel."

Atas pernyataan itu, Axel tersenyum lebar. Dia ingin menggapai Fabian tapi, sayang dia harus menahannya sekarang ini. Jadi dia menarik lagi tangannya.

"Aku senang dengan ide itu."

Kemudian keduanya kembali tenggelam dengan makanannya. Mereka begitu asik makan, sampai tidak menyadari kalau kafetaria mulai dipenuhi oleh mahasiswa yang karena sudah masuk jam makan siang.

"Kenapa Kak Axel—maaf. Pak Axel tidak memberitahu saya ini sejak awal." Keluh Fabian karena merasa dia dibohongi oleh Axel.

"Sepertinya kamu kecewa. Maafkan aku. Sebenarnya waktu terakhir kali kita bertemu—saat aku tidak bisa mengantarmu pulang. Waktu itu aku mendapat panggilan dari ayahku. Dia memintaku untuk datang dan menggantikan Pak Budiarjo yang adalah salah satu temannya. "

Fabian mendengarkan cerita Axel secara seksama. Axel begitu banyak berbicara. Dia menjelaskan dengan ringan dan riang. Berbeda dengan suara tegas dan berwibawa nya ketika menjadi dosen beberapa waktu lalu.

[BL] Second Time |Fabian&Devan|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang