15 Juli 20xx
"Itu berarti aku kembali pada masa lima tahun lalu."
Fabian menatap ponsel lamanya yang dia ingat sudah dia buang walaupun masih bagus. Karena digantikan ponsel bergambar buah apel yang digigit dengan 3 kamera bulat di belakangnya.
"Ini adalah ponsel edisi lama."
Ponsel tersebut dengan jelas menunjukan tanggal di depan layar.
"Aku tidak percaya ini."
"Ini terasa mimpi."
"Tapi, disaat yang bersamaan ini adalah dunia nyata."
Katanya setelah mencubit pipinya beberapa kali, seperti seorang tokoh film yang meyakinkan dirinya. Fabian sungguh tidak bisa menjelaskan perasaannya sekarang ini dengan benar.
Berbagai perasaan penyesalan, kebahagian, kesedihan dan lainnya datang dan menyatu seperti es buah dengan berbagai toping tambahan.
Setelah puas melihat ponselnya, dia bangun dari atas ranjang lalu turun menuju kamar mandi. Dia menatap wajahnya di depan cermin wastafel. Wajahnya terlihat berseri, muda dan segar.
"Tampaknya tidak ada perubahan yang berarti."
Fabian bolak-balik memutar kepalanya kesamping. Mencari dengan teliti apakah ada yang berubah dengan wajahnya.
"Karena ini 5 tahun lalu, berarti aku berumur 21 tahun. Oleh karena itu wajahku masih terlihat sama."
Fabian masih tidak mau mempercayainya, karena ini terdengar mustahil. Seperti sebuah cerita-cerita di dalam novel yang pernah dibaca olehnya.
"Padahal aku kira itu hanya fiksi saja."
Tidak pernah menyangka kalau dia akan mengalaminya sendiri. Ini benar-benar luar biasa!
"Aku tidak tahu kenapa aku bisa kembali lagi ke masa lalu, tapi aku yakin ini adalah takdir tuhan."
Setelah itu, Fabian membersihkan dirinya. Melihat seisi lemari pakaiannya yang masih memiliki model lama. Kalau di masa depan pakaian itu sudah dibuangnya sejak lama. Tapi, sekarang, ini adalah pakaian edisi terbaru.
Setelah selesai, Fabian turun dari lantai dua dan menuju ruang makan. Disana dia melihat ibunya dengan asisten rumah tangga tengah menyiapkan sarapan. Sedangkan ayahnya tengah membaca koran dan kakaknya menggeser layar tablet.
"Sayang?"
Ibu Fabian adalah orang pertama yang menyadari kehadiran Fabian. Selanjutnya semua orang disana langsung menatap Fabian.
"Kamu sudah sehat sayang?"
"Bian, kamu baik-baik saja, kan?"
"Nak, apa kita pergi ke rumah sakit?"
Dia menatap semua orang dengan sukacita. Semua orang tetap sama. Mereka sangat peduli kepada Fabian.
Fabian mendekati ibunya dan memeluk ibunya dengan erat, ibunya sampai kaget dan yang lainnya terheran-heran.
"Bian udah sehat, Mah. Bian sayang banget sama Mamah. Maafin Bian ya."
Ibunya bingung harus merespon apa atas permintaan maaf tiba-tiba itu. Diapun membalasnya dengan memeluk Fabian dan mengusap kepala dan punggungnya dengan lembut.
"Iya mama tahu."
"Bian punya banyak salah sama mamah selama ini. Bian dulu sering bolos sekolah—"
"Apa?"
"Maafin Bian."
"Iya."
Setelah puas memeluk ibunya, Fabian datang dan bersalaman dengan ayahnya. Canggung rasanya kalau memeluk ayahnya. Walaupun ayahnya menyayanginya tapi karena sifat kerasnya membuat Fabian sungkan.
"Maafin Fabian ya Pah. Bian juga punya banyak salah sama papa."
"Iya, Nak. Tidak apa-apa."
"Maafkan juga soal mencuri atm Pa—"
"Pantas saja itu hilang mendadak."
"Hehe.."
Namun, Fabian rasa dia tidak perlu sungkan lagi. Dia akhirnya memeluk ayahnya, walaupun itu hanya sepersekian detik.
