Semua mahasiswa langsung diam.
Mereka tidak berani menatap Axel, sikap Axel sekarang bahkan lebih tegas dibandingkan saat mengajar tadi. Nyali mereka pun menjadi ciut. Hanya menunduk tidak berdaya.
"Jangan membuat rumor yang tidak berdasar. Kalian adalah seorang mahasiswa, apa kalian tidak bisa bertindak lebih jernih atau dengan akal sehat?"
Axel menghela nafas kesal, dia kemudian memegang tangan Fabian dengan erat. Fabian diam disamping Axel.
"Saya lah yang mendekati Fabian. Saya adalah orangnya. Fabian tidak memiliki salah apapun disini. Maka, salahkan saya. Bukannya Fabian."
Mereka semua masih tidak mau berbicara, mendongak pun tidak berani.
"Jadi, berhentilah mengurusi hal remeh seperti ini. Dan bersikaplah lebih dewasa. Fokuslah pada kuliah kalian."
"Ayo, Fabian. Kita pergi dari sini."
Setelah mengatakan itu, Axel membawa Fabian bersamanya. Fabian menuruti dan mengikutinya di samping. Axel selama perjalanan tidak berbicara apapun, sampai dia membawa Fabian ke taman kampus dan duduk di salah satu kursi taman, dia tidak mengeluarkan suara apapun.
"Terima kasih untuk tadi."
Fabian menyeruput minuman dingin di tangannya, menunduk sambil memegang botol minuman dingin di kedua tangannya. Perasaan dingin menjalar dari botol itu ke tangannya. Dan hal itu membuat Fabian merasakan emosinya yang tadi membara perlahan mendingin.
"Tidak perlu berterima kasih. Sudah seharusnya aku melakukan ini. Karena ini adalah salahku."
Fabian menoleh dan melihat Axel yang menatapnya dengan senyuman tipis. Ada raut wajah sedih disana.
"Pak Axel tidak salah apapun."
Kata Fabian pelan. Itu benar, mereka semua lah yang salah. Orang-orang yang tanpa alasan membicarakannya. Mereka lah yang sepatutnya disalahkan.
"Maaf, pasti ini berat untukmu. Tapi, aku terlambat untuk menyadarinya."
Fabian menggeleng pelan, dia kemudian menunduk kembali. Memegang botol minuman yang perlahan mulai kehilangan dimginnya akibat panas di siang hari.
Ini sudah lebih dari cukup bagi Fabian. Bahkan dia tidak pernah membayangkan kalau suatu hari akan ada orang di depannya yang membela atas namanya. Berbeda dengan Devan, yang sekalipun tidak pernah membantu Fabian.
"Tidak apa. Pak Axel."
Jawab Fabian pelan sambil menatap Axel. Fabian tersenyum tipis. Axel yang melihat wajah Fabian akhirnya tersenyum pun merasa lega. Dia perlahan tersenyum lebar.
"Ah, kenapa harus sekarang?"
Fabian mengerutkan keningnya tidak mengerti dengan kalimat Axel tersebut.
"Di situasi seperti ini, aku merindukanmu memanggilku dengan panggilan Kak Axel."
"Kita bisa melakukannya nanti."
"Ya, kamu benar."
Axel mengangguk setuju.
Setelahnya keduanya tetap duduk di kursi taman, hanya ada keheningan panjang di antara keduanya. Sesekali angin sepoi-sepoi di siang hari membuat udara menjadi lebih sejuk.
"Sepertinya kita perlu menjaga jarak ketika di sekolah."
Atas usulan itu, Fabian menoleh untuk melihat Axel. Ini terdengar tiba-tiba.
"Kenapa kita harus melakukannya?"
Fabian tidak merasa ada yang aneh diantara mereka. Mereka berdua adalah teman. Yang memang kebetulan status mereka ketika di kampus itu adalah mahasiswa dan dosen. Tapi, itu bukanlah dosa atau semacamnya, kan?
