Seminggu berlalu begitu saja tanpa ada kejadian yang berarti. Itu karena Fabian memilih untuk tetap tinggal di rumah. Dia tidak repot-repot datang ke kampusnya. Lagi pula kampus masih disibukkan dengan ospek, Fabian juga tidak mau ikut andil dalam ospek itu.
"Aku yakin hubungan mereka akan berjalan mulus karena aku tidak ada."
Selama seminggu ini pula, Fabian berusaha menerima kenyataan kalau dia Devan dan Laura diciptakan untuk satu sama lain. Dan tidak ada dirinya di antara mereka berdua. Awalnya sulit, tapi, karena tidak pernah bertemu dan memikirkan Devan, Fabian merasa dia bisa dengan cepat melupakan Devan.
"Tidak ada untungnya bagiku."
"Untuk apa aku mengulang kembali sesuatu buruk?"
"Aku tidak sebodoh itu."
Fabian tahu dia masih dalam proses move on dari Devan, tapi dia juga tidak mau mengalami kejadian di kehidupan lamanya untuk kedua kalinya. Satu kali saja sudah cukup baginya.
Karena ini akhir pekan, Fabian memilih untuk berbelanja ke mal terbesar. Menghabiskan sisa waktu kosong sebelum dia mulai masuk perkuliahan lagi.
Saat memasuki pintu masuk mal, mal itu terlihat sangat luas dengan beberapa lantai menjulang ke atas. Dia disambut oleh petugas dengan ramah. Matanya memperhatikan setiap bagian mal yang diisi oleh para penjual dari merk ternama.
"Bian?"
Fabian menoleh mendengar suara yang kurang akrab itu.
"Kak Axel?"
Ternyata itu adalah teman kakaknya, Axel. Dia datang dengan kaos putih dan celana jenas biru. Walaupun tampilannya terlihat biasa, nyatanya itu berharga luar biasa.
"Aku kira tadi salah melihatmu, tapi saat memanggil namamu, ternyata memang benar kamu." Katanya dengan senyuman ramah dan riang. Dia berjalan mendekati Fabian.
"Oh, iya, Kak Axel."
"Sendirian aja?"
"Ya?"
"Bagaimana kalau aku temani?"
Sebenarnya Fabian ingin menghabiskan waktunya sendiri, tapi, jika itu Axel kenapa tidak? Lagipula Axel terlihat orang yang baik. Dia juga ramah dan hangat kepada Fabian.
"Berbeda dengan orang itu!" Gumam Fabian pelan.
"Kenapa?"
"Oh, tidak. Boleh, kalau tidak merepotkan Kak Axel."
"Justru aku senang!"
Serunya dengan wajah ceria, Fabian yang bingung merespon, akhirnya hanya tersenyum canggung. Setelanya mereka berdua berkeliling sebentar di lantai pertama. Sambil memperhatikan setiap sudut mal.
"Ada barang yang mau dibeli?"
"Ya, aku tengah mencari ponsel baru."
"Itu ada di lantai 2. Ayo kesana!"
Axel menarik tangan Fabian, Fabian tidak memiliki pilihan lain selain mengikutinya.
"Aku senang bisa bertemu denganmu disini."
"Ya..."
"Ini mungkin terdengar tidak masuk akal, tapi aku rasa kita adalah takdir!"
Fabian: "..."
Fabian mungkin menganggap Axel adalah orang ceria dan ramah, tapi, dia tampaknya memiliki sisi aneh. Kenapa harus percaya takdir?
"Maaf, Kak Axel. Aku perlu ke kamar mandi dulu."
Fabian menghentikan langkahnya, Axel kemudian berhenti.
"Baiklah. Aku tunggu diluar."
Setelah itu Fabian masuk ke dalam salah satu bilik kamar mandi. Dia keluar untuk membasuh mukanya, merasa perlu menjernihkan pikirannya walaupun untuk sesaat.
"Ternyata kau menguntitku sampai ke kamar mandi."
Mendengar suara tajam dan dingin itu, Fabian bangun dan menatap wajah Devan dengan tatapan menghunus ke arahnya. Wajah Fabian masih kabur oleh air, jadi dia mengeringkannya dengan tisu, takut kalau dia salah orang. Tapi, itu memang Devan.
"Kenapa?"
"Seharusnya aku yang bertanya. Kenapa kamu disini?"
"Aku hendak belanja."
"Alasan lagi."
"Aku tidak!"
Fabian berseru dengan kesal, kenapa setiap kali dia berusaha memantaskan dirinya untuk tidak bertemu Devan dan berusaha move on darinya, dia kembali bertemu dengan Devan?
Apakah alam tengah mengerjainya?
"Akui saja. Tidak perlu mengelak."
"Tapi aku tidak!"
"Memangnya aku percaya. Kamu bahkan pernah mengendap masuk ke kamar hotel."
Fabian : "..."
Fabian memjiat kepalanya, rasanya dia ingin kembali kepada dirinya yang dulu kemudian menampar wajahnya dengan keras sambil mengatakan 'kau sangat keterlaluan dan memalukan!'
"Jadi, masuk ke dalam kamar mandi hal kecil begini."
"Dengar, tapi ini adalah kamar mandi pria. Dan aku juga pria. Tidak ada yang salah disini. Aku tidak melanggar apapun."
Itu tidak seperti Fabian masuk ke kamar mandi perempuan. Dia tidak! Ini jelas-jelas kamar mandi pria!
"Mungkin saja kamu mengintipku dari bilik sebelah?"
"Astaga!"
Fabian sangat kehabisan kata-kata, entah sejak kapan Devan jadi aneh seperti ini. Sepertinya, semenjak dia mengulang waktu, semua orang menjadi aneh atau bagaimana?
"Aku katakan secara tegas! Pergi kemanapun sesukamu! Dan jangan khawatir aku akan mengikutimu! Mengerti!"
Setelah itu, Fabian yang kesal meninggalkan Devan di belakangnya. Saat bertemu dengan Axel, dia terlihat khawatir.
"Apa yang terjadi di dalam. Aku mendengar keributan?"
Saat mengatakan itu, dari sisi pintu sebelah, dia melihat Laura baru keluar dari kamar mandi perempuan. Dan Devan juga ikut keluar. Mereka saling tersenyum kepada satu sama lain.
Tampaknya hubungan mereka berjalan cukup cepat.
"Oh, itu aku hanya bertemu dengan tikus di dalam. Tapi, tikus itu malah menganggap aku mengganggunya. Padahal dia sendiri yang mengganggu." Fabian mengatakan itu secara sarkas. Sambil melihat Devan yang tidak suka mendengar itu.
Axel : "...?"
"Ayo, kita pergi dari sini. Sebelum tikus itu mengikutiku dan menggigitku!"
Seru Fabian sambil menarik tangan Axel. Axel tersenyum saat Fabian memegang tangannya dengan erat. Meninggalkan tatapan Devan yang tidak suka.
Laura yang tengah memeluk tangan kanan Devan melihat Devan yang diam membeku. Hanya menatap ke depan, ke arah dua orang pria yang berjalan pergi menjauhi mereka.
"Kenapa wajah Kak Devan seperti itu?"
Laura bertanya kepada Devan. Devan tetap seperti itu dan tidak menoleh. Dia menjawab, "Memangnya kenapa dengan wajahku?"
"Itu, Kak Devan tampak sangat marah."
"Benarkah?"
"Ya. Kak Devan marah karena hal apa?"
Devan terus melihat Fabian yang memegang tangan pria lain. Pria yang sudah dua kali dia lihat. Setelah beberapa saat, tubuh Fabian hilang di antara kerumunan. Menghilang dari pandangannya.
"Kamu benar."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Second Time |Fabian&Devan|
FantasyFabian sangat terobsesi dengan sehabatnya, Devan. Tapi, karena hal itu, hidupnya pun menjadi hancur. Itulah yang terjadi di kehidupan pertama Fabian, saat dia diberi kehidupan kedua. Dia bertekad untuk tidak terobsesi lagi dengan Devan. Namun yang m...