Siang itu Matahari amat terik. Bagas bekerja dengan giat. Tidak peduli keringat membasahi kemejanya. Wajah sedih Laras terus terkenang di pelupuk mata. Bagas bertekad ingin menyenangkan istrinya dengan terus giat bekerja.
"Nak Bagas, ayo istirahat dulu!" teriak Pak Kardi pada seorang laki-laki yang sedang mengaduk campuran bahan bangunan.
Bagas menoleh sambil memegang cangkul. "Iya, Pak!"
Sementara dari kejauhan seorang laki-laki sedang memperhatikan Bagas.
Dia, Fandi Gumilang, pemborong yang menangani proyek bangunan di mana Bagas dan Pak Kardi bekerja. Usianya hampir sama dengan Bagas.
"Saya baru lihat orang itu. Apa dia masih baru?" Fandi bertanya pada mandor yang bertugas di lapangan. Matanya tertuju ke arah Bagas.
Pak Darma selaku mandor yang bertugas hari ini pun menjawab, "Benar, Pak. Dia baru bekerja hari ini. Namanya Bagas!"
Fandi manggut-manggut. "Saya harap dia bisa terus giat seperti itu, bukan hari ini saja."
Pak Darma cuma mengangguk. Dia menoleh satu kali ke arah Bagas yang sedang berteduh bersama buruh lainnya, lantas melanjutkan langkahnya menyusul Fandi.
"Kamu pasti capek ya kerja kasar begini? Mestinya sarjana kayak kamu ini kerjanya di kantor yang ada AC nya, persis Pak Fandi!" Pak Kardi bicara pada Bagas sambil menuangkan air untuk minum.
Bagas tersenyum tipis. "Namanya juga kerja, Pak! Apa pun itu, tetap saja capek! Saya justru bersyukur bisa dapat kerjaan yang halal," katanya lantas meraih gelas berisi air putih yang Pak Kardi sodorkan.
Pak Kardi manggut-manggut. "Saya turut prihatin atas keputusan Pak Handoko. Saya yakin, Pak Handoko akan kesulitan mengelola banyak pabrik dan perkebunannya. Suatu hari pasti dia akan memanggil kamu lagi," katanya sambil menatap Bagas.
Bagas terdiam lalu tersenyum. "Saya lebih berharap bisa bekerja tanpa campur tangan ayah saya," katanya sama Pak Kardi.
Pak Kardi cuma manggut-manggut menanggapi. Kemudian mereka mulai membuka nasi bungkus yang tersaji di depannya. Sambil mendengarkan cerita masa muda Pak Kardi, Bagas mulai makan.
~•~
Hari mulai petang saat mini bus putih menepi di tepi jalan. Dari tepi jendela, mata Laras mengintai. Benar dugaannya. Frans sudah mengirim sopir untuk menjemputnya sore ini.
Namun, apa dia harus pergi sekarang?
"Mas Frans minta Mbak Laras jangan lama-lama, karena jadwal hari ini cukup padat." Jarwo bicara setelah pintu di depannya dibuka.
Laras tertegun di tempat. Dan saat tangan sopir itu menyambar tas yang ia bawa, jiwa Laras terasa melayang tak tentu arah.
Jarwo bergegas melajukan mobil usai menutup pintunya rapat-rapat. Matanya melirik ke belakang di mana Laras duduk. Dilihatnya wajah perempuan itu yang sedang menunduk.
"Kenapa kita kesini, Mas?" tanya Laras pada Jarwo. Dia keheranan karena sopir menepikan mobil yang membawanya di depan sebuah hotel.
Jarwo menoleh ke belakang. "Mas Frans yang meminta saya mengantar Mbak kesini."
Laras tidak bertanya lagi. Perempuan itu segera turun dari mobil setelah Jarwo membukakan pintu. Langkah kecil Laras terayun menuju lobi hotel. Ia melirik ke sekitar. Bagaimana jika ada yang melihatnya?
Jarwo mengikuti langah Laras sambil menenteng tas yang berisi perlengkapan Laras. Semacam pakaian dinas, alat make up dan lain-lain yang Laras butuhkan saat melayani klien.
"Silakan masuk, Mbak!"
Glek!
Laras menelan ludah kasar. Jantungnya berdegup kencang saat Jarwo membukakan pintu sebuah kamar yang berada di lantai dua belas hotel tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
OPEN BO
Random| khusus dewasa | Laras dijebak oleh lelaki biadab bernama Frans sehingga dia berakhir menjadi seorang wanita panggilan. Dia merahasiakan semua itu dari suaminya, Bagas. Sementara Bagas, laki-laki itu rela meninggalkan rumah orang tuanya demi menika...