"Aku tidak bisa membuatmu terus disalahkan. Padahal aku sendiri yang ingin dekat denganmu. Maaf, karena aku. Kamu jadi kena akibatnya."
Suara Axel yang lemah dan tidak bertenaga itu berbeda dengan aura semangat dan positif yang sering dilakukannya. Fabian merasa tidak enak.
Fabian kemudian berdiri di depan Axel, "Ini bukan salah siapapun, Kak Axel!"
"Biarkan mereka mengatakan apa yang mereka inginkan! Lagi pula tidak ada yang berhak melarang kita untuk dekat atau mengkritik kedekatan kita! Itu bukan seperti kita berdua adalah sepasang kekasih. Kita hanya teman!"
"..."
Axel berusaha untuk tersenyum, apalagi setelah mendengar kalimat terakhir. Dia menatap Fabian dengan senyuman terbaiknya walaupun terasa berat baginya.
"Apa yang kamu katakan itu benar. Kita itu berteman!"
Fabian yang melihat Axel kembali bersemangat pun merasa lega. Kemudian dia kembali duduk di samping Axel.
"Tapi, kenapa pula Pak Axel malah menempatkanku seregu dengan Laura!" Fabian mengeluh kepada Axel, salah satu penyebab suasana hatinya yang buruk bukan hanya karena para penggosip tadi, tapi karena dia malah harus satu regu dengan Laura di mata kuliah Axel.
Axel terlihat bersalah sambil tersenyum canggung, "Maaf. Semalam saat ingin membuat kelompok, aku secara acak memilihnya."
"Baiklah."
"Kalau kamu mau, aku bisa menggantinya!"
"Tidak perlu. Biarkan saja. Lagipula, anak-anak di mata kuliah ini pasti akan merasa tidak adil."
"Beneran tidak apa?"
"Iya, biarkan saja."
Toh, Fabian hanya tidak ingin berurusan dengan Devan. Ya, walaupun Laura adalah pacar Devan, tapi setidaknya itu bukan Devan langsung. Selain itu, mereka akan bertemu ketika tengah berdiskusi saja, selain itu, mereka tidak ada hubungannya lagi.
Itu mungkin yang Fabian katakan.
Namun, kenyataan tidak sesuai dengan harapan Fabian.
Sore harinya, di salah satu kafe dekat kampu yang ramai dipenuhi oleh para mahasiswa yang bersantai ataupun tengah mengerjakan tugas, Fabian adalah salah satu diantara mereka. Dia duduk di kursi dekat jendela besar. Di meja ini, seharusnya ditempati oleh tiga orang, tapi ada empat orang disana.
Pertama, Fabian sendiri. Kedua adalah perempuan yang waktu itu berbicara dengan wajah judes nya, si perempuan yang pernah ditumpahkan mie ayam. Lalu, Laura tentu saja.
Terakhir ada tidak tamu tidak diundang, Devan.
Fabian menatap Depan sambil mengeluh pelan, mengapa Devan harus berada di sini. Ada di meja yang sama dengan mereka semua.
Devan duduk begitu dekat dengan Laura, dia bahkan memeluknya dari samping sambil menyandarkan kepalanya di pundak Laura. Merasa tidak terbebani kalau di depannya ada orang lain. Seolah-olah ini adalah dunia milik mereka saja.
"Baiklah, karena kita semua telah berkumpul. Mari kita mulai berdiskusi."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be ContinuedAuthor Note : Boleh minta semangatnya dari kalian? Beberapa hari terakhir mood ku lagi kurang bagus:(
Terima kasih sebelumnya;)
Terus dukung aku supaya semangat terus!
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Second Time |Fabian&Devan|
FantasyFabian sangat terobsesi dengan sehabatnya, Devan. Tapi, karena hal itu, hidupnya pun menjadi hancur. Itulah yang terjadi di kehidupan pertama Fabian, saat dia diberi kehidupan kedua. Dia bertekad untuk tidak terobsesi lagi dengan Devan. Namun yang m...