Bagian#22

26.6K 2.2K 31
                                    

"Ibu, Ayah, Kak Rian. Aku ingin latihan bela diri!"

Seruan Fabian secara tiba-tiba di meja makan membuat semua orang terkejut. Mereka hampir saja tersedak. Fabian merasa bersalah karena membuat keributan di saat makan malam bersama mereka.

"Maaf semuanya. Aku hanya tiba-tiba terpikirkan ide ini."

Kedua orang tuanya dan Brian menghela nafas pelan kemudian perlahan tersenyum melihat Fabian yang menatap mereka khawatir.

"Kenapa kamu tiba-tiba ingin melakukannya?" Itu berasal dari ayahnya.

"Iya. Tidak seperti dirimu." Kata ibunya sambil mengangguk.

"Bukankah kamu benci hal semacam itu?" Tanya Brian yang heran menatap adiknya.

"Aku hanya ingin saja."

Fabian menjawab dengan suara ringan. Padahal ada alasan lain kenapa dia ingin belajar bela diri. Itu karena dia pikir, dia tidak bisa terus seperti ini. Sebaiknya dia bisa mempertahankan tubuhnya sendiri.

Karena tidak selamanya dia bisa meminta bantuan kepada semua orang.

Fabian tidak ingin kejadian tadi siang kembali terulang. Dia terjebak oleh Devan, tidak bisa melakukan apa-apa. Dia merasa tidak berdaya. Dan itu menjadi kelemahannya saat ini.

Bukan tidak mungkin di masa depan Devan akan melakukan hal yang sama lagi. Dan mungkin saja bisa lebih buruk dari sekarang ini. Jadi, Fabian bisa mempersiapkannya sejak sekarang ini.

"Tidak ada salahnya kamu menjaga dirimu."

"Benar. Itu bagus untukmu."

"Kakak juga setuju."

Mendengar respon dari keluarganya, Fabian kembali tersadar dari lamunannya. Dia tersenyum bahagia. Setidaknya, jika dia belum bisa melindungi keluarganya, biarkan dia melindungi dirinya terlebih dahulu.

"Apa kalian ada rekomendasi tempat untuk latihan beladiri?"

"Aku ada!" Brian berseru di sampingnya. "Aku ada kenalan salah satu tempat latihan bela diri. Pemiliknya adalah paman dari temanku. Kamu juga pernah menemuinya, Axel. Pamannya pemilik tempat bela diri."

"Benarkah?"

"Ya. Aku bisa menghubunginya agar membawamu kesana."

"Tidak perlu."

"Eh, kenapa?"

Fabian tersenyum canggung, sepertinya kakaknya tidak tahu kalau dia dan Axel sudah berteman dekat. Sehingga tidak butuh Brian diantara mereka lagi.

"Aku bisa meminta Kak Axel secara langsung."

Kedua orang tuanya dan Brian termenung selama beberapa saat, Fabian jadi bingung kenapa respon mereka menjadi seperti ini.

"Kamu berteman dengannya?" Tanya Ibunya dengan hati-hati.

Fabian mengangguk pelan, "Ya. Kami sudah dekat selama beberapa minggu terakhir ini."

"Apa kalian sering menghabiskan waktu bersama?" Sela Brian.

"Ya, walaupun tidak terlalu sering."

Brian terkekeh pelan seolah tidak percaya mendengarnya, "Pantas saja dia sulit untuk aku ajak pergi. Ternyata dia sibuk denganmu."

Fabian hanya tersenyum canggung.

"Fabian, kami tidak melarangmu berteman dengan Axel atau siapapun itu. Asalkan kamu bahagia. Kami juga bahagia."

"Ya, ibumu benar."

"Kakak juga tidak masalah. Axel adalah anak yang baik. Aku yakin dia bisa menjagamu dan memperlakukanmu lebih baik daripada bajingan tidak berperasaan itu."

Fabian terkekeh pelan mendengar kakaknya yang tiba-tiba menjelekkan Devan. Fabian senang semua orang suka mendengar ini. Dia juga tahu kalau Axel orang yang baik. Tidak ada salahnya mereka terus berteman.

Setelah makan malam selesai, Fabian pergi ke kamarnya dan menghubungi Axel. Tidak butuh waktu lama sampai suara dari seberang terdengar dengan riang.

-Fabian?

"Iya."

-Aku kira salah melihat nama penelpon. Tapi, setelah mendengar suaramu. Ternyata aku tidak salah.

"Apa aku menelpon Kak Axel di waktu yang salah?"

-Tidak! Tidak! Kamu tidak menggangguku. Aku baru saja tiba di rumah.

Tanpa berada di sisi Axel, Fabian bisa tahu kalau Axel membuat ekspresi khawatir, dan berusaha agar Fabian untuk tidak salah paham. Membayangkannya saja malah membuat Fabian tersenyum tipis.

-Ada apa? Tumben sekali kamu menghubungiku pertama kali?

Tidak ada suara dari seberang membuat Axel khawatir. Jadi, dia sekali lagi bertanya.

"Kak Brian bilang kalau Kak Axel punya rekomendasi tempat bela diri."

-Oh, itu. Ya, pamanku punya salah satu. Apa kamu mau datang dan berlatih disana? Kalau mau akan aku antar kamu di akhir pekan nanti.

"Tentu! Aku mau! Terima kasih sebelumnya."

-Tidak usah sungkan.

Setelahnya Fabian bingung harus mengatakan apa lagi. Tidak punya topik pembicaraan lain untuk diangkat. Sebelum dia menutup teleponnya, suara Axel datang lebih dulu.

-Kalau besok aku menjemput kamu ke rumah? Apa tidak masalah?

Fabian : "..."

-Kalau kamu merasa keberatan aku tidak memaksa. Kamu bisa menolaknya. Aku tidak akan marah. Aku hanya ingin pergi ke kampus bersamamu. Namun, jika permintaan itu terlalu memberatkan, aku tidak masalah.

"Boleh."

-Apa?

"Kak Axel boleh menjemputku."

-...

Fabian yakin kalau saat ini, diseberang sana Axel sangat terkejut sampai bingung harus berkata apa.

"Aku tunggu besok. Selamat malam."

Tanpa menunggu jawaban Axel, Fabian langsung menutup teleponnya.

Keesokan harinya, Axel benar datang dan menyapa seluruh keluarga Fabian. Dia disambut dengan baik. Karena ini pertama kalinya ada orang lain datang ke rumah ini. Berbeda dengan Devan, dia sama sekali tidak pernah datang ke rumah Fabian.

Di kehidupan pertama, dia pernah melakukannya, satu kali dan itu untuk mengambil semua foto dirinya yang Fabian ambil secara diam-diam.

Fabian duduk di kursi penumpang, sedangkan Axel duduk di kursi kemudi, dia terlihat gugup.

"Kak Axel kenapa? Padahal tadi terlihat baik-baik saja."

Karena saat menyapa keluarganya, dia begitu riang dan hangat. Tidak terlihat jejak keraguan atau gugup disana. Hanya ada rasa percaya diri.

"Mungkin karena tiba-tiba bertemu calon mertua?" Goda Axel.

Fabian tidak terlalu menanggapinya dengan serius, dia hanya tertawa pelan sambil melihat jalan raya di depan. Axel di sampingnya tersenyum tipis. Sepertinya dia butuh waktu lama supaya Fabian sadar.

Satu jam kemudian, mereka tiba di area parkir kampus. Axel di sampingnya terburu-buru untuk keluar dan mengitari mobil. Kemudian membuka pintu di sebelah Fabian.

Fabian keluar dan menatap Axel, "Kenapa Pak Axel melakukannya? Pak Axel adalah dosen saya. Tidak sepatutnya saya mendapat perlakuan seperti ini."

"Aku melakukannya sebagai Axel. Bukan sebagai dosen."

Belum sempat merespon, Fabian bertemu dengan tatapan Devan. Dia tengah berpegangan tangan dengan Laura di sampingnya. Fabian tiba-tiba merasa kesal, apalagi setelah mengingat kejadian kemarin. Dia menatap Devan dengan dingin dan acuh tak acuh.

"Ayo, kita pergi Kak Axel. Aku tiba-tiba merasa mual."

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued

[BL] Second Time |Fabian&Devan|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang