Chapter 47. Transaksi Dengan Pak Wirya

206 4 1
                                    

Pagi-pagi sekali Bagas sudah pergi meninggalkan rumah. Laras melepas kepergian suaminya sambil berdiri di teras.

Hari ini dia harus melakukan transaksi dengan Fandi. Lelaki itu mungkin sudah mengirim banyak pesan padanya. Sayangnya Laras mematikan ponsel rahasianya sejak hari kemarin.

Setelah menepikan motornya di area parkiran, Bagas segera berjalan menuju para buruh yang sudah berkumpul di lapangan.

"Kalian akan dikirim ke Kalimantan selama tiga hari. Sudah kabarkan ini pada keluarga kalian?!"

"Sudah, Pak!"

Mandor tersenyum melihat semangat para buruh. Kemudian dia menoleh ke arah lelaki berkemeja biru muda yang berdiri di samping. Fandi cuma mengangguk menanggapi.

Setelah melakukan sedikit persiapan, para buruh pun segera naik ke mobil. Bagas menoleh ke arah balkon kantor di mana dilihatnya Fandi yang sedang berdiri di sana.

'Pergilah, Bagas. Biar istrimu aku saja yang urus.'

Fandi tersenyum membalas tatapan Bagas. Dia melambaikan tangan pada mobil yang membawa para buruh itu pergi.

["Transaksi hari ini pukul dua sore. Kamu siap-siap!"]

Laras segera melempar ponsel di tangannya ke tengah ranjang. Frans mengirim banyak pesan. Semuanya tentang transaksi!

Dengan perasaan yang tidak karuan, Laras segera bersiap-siap. Ponselnya terus saja berbunyi. Fandi mengirim banyak pesan cinta untuknya. Sayangnya Laras tidak peduli.

"Kita berangkat sekarang, Mas Jarwo!"

Lelaki yang sedang duduk di dalam mobil dibuat sedikit terkejut saat Laras tiba-tiba datang. Perempuan itu sudah dandan cantik dan segera masuk mobil.

Jarwo cuma mengangguk. Segera ia melajukan mobil menuju lokasi klien berada.

"Saya mau pulang. Tolong kalian awasi para buruh!"

"Baik, Pak Fandi!"

Para mandor cuma tersenyum melihat Fandi berjalan menuju mobilnya. Enak betul jadi orang kaya. Di usianya yang masih muda, Fandi sudah sukses sebagai insinyur.

Mobil yang membawa para buruh belum sampai ke dermaga. Bagas tampak gusar. Dia sedang memikirkan Laras.

'Mas janji akan membahagiakan kamu, Laras. Sepulang dari Kalimantan nanti, kita kembali ke Solo.'

Dipejamkan mata itu, Bagas merasa berat meninggalkan Laras seorang diri di Jakarta. Namun dia harus pergi demi mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih baik.

"Bagas dipindahkan kerja ke Kalimantan. Apa Bapak tega membiarkan anak kita kerja keras begitu?! Ibu kuatir sama Bagas, Pak!"

Purwanti nangis-nangis setelah mendapat kabar dari Triatno. Rupanya Pak Handoko meminta orang kepercayaannya itu untuk selalu memantau Bagas di Jakarta.

Sambil berdiri di tepi garis jendela, Pak Handoko menarik nafas dalam-dalam.

Bagas benar-benar keras kepala. Apa susahnya meninggalkan Laras lalu datang ke rumah orang tuanya. Dia seorang pewaris, tapi malah mau hidup susah begitu cuma karena seorang perempuan.

Pak Handoko tidak habis pikir. Sepertinya memang sulit untuk meluluhkan prinsip Bagas. Juga memisahkan sang putra dari perempuan itu.

Dia tidak tega melihat Purwanti yang terus bersedih. Juga putra semata wayangnya harus hidup susah seperti itu. Dia harus memanggil Bagas untuk pulang. Meski harus melawan ego dan prinsipnya.

Melihat suaminya yang diam saja, Purwanti cuma bisa meradang dalam hati. Dia segera menolehkan kepala, lantas pergi meninggalkan ruangan Pak Handoko.

***

OPEN BO Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang