Bagian#54

20.8K 1.7K 126
                                    

Teman-teman, terima kasih untuk semua masukan yang kalian berikan. Itu akan menjadi pertimbangan bagi saya di keputusan akhir nanti.

Untuk saat ini saya akan melanjutkan ini sampai selesai dulu, baru di akhir nanti saya akan kasih pengumuman kedua.

Saya sangat berterima kasih sebanyak-banyaknya.

Love yall🫶🏻

And Happy Reading🌷

_________________________________

K-kak Axel?"

Fabian menatap seorang pria yang tengah berjongkok di depannya. Wajahnya lebih dewasa daripada terakhir kali Fabian melihatnya. Namun, walaupun sorot matanya tidak sehangat dulu, suara yang tadi memanggilnya masih hangat dan lembut.

"Iya, Aku Axel."

Axel segera mengatakan kalau itu memang dirinya. Fabian entah kenapa sedikit merasa lega, bertemu dengan seseorang yang dikenalnya. Orang yang dulu dekat dengannya.

"Ada apa denganmu Fabian?"

Tapi, Fabian sudah lelah untuk membalas ucapan ini. Dia terlihat tidak berdaya, mata terkulai, wajah dan rambut yang berantakan dan berminyak, selain itu pakaian nya sangatlah kotor akibat jatuh berguling-guling dari atas.

Penampilan Fabian begitu menyedihkan.

"Aku bantu kamu naik!"

Axel buru-buru membantu Fabian dengan cara membopong tubuhnya. Satu tangan di bagian lutut dan tangan lain di punggung Fabian. Selanjutnya dia mendekati pintu mobil di bagian tengah dan membukanya. Dia membaringkan Fabian di kursi panjang itu.

"Kita perlu segera ke rumah sakit!"

Sebelum dia turun, Fabian segera menahan tubuh Axel, "Kak Axel, tolong jangan bawa aku kesana."

Axel mengerutkan keningnya tidak mengerti, "Mengapa? Apa kau tidak tahu bagaimana keadaan dirimu sekarang? Kau butuh perawatan Fabian."

"Tidak."

Axel menghela nafas saat mendengar penolakan itu, kemudian dia mengangguk pelan. Dan segera duduk di belakang kemudi mobil, tidak lama setelahnya dia membawa mobil.

Sepanjang perjalanan, Fabian memejamkan matanya untuk sesaat. Dia merasa sedikit lebih lega berada disini bersama Axel. Selain itu ada perasaan nyaman dan aman juga.

Pada akhirnya, Fabian bisa tertidur pulas setelah sekian lamanya.

***

Ketika dia bangun, dia menemukan hari sudah malam. Fabian bangun dan rasa sakit terasa di beberapa bagian tubuhnya. Namun dia memilih untuk mengabaikan itu dan mencari keberadaan Axel yang sama sekali tidak ada di dalam mobil.

Fabian perlahan turun dari mobil dan menutup pintu dibelakangnya, di depan sana, dia melihat Axel yang tengah duduk di atas batang pohon tua. Mendapati keberadaan lain, dia segera menoleh ke arah Fabian.

"Kamu sudah bangun?"

"Ya."

Dia datang mendekat ke arah Fabian, dia mengecek suhu tubuh Fabian yang untungnya masih normal. Tidak ada demam. Hanya saja memang ada lebam dan luka goresan di beberapa bagian.

"Kita duduk disana. Aku mau obati lukamu itu."

Fabian mengangguk pelan. Kemudian dia dibantu Axel untuk duduk di atas batang pohon. Disana, Axel berlutut di bawah Fabian. Mengeluarkan beberapa obat yang entah dibelinya atau sedari awal dibawanya.

Di sisi lain ada api unggun yang masih menyala, udara malam yang dingin di pegunungan terasa lebih hangat akibat panas dari pembakaran kayu. Suasana tidak terlalu mencekam. Dan lebih nyaman karena ada Axel.

Axel di bawah sana dengan telaten mengeluarkan beberapa obat, mengoleskannya ke bagian yang terluka, "Akh.." suara kesakitan terdengar keluar.

