Desy dan yang lainnya baru saja sampai di rumah setelah kembali dari perjalanan panjang. Desy tampak lelah, sementara ibunya terlihat lebih tenang, mungkin karena tidur sepanjang jalan. Mereka masuk ke dalam rumah dan langsung menuju ruang tamu, tempat mereka bisa melepaskan penat dan berbicara tentang hari mereka.
“Ah, akhirnya kita sampai juga di rumah,” kata Desy, meletakkan tas ranselnya di atas meja
Ibunya mengangguk. “Iya, hari ini cukup melelahkan tapi semuanya berjalan dengan lancar.”
Desy duduk di sofa, melepaskan sepatu dan menarik napas panjang. “Benar sekali. Tapi, rasanya desy butuh istirahat sebentar.”
Sementara itu, Andra dan Nazwa, melangkah masuk ke rumah mereka dengan kelelahan yang serupa.
“Nazwa, langsung ke kamar ya. Abang akan ke ruang kerja sebentar,” kata Andra sambil melangkah menuju ruangannya .
Nazwa mengangguk cepat dan segera bergegas menuju kamar, meninggalkan Andra yang menuju ruang kerja. Andra membuka pintu ruang kerjanya dan langsung duduk di meja kerjanya. Dia memeriksa dokumen-dokumen penting dan merapikan beberapa berkas sebelum akhirnya menghela napas.
Di sisi lain, Dylan menghabiskan waktu dengan neneknya, yang mengundang penduduk kampung untuk mempersiapkan pernikahan orangtuanya. Dylan mengikuti neneknya keliling kampung, mengamati berbagai aktivitas yang terjadi di sekitar mereka.
Anak-anak kecil seusianya berlarian di jalanan, sesekali melirik Dylan dengan rasa ingin tahu. Dylan tersenyum pada mereka, merasa senang melihat kegembiraan anak-anak yang begitu polos. Mereka membalas senyumannya dengan ceria, seolah-olah mereka sudah lama mengenal Dylan.
Neneknya, yang sangat bersemangat, terus berbicara dengan penduduk kampung tentang pernikahan yang akan datang. Dylan, meskipun tidak berbicara banyak, merasa bahagia berada di sisi nenek nya .
Di sisi lain dari kampung, Keenan berada di rumahnya. Meskipun dia sangat fokus mengajar, situasi di rumah tidak selalu berjalan mulus. Beberapa murid mulai berkelahi dan menjerit, membuat suasana menjadi kacau.
Keenan, dengan kesabaran yang besar, berusaha menenangkan murid-muridnya. “Ayo, semua tenang. Kita harus menyelesaikan pelajaran ini dengan baik.”
Dalam hatinya, Keenan merasa sangat merindukan putranya, Dylan. Setiap kali dia mendengar anak-anak bercanda atau berkelahi, dia tidak bisa tidak membayangkan bagaimana rasanya jika Dylan ada di sini bersamanya. Dia berdoa agar putranya bahagia dan segera pulang agar dirinya bisa memeluknya
Di taman, Fazia duduk termenung di bangku yang sepi. Dia merasa seolah-olah ada seseorang yang baru saja menamparnya dengan keras, bukan secara fisik, tetapi secara emosional. Perasaan penyesalan dan kesedihan melanda dirinya saat dia memikirkan masa lalu.
“Apa yang telah aku lakukan?” gumam Fazia sambil meneteskan air mata. “Aku menyia-nyiakan anakku dan mengkhianati andra. Kenapa aku tidak bisa melihat betapa pentingnya mereka bagiku?”
Setiap tetes air mata yang jatuh terasa seperti penyesalan yang mendalam. Fazia menyadari betapa banyak kesalahan yang telah dia buat dan berharap bisa mengubah segalanya. Namun, dia tahu bahwa penyesalan saja tidak akan bisa mengubah masa lalu.
Kembali ke rumah andra, dia duduk di ruang tamu dengan senyuman lebar di wajahnya. Dalam hati, dia merasa sangat bahagia dan tidak sabar menunggu hari pernikahannya.
“Sebentar lagi aku akan menikah dengan seseorang yang benar-benar aku cintai,” kata Andra dalam hati. “Aku berdoa semoga semuanya berjalan lancar dan Tuhan memberkati kami.”
Dia membayangkan hari istimewa itu, membayangkan bagaimana semuanya akan menjadi sempurna. Andra merasa bersyukur dan dia siap memulai babak baru dalam hidupnya bersama seseorang yang dia cintai dan anak semata wayangnya.
Setelah mengikuti neneknya keliling kampung, Dylan kembali ke rumah dan menonton TV seorang diri. Dia merasa nyaman berada di rumah, jauh dari keramaian dan kesibukan luar.
Ketika sedang asyik menonton, Dylan mendengar suara kakeknya berbicara dari kamar sebelah. Dengan rasa ingin tahu, dia menghampiri kakeknya.
“Kakek, ada apa?” tanya Dylan saat memasuki kamar.
Kakeknya menoleh dan tersenyum. “Ah, adek. kemarilah ”
Dylan mengangguk dan duduk di sebelah kakeknya. dylan bersandar di lengan kakeknya, ia mendengar kakeknya bicara dengan seseorang melalui panggilan suara
" Besok saja antarkan ke rumah "
" Saya ingin yang paling bagus "
" baiklah terimakasih ya "
Di rumah orangtua Keenan, barang-barang persiapan untuk pernikahan sudah mulai berdatangan. Ayah Keenan dengan hati-hati menata barang-barang tersebut agar tidak menghalangi jalan. Dia memastikan segala sesuatu siap untuk hari besar yang akan datang.
Dengan teliti, Ayah Keenan memeriksa setiap detail dan memastikan bahwa semuanya terorganisir dengan baik. Dia tahu betapa pentingnya hari pernikahan ini dan ingin memastikan bahwa semuanya berjalan dengan lancar.
Sore hari, setelah selesai mengajar, Keenan merapikan kelasnya. Dia menyusun meja, menyapu lantai, dan memastikan semuanya bersih. Murid-muridnya telah pulang, dan Keenan merasa lega karena hari itu berakhir dengan baik.
Setelah selesai di kelas, Keenan menuju dapur untuk memasak makan malam. Dia memilih bahan-bahan segar dan memasak dengan penuh perhatian. Meskipun dia memasak untuk dirinya sendiri, Keenan melakukannya dengan penuh rasa cinta.
Setelah makan malam, Keenan mandi dan merawat diri dengan menggunakan skincare. Dia merasa nyaman dan tenang setelah hari yang panjang. Dia duduk di tempat tidur, bermain dengan ponselnya sejenak sebelum akhirnya mematikan lampu dan beristirahat.
Dengan tenang, Keenan merebahkan diri di tempat tidur, menutup mata, dan membiarkan dirinya beristirahat. Dia tahu bahwa besok adalah hari baru dengan tantangan baru, dan dia siap menghadapinya dengan semangat dan kesabaran.