Saat Fabian bertemu dengan tatapan kakaknya, "Nah, kesalahan apa yang kamu perbuat sama kakak?"
Fabian nyengir dan terkekeh pelan, "Maafin Bian, Kak. Karena sudah membuat mobil Kak Bian lecet."
"Ternyata itu kamu!"
"Hehe..."
"Tapi, tidak apa. Kesalahan apapun yang kamu lakukan. Kami semuanya akan selalu memaafkanmu."
Setelah itu, kakaknya datang memeluk Fabian dengan erat. Ibunya tersenyum dengan terharu. Sedang ayahnya tersenyum lega melihat suasana pagi ini yang begitu tenang.
Walaupun begitu, Fabian tidak mampu memaafkan dirinya sendiri. Atas semua perbuatan dirinya di masa depan kepada seluruh anggota keluarganya. Jika mereka tahu kalau Fabian membuat mereka sengsara di sana. Fabian tidak yakin kalau mereka masih mau memaafkannya.
"Bian minta maaf."
Setelah itu hanya ada hening beberapa saat.
"Kenapa suasananya mendadak menjadi haru biru. Bian, sekarang duduk. Kita makan bersama."
"Ya."
Fabian kemudian duduk di samping kakaknya. Dan semua orang kembali melanjutkan aktivitas mereka masing-masing.
Setelah menu sarapan siap di atas meja, semua orang saling berbicara satu sama lain.
"Nak beneran kamu tidak mau ke rumah sakit?"
Tanya ayahnya yang dengan tegas.
"Tidak usah, Pah."
"Kami khawatir kepadamu, Sayang. Apalagi kemarin kamu mengeluh sakit kepala tiba-tiba."
"Bian, baik-baik aja, Mah."
"Baiklah jika kamu berkata seperti itu."
"Apa jangan-jangan karena kejadian beberapa hari yang lalu?" Tanya Brian sambil menatap Fabian.
Kejadian beberapa hari yang lalu? Fabian tidak terlalu ingat. Mungkin dia bisa kembali lagi ke masa lalu. Tapi, bukan berarti dia akan ingat setiap detail kejadian sehari-hari dengan begitu jelas. Pada akhirnya, Fabian hanya manusia biasa.
"Kejadian apa, Kak?"
Atas pertanyaan itu, semua orang tiba-tiba langsung terdiam. Fabian merasa ada yang aneh disini. Kenapa mereka mendadak jadi bisu seperti ini.
"Ah, tidak-tidak. Lupakan saja."
Tapi, ucapan kakaknya malah membuat Fabian semakin penasaran. Dia ingin mengingat apa kejadian beberapa hari lalu itu? Tapi dia tidak tahu.
"Katakan Kak." Ucap Fabian menuntut.
"Lupakan saja. Itu bukan apa-apa. Lagi pula itu tidak terlalu penting."
Justru karena tidak penting dan kakaknya berusaha menutupinya, Fabian malah semakin penasaran.
"Ayolah, Kak. Kakak yang paling Bian sayangi. Paling baik hati. Dan tidak pernah marah sama Bian. Kasih tahu, Bian. Ya?"
Bian membuat sikap seperti anak kucing yang memohon kepada Brian. Bergelantung di tangan kakaknya.
Brian terlihat ragu-ragu selama beberapa saat. Apalagi saat melirik kedua orang tuanya, mereka kompak menggelengkan kepalanya. Namun Fabian tidak mau menyerah dan semakin memohon.
"Ayolah, Kak. Kakak tega sama Bian? Kakak mau jahat sama Bian?"
"Engga, kakak tidak setega itu."
"Jadi kejadian apa yang kakak maksud?"
"Kamu ditolak Devan."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Second Time |Fabian&Devan|
FantasíaFabian sangat terobsesi dengan sehabatnya, Devan. Tapi, karena hal itu, hidupnya pun menjadi hancur. Itulah yang terjadi di kehidupan pertama Fabian, saat dia diberi kehidupan kedua. Dia bertekad untuk tidak terobsesi lagi dengan Devan. Namun yang m...