"Bagaimana tiga hari ini, apa ada sesuatu yang terjadi?"
Fabian menatap Devan dan Heri secara bergantian. Kemudian kembali beralih kepada Devan yang tampilannya sedikit berantakan. Rambut acak-acakan, pakaiannya kusut di beberapa bagian. Dan jangan lupakan wajahnya yang kelelahan seperti kurang tidur itu.
"Tidak ada."
Fabian dengan sengaja berbohong kepada Devan. Padahal selama tiga hari dia tidak ada, Fabian sudah banyak membuat kekacauan. Menyakiti dirinya sendiri dan mengerjai Heri dengan berbagai hal.
Devan datang mendekat, kali ini dia tidak membutuhkan alat berjalan lagi. Namun, langkah kakinya masih penuh hati-hati. Dia duduk di samping Fabian dan mengecek seluruh tubuh Fabian.
Semuanya terlihat baik-baik saja, namun, perban di bawah kaki sana jauh lebih banyak dari pada terakhir kali Devan mengobatinya.
"Kenapa kedua kakimu tidak membaik dan malah lukanya semakin melebar?"
"Ah, itu, aku tidak sengaja melukainya saat pergi ke kamar mandi."
Mendengar itu Devan langsung melihat ke arah Heri yang menunduk, "Heri, apa yang kau lakukan selama ini? Membuat Fabian terluka seperti ini?"
"Maaf. Tuan Devan."
"Tidak. Itu bukanlah salahnya."
Devan terlihat tidak suka mendengar pembelaan dari Fabian, "Mengapa kamu membelanya? Aku memberinya tugas untuk menjagamu. Jika dia tidak bisa melakukan tugasnya dengan benar, dia pantas untuk dihukum."
"Tidak perlu. Ini adalah kesalahanku. Jadi, tidak perlu menghukum siapapun."
Helaan nafas pelan keluar dari mulut Devan, "Baiklah. Jika itu kemauanmu."
Setelah itu Devan menyuruh Heri untuk pergi. Fabian tidak tahu kemana dia pergi, apakah berdiri di luar pintu atau tidak. Tapi yang pasti, sekarang Devan sudah kembali. Dan rencana untuk melarikan diri sudah tidak ada lagi.
"Kamu tahu Fabian..."
Fabian menatap Devan, menunggu kalimat selanjutnya yang tertahan.
"Baik kakimu dan kakiku, keduanya terluka. Terlihat bagus, kan?"
"Bagus dari mana!" Seru Fabian dalam hatinya.
"Ah, ya."
"Kamu tidak berpikir untuk kabur lagi, kan?"
Fabian menghela nafas pelan, "Setelah semua yang aku lewati. Kamu masih mengharapkan aku kabur lagi?"
Pelarian pertama saja sudah gagal, tidak ada harapan kesempatan lain akan berakhir dengan sama juga. Tidak ada jaminan kepastian.
"Jadi, lebih memilih untuk tetap ada disini?"
Dengan berat hari, Fabian mengangguk pelan. "Memangnya aku punya pilihan lain selain tetap disini?"
Senyuman perlahan tercetak di wajah Devan, dia datang mendekat dan memeluk Fabian dengan erat. Mengabaikan fakta kalau sebelumnya dalam keadaan memeluk, Fabian menyakiti dirinya.
"Aku akan pastikan akan memperlakukanmu dengan baik di sini."
"Membuktikan kepada dirimu kalau aku tidak hanya terobsesi denganmu."
"Tapi, benar-benar mencintaimu juga."
***
Sejak hari itu, Devan tampaknya berusaha membuktikan kata-katanya.
Dia selalu tinggal di sisi Fabian sepanjang hari. Menemani Fabian, mulai dari menyuapinya makan, memandikannya atau bahkan mengganti pakaiannya. Semua itu Devan lakukan untuk Fabian.
Tidak seperti sebelumnya, Fabian bersikap pura-pura suka terhadap perlakuan Devan kepadanya. Kali ini, Fabian menerima itu secara sukarela. Dengan lapang dada.
Lagi pula Fabian merasa, selama Devan tidak membunuhnya, tinggal di kamar ini jauh lebih baik. Karena Devan akan memberikan semua kebutuhan Fabian. Fabian tidak perlu repot. Yang dia lakukan hanyalah duduk dan berbaring. Layaknya seorang pengangguran.
Suatu ketika Fabian bertanya kepada Devan karena melihat Devan tidak pernah berangkat bekerja.
"Tidak apa-apa. Aku bisa mengurus semuanya dari sini."
Setelah itu, dia selalu membawa laptop ke kamar Fabian. Mengerjakan semua pekerjaan kantornya. Fabian hanya memperhatikan dari samping sambil membayangkan Devan duduk di meja kerjanya dengan pakaian formal miliknya.
Tampak begitu seksi.
Fabian segera membuang pikiran itu. Merasa malu kepada dirinya sendiri yang sekarang sudah mulai berani membayangkan hal seperti itu. Dia malu sendiri sampai membuat pipinya memerah.
"Kenapa dengan pipi dan telingamu?"
Devan menoleh karena melihat Fabian yang berusaha menyembunyikan wajahnya.
"Ah, tidak-tidak. Kamu lanjutkan pekerjaanmu saja."
"Oke."
Devan kembali larut dalam fokusnya.
Fabian yang telah menenangkan dirinya, tiba-tiba teringat Heri. Karena sejak terakhir kali mereka bertemu, Fabian tidak pernah melihat Heri lagi. Mungkin seminggu atau dua minggu? Fabian tidak tahu pasti karena dirinya sendiri tidak tahu dia sudah berapa lama berada disini.
"Oh, ya. Devan. Heri, dia kemana?"
"Dia ada di tempatnya."
"Tapi, kenapa dia tidak pernah masuk?"
"Untuk apa dia masuk saat aku ada disini?"
Itu benar, Heri dulu ada karena membantu Fabian ketika Devan tidak ada. Sedangkan Devan sekarang sepanjang hari ada disini. Jadi, Fabian tidak memerlukan Heri.
Hanya saja Fabian merasakan ada sesuatu kejanggalan di dalam hatinya. Dia merasa tidak nyaman. Namun, jika dia bertanya lebih lanjut sudah dipastikan Devan tidak akan senang. Dia juga tidak akan mau mengatakannya dengan jelas.
Mengingat Heri, Fabian jadi ingat hari dia melarikan diri. Saat itu tengah malam hari, dia mendapati kalau rumah ini berada di tengah hutan. Tapi, bagaimana dengan pemandangan dikala matahari masih ada di atas langit?
Fabian merasakan kalau pemandangannya begitu bagus.
"Devan?"
"Ya."
"Tampaknya pemandangan di luar akan indah?"
"Maksudmu?"
"Hanya saja aku pikir, sesekali aku ingin melihat keadaan di luar sana."
Setelahnya hanya ada hening diantara keduanya, Fabian merasa kalau Devan tampaknya marah akan hal itu. Apalagi setelah dulu Fabian bilang akan tetap ada disini.
"Maksudku kamu tak perlu melepaskanku. Kamu cukup membawa aku keluar dan menemaniku menikmati keadaan diluar sana."
Masih tidak ada jawaban dari Devan.
"Maaf. Lupakan saja jika kamu tidak suka."
"Boleh."
"Iya. Eh—Apa?!"
Devan menutup laptopnya lalu mendekat ke arah Fabian. Dia memeluk Fabian dari samping. Memeluknya begitu erat sampai Fabian sendiri jadi kesulitan bernafas. Baru saat dia melepaskan pelukannya. Dia memegang wajah Fabian dan berkata, "Ya. Kamu boleh keluar."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Second Time |Fabian&Devan|
FantasyFabian sangat terobsesi dengan sehabatnya, Devan. Tapi, karena hal itu, hidupnya pun menjadi hancur. Itulah yang terjadi di kehidupan pertama Fabian, saat dia diberi kehidupan kedua. Dia bertekad untuk tidak terobsesi lagi dengan Devan. Namun yang m...