Bagian#23

25.3K 2.3K 72
                                    

Special untuk hari ini, double update🥰
Happy reading🤗
________________________________

"Devan kita perlu berbicara."

Devan menatapnya secara acuh tak acuh dan mulai berbicara lagi dengan Laura. Laura juga tidak memperhatikan Fabian. Mereka berdua seolah tengah mengabaikannya secara serius.

Fabian menghela nafas, dia harus melakukannya saat ini. Karena jika terus seperti ini, dia kira semuanya akan semakin memburuk.

Dia harus berbicara secara tegas.

"Devan, luangkan waktumu sebentar saja. Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu."

Devan dan Laura menatap Fabian dengan wajah datar, Devan kemudian berbicara kepada Laura untuk menunggunya di depan fakultasnya. Setelahnya Laura pergi dari area parkir. Menyisakan Fabian, Devan dan Axel.

"Apa yang ingin kamu katakan?"

Tanya Devan dengan malas, Fabian juga sebenarnya malas! Tapi, dia tidak punya pilihan lain! Sebelum pria gila ini berbuat onar!

"Sesuatu yang penting diantara kita berdua."

Fabian menatap Axel, Axel seolah mengerti segera mengangguk pelan. Dia sedikit menyingkir dari sana, tapi tetap berada di jangkauan Fabian.

"Kita bicara di mobilmu."

"Kenapa harus disana? Katakan saja disini."

"Tidak usah banyak tanya. Aku juga tidak mau melakukannya. Aku terpaksa."

Devan diam selama beberapa saat, lalu tanpa berkata apapun dia masuk ke mobilnya di bagian kemudi. Fabian mengikuti Devan dan duduk di kursi penumpang, sebelum itu dia melihat Axel. Axel tersenyum kepadanya.

Walaupun saat ini dia berada di dalam mobil, tempat sempit yang membuat pergerakannya terbatas. Bersama dengan orang yang paling dia hindari. Setidaknya Fabian merasa aman karena Axel berada disekitarnya. Jika Fabian butuh bantuan, dia yakin Axel akan cepat tanggap membantunya.

"Apa yang ingin kamu katakan?"

Fabian menoleh dan menatap Devan sebentar, dia menghirup udara. Dia harus mengatakannya.

"Devan. Dengarkan aku baik-baik. Mari kita lupakan dua kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi itu. Mari kita buang itu jauh-jauh seolah kita tidak pernah mengalaminya."

Dua insiden ciuman itu hanyalah kesalahan dan ketidak sengajaan belaka. Tidak penting untuk diingat karena itu hanyalah kenangan buruk lainnya.

Fabian diam sebentar untuk melihat respon Devan. Devan hanya diam dan tidak memiliki ekspresi yang berarti.

"Selain itu, aku juga ingin menegaskan bahwa disini, mulai saat ini, aku sudah menyerah terhadapmu. Aku tidak akan melakukan lagi hal bodoh seperti di masa lalu. Terobsesi padamu. Mengejarmu tanpa henti dan mengganggu Laura."

"Aku tidak akan melakukannya lagi."

Mungkin Devan akan berpikir ini omong kosong belaka. Apalagi kalau dia tahu apa yang dilakukan Fabian di kehidupan pertama. Dia tentu akan tertawa getir.

Seperti di tebing laut malam itu.

"Satu yang kupinta darimu, anggap aku tidak pernah ada lagi. Anggap aku tidak pernah ada di dunia ini. Kamu tidak pernah mengenalku. Kita hanyalah orang asing belaka."

Ya, itu adalah pilihan terbaik untuk mereka berdua.

"Kenapa aku harus melakukannya?"

Fabian mengerutkan keningnya saat Devan membalas. Padahal ini adalah hal yang menguntungkan Devan. Devan yang paling diuntungkan! Tapi kenapa dia malah seperti orang yang paling dirugikan!