"Bertahanlah sedikit lagi."

Hingga Axel menyelesaikan semuanya, Fabian berusaha menahan rasa perih itu dengan cara menggigit bagian dalam mulutnya.

Setelah menyelesaikan pengobatan, Axel datang membawa satu mie instan cup, "Mau?"

"Mau!"

Perutnya sudah lapar, apalagi setelah semua pelarian yang menguras tenaganya. Sudah pastinya Fabian kelaparan dan kehausan. Axel yang mengerti juga memberi Fabian botol mineral kecil yang telah dibuka.

Sambil menunggu air mendidih dari dalam teko kecil, Axel terus memastikan api unggun itu terbakar dengan sempurna. Mendorong batang bayu kering ke bagian tengah.

Setelah air mendidih, air panas dimasukan ke dalam cup mie yang telah di buka. Beberapa menit berlalu, hidangan mie panas siap untuk Fabian santap.

"Kak Axel mau?"

Fabian berusaha menawarkan, padahal dia sudah setengah jalan. Dan mie di genggaman tangannya tersisa sedikit. Karena saking laparnya dia sampai melupakan Axel.

"Tidak pelu, kamu lebih membutuhkan daripada aku."

Ketika Fabian menyelesaikan makanannya, disitu akhirnya dia Axel buka suara.

"Apa yang terjadi padamu Fabian?"

Mendengar itu, Fabian tertegun untuk sesaat. Sejak kejadian di danau universitas 4 tahun lalu, dia tidak pernah bertukar kabar dengan Axel. Itu karena memang pilihan Fabian sendiri, tapi apa mungkin kakaknya, Brian akan memberitahu Axel?

Tapi, mengingat Axel yang bertanya, Brian tampaknya menyembunyikan kabar Fabian dari Axel juga. Itu bisa dimengerti sebenarnya.

"Banyak hal yang telah aku lalui. Aku juga tidak tahu harus memulainya dari mana."

Walaupun sudah bebas dari penjara, masih ada perasaan kosong, tidak nyaman dan janggal. Entah tubuh Fabian yang sudah terbiasa dengan penjara itu jadi ketika berada di luar untuk waktu yang lama, dia merasa asing.

Atau mungkin saja karena waswas Devan mungkin saja akan kembali datang menemukannya. Fabian sampai menoleh ke segala arah, memastikan tidak ada keberadaan Devan disini.

"Fabian, ada apa?"

Axel datang mendekat dan memegang kedua tangan Fabian yang terkepal tanpa disadarinya. Fabian berusha mengatur nafasnya, agar tubuhnya menjadi lebih tenang.

"Tidak apa jika kamu belum siap menceritakannya. Aku yakin itu sangat menyakitkan sampai kamu berakhir seperti ini."

Sama seperti dulu, Axel tidak pernah menuntut jawaban dari Fabian. Hal itu pun membuat Fabian lega. Karena, di sisi lain dia merasa malu kalau mendapati orang lain tahu dia dikurung oleh Devan.

Fabian menatap Axel, penampilannya jauh lebih dewasa karena dia berada di umur akhir tiga puluhan. Fabian jadi membayangkan usia kakaknya juga. Dia jadi merindukan kakak dan kedua orang tuanya.

"Kak Axel tahu kabar keluargaku saat ini?"

"T-tidak. Pinjamkan aku ponsel Kak Axel. Aku ingin menghubungi mereka secara langsung."

"Bisakah?"

Raut wajah Axel perlahan turun dan sedih, karena hal itu pula Fabian tiba-tiba merasakan sesak di dalam dadanya.

"Cepat berikan, kak Axel!"

"Aku butuh menghubungi mereka semua!"

"Aku sangat mengkhawatirkan keadaan mereka!"

Hanya lenguhan berat dan pelan yang keluar dari mulutnya, tangannya datang mendekat untuk memeluk Fabian dengan erat.

"Aku turut berduka cita atas meninggalnya seluruh keluargamu."

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued

Author Note : Tidak—tunggu, Apa?!

[BL] Second Time |Fabian&Devan|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang