"Kenapa dia ada disini?"
Keluh Fabian dengan suara kecil sambil melirik ke samping kanan. Disana ada Devan bersama Laura. Tangan Devan memegang bahu Laura dengan erat sambil melihat koleksi ponsel di depan mereka.
"Dia tidak mungkin mengikutiku, kan?"
"Ada apa Bian?"
Fabian menoleh ke samping kiri, melihat Axel. "Tidak kak. Hanya bingung memilih ponsel. Apa Kak Axel punya rekomendasi?"
"Aku ada! Tunggu. Akan aku pilihkan yang terbaik untukmu!"
Axel tampak sangat bersemangat, padahal Fabian yang hendak membeli ponsel, bukan dirinya. Fabian hanya tersenyum tipis melihat kelakuan Axel yang begitu ceria. Dia seperti membawa aura positif disekitarnya.
Lebih baik Fabian fokus kepada dirinya dan Axel. Tidak perlu memusingkan Devan. Mereka tidak ada hubungannya sama sekali. Devan berada disini mungkin karena mau membelikan Laura ponsel baru.
Fabian kemudian mendengarkan setiap penjelasan dari Axel. Bahkan dia lebih banyak berbicara dibandingkan pegawai toko. Dia terlihat seperti seorang sales berpengalaman.
"Ini adalah model terbaru. Dua kamera di belakangnya menambah rasa mewah. Bentuknya juga pas dipegang satu tangan. Dan tidak terlalu berat untuk dipegang dalam waktu yang lama. Apalagi layarnya jernih dan tidak akan membuat matamu lelah karena lama menatap layar ponsel. Selain itu—"
"Cukup Kak Axel. Aku mengerti."
Axel tersenyum lebar, "Jadi, kamu pilih ini?"
"Ya. Aku pilih warna putih."
"Pilihan bagus!"
Selesai melakukan pembayaran, pegawai toko membuka dus ponsel dengan apel digigit itu. Dia menjelaskan kalau dua ponselnya masih tersegel sempurna. Dan belum pernah dibuka sama sekali.
"Mas, bisa memindahkan data dari ponsel saya lama?"
"Bisa, Kak."
Fabian pun menyerahkan ponsel lamanya itu kepada pegawai toko. Itu karena dia pikir, takutnya ada data penting perkuliahan yang diperlukannya nanti.
"Ini, Kak semua datanya sudah bisa dipindahkan." Kata pegawai setelah berkutat selama setengah jam dengan pekerjaannya.
"Terima kasih, Mas."
"Iya, sama-sama."
"Ayo, Kak Axel. Kita pergi. Aku sudah selesai."
"Iya."
Fabian beranjak dari kursinya dan mengajak Axel keluar bersamanya. Melewati Devan yang masih sibuk dengan Laura.
Kemudian Axel mengajaknya pergi ke salah satu restoran untuk makan siang. Fabian setuju karena dia juga telah lapar. Dan pilihan mereka jatuh kepada salah satu restoran sushi.
Sambil menunggu pesanan datang, Fabian mulai mengecek isi dari ponselnya. Hanya untuk menemukan kalau ternyata banyak file yang berhubungan dengan Devan dari ponsel lamanya.
"Seharusnya aku tidak memindahkan datanya." Keluh Fabian dengan suara kecil.
"Kenapa Bian? Apa kamu tidak suka dengan ponselnya?" Tanya Axel yang melihat wajah Fabian yang cemberut. Dia tidak mendengar gumaman Fabian.
"Tidak. Hanya saja aku perlu menghapus banyak file tidak berguna."
"Begitukah?"
"Ya."
"Apa itu berhubungan dengan orang yang ingin kamu lupakan?"
Saat mendengar pertanyaan itu, Fabian tiba-tiba membeku. Bukan, bukan karena merasa tidak nyaman atas pertanyaan itu. Melainkan tidak jauh dari mereka, dia melihat Devan dan Laura duduk di salah satu meja.
"Ya, seperti itu."
"Tindakanmu benar. Langkah pertama untuk melupakan seseorang itu adalah dengan menghapus semua kenangan yang berkaitan dengannya."
Fabian tersenyum nanar, benar apa yang Axel katakan. Fabian pun mengangguk setuju.
Setelahnya, pesanan datang, selama beberapa saat tidak ada pembicaraan diantaranya hingga mereka selesai makan.
"Bisakah aku meminta nomormu?" Tanya Axel dengan suara lembut.
"Tentu." Fabian setuju. Dia rasa tidak salahnya menambahkan Axel dalam daftar kontaknya. Apalagi saat menemukan kalau di daftar kontaknya hanya ada kedua orang tuanya, kakaknya, dan tentu saja Devan.
Fabian menerima ponsel Axel dan menyimpan nomornya disana. Begitu juga sebaliknya. Axel terlihat sangat senang.
"Seharusnya aku punya nomormu sejak dulu. Tapi, aku terlalu malu kala itu. Apalagi kakakmu kadang terlalu protektif terhadapmu."
"Ya." Fabian hanya menjawab dengan singkat. Bingung harus merespon seperti apa.
"Bisakah, kita berteman?"
"Eh?"
Fabian cukup kaget saat Axel meminta berteman dengannya. Itu karena selama ini tidak pernah ada yang mau berteman dengannya. Salah satunya karena kelakuan buruk Fabian. Selain itu, dia tidak ingin ada orang yang masuk dalam hidupnya. Karena Devan lebih penting dari siapapun.
"Tapi, aku lebih muda dari Kak Axel." Jawab Fabian dengan canggung. Itu karena jarak usia diantara mereka sekitar 8 tahun.
"Kenapa perlu pusing dengan usia. Jika kita sama-sama nyambung, kenapa tidak?"
"Tapi, Kak Axel jangan menyesal."
Axel mengerutkan keningnya, "Kenapa aku harus menyesal?"
Sesaat sebelum Fabian menjawab, dia merasa ada yang mengawasinya sejak tadi. Jadi dia menoleh ke arah depan sana. Di balik tubuh Axel, tatapan tajam Devan menghunus seperti pedang yang siap melukai matanya.
Fabian buru-buru menarik lagi matanya. Dia merasa tidak nyaman. "Kenapa dia menatapku seperti itu?" Keluh Fabian dalam hatinya. Dia kemudian menghela nafas pelan.
"Tapi, aku tidak tahu bagaimana cara berteman."
Mungkin ini terdengar tidak masuk akal, tapi Fabian tidak berbohong. Dia selama ini hanya berteman dengan Devan. Jadi, jika dengan orang lain dia takut melakukan keselahan. Apalagi dulu kelakuannya berada di luar batas wajar diantara pertemanan.
"Hehe... aku tidak tahu kamu bisa selucu ini."
Axel terkekeh pelan. Senyuman begitu berseri. Kemudian sedikit mendekat ke arah Fabian lalu mengusap rambutnya dengan lembut.
"Tidak usah khawatir soal itu. Aku akan mengajari kamu."
Fabian pun mulai tersenyum secara perlahan. Dia mengangguk dengan pelan. Lebih baik mulai sesuatu yang baru, daripada terus terpaku dengan sesuatu yang jelas-jelas tidak mau menerimanya.
Tak sengaja, pandangan Fabian melihat ke belakang tubuh Axel. Kali ini, Devan tidak menatapnya dengan tajam. Namun begitu dingin. Begitu dingin sampai Fabian yang duduk beberapa meter darinya merasakan dingin itu. Tapi Fabian tidak mau peduli, jadi dia mengabaikannya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Second Time |Fabian&Devan|
FantasyFabian sangat terobsesi dengan sehabatnya, Devan. Tapi, karena hal itu, hidupnya pun menjadi hancur. Itulah yang terjadi di kehidupan pertama Fabian, saat dia diberi kehidupan kedua. Dia bertekad untuk tidak terobsesi lagi dengan Devan. Namun yang m...