"Sudah aku tegaskan! Kalau ini adalah jalan terbaik bagi kita berdua. Mari kita sama-sama pergi ke jalan masing-masing. Kamu menjalani hidupmu tanpa diriku. Dan aku akan menjalani hidupku sendiri—"

"Kita berjalan ke arah yang berlawanan?"

"Ya,"

Devan diam selama beberapa saat, Fabian mengira kalau Devan sudah mengerti. Saat dia hendak keluar tiba-tiba pintu mobil terkunci. Membuat Fabian tidak bisa keluar.

"Buka pintunya."

"Ini belum selesai."

"Apanya yang belum selesai? Aku sudah mengatakan semuanya!"

"Tapi aku belum mengatakan bagianku."

Fabian yang sedari tadi berusaha membuka pintu mobil akhirnya menyerah, dia berhenti dan menatap Devan. Menunggu apa yang ingin dia katakan.

"Sepertinya pertemanan diantara kita tidak ada artinya bagimu?"

"Hah?!"

"Waktu belasan tahun yang kita habiskan bersama. Hanyalah sampah tak berguna bagimu?"

"Kamu—"

"Aku tidak akan melakukannya."

"Apa?!"

Fabian melongo tidak percaya mendengar Devan. Sebenarnya apa yang Devan inginkan? Tindakannya selalu menjelaskan kalau dia tidak mau Fabian mengganggunya. Tapi, itu bertolak belakang dengan ucapannya.

"Padahal dirimu sendiri yang bilang tidak ingin bertemu lagi denganku! Tapi, kenapa kamu seperti—"

"Kapan aku mengatakannya?"

Tubuh Fabian membeku begitu saja, dia seharusnya tidak mengatakan sesuatu dari kehidupan pertama. Tapi, karena sudah seperti ini.

"Lupakan itu. Aku sendiri yang tidak mau bertemu denganmu! Jadi, mari kita menjadi orang asing yang tidak mengenal satu sama lain! Mengerti!"

"Kita SELESAI!"

Setelah mengatakan itu, Fabian mendekati Devan dan menekan tombol kunci. Kunci mobil terbuka begitu saja, dan Fabian segera pergi keluar. Dia sudah merasa sumpek berada di dalam sana.

Fabian bertemu dengan Axel yang sedari tadi menunggunya, dia tersenyum tipis kepada Fabian. "Ayo kita pergi ke dalam. Kelasmu akan segera dimulai, kan?"

"Iya,"

Fabian pun pergi bersama Axel, dia tidak menoleh lagi kebelakang. Tapi, dia yakin kalau Devan sudah mengerti. Devan tidak akan mengganggunya dan Fabian juga sama. Biarkan mereka menjalani kehidupan masing-masing.

Dengan begitu, Fabian yakin masa depan akan berubah. Kejadian buruk di kehidupan pertama tidak akan terulang kembali. Dia tidak akan mengalami kesengsaraan. Begitupun Devan.

Biarkan mereka bahagia dengan jalannya masing-masing.

"Sebenarnya dia adalah orang aku maksudkan."

Axel berhenti dan menatap Fabian, Fabian tersenyum tipis.

"Aku sudah mengatakan kepadanya semuanya."

Fabian sedikit lesu, tampaknya itu cukup menguras tenaga Fabian.

"Kamu hebat."

Fabian menoleh dan menatap Axel yang menyemangatinya. Dia mulai merasa aura positif dari Axel. Kemudian mengangguk setuju.

Sebelum Fabian pergi ke gedung fakultasnya, tiba-tiba tubuhnya ditarik kebelakang. Fabian yang kaget tidak bisa menjaga tubuhnya agar seimbang dan malah jatuh pelukan seseorang.

Fabian mendongak untuk menemukan siapa itu. Hanya untuk mendapati kalau itu adalah Devan yang menyeringai.

"Kita belum selesai."

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued

[BL] Second Time |Fabian&Devan|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang