Setelah menutup telepon, Andra menarik napas panjang, mencoba menghilangkan kekhawatiran yang menggelayuti pikirannya. Ia masih berjongkok di lantai, meresapi kata-kata terakhir dari percakapannya dengan fazia. Namun, ketika dirinya hendak bangkit dan menyadari sesuatu yang membuat dadanya semakin sesak , dia belum mengenakan pakaian sejak keluar dari kamar mandi. Mata Andra melebar seketika, kepanikan kecil muncul di benaknya. Bagaimana bisa dia begitu larut dalam percakapan hingga melupakan hal sepenting itu?
Tatapan keenan tertuju padanya. Dia menatap Andra dengan bingung, seolah-olah sedang mencoba memahami ekspresi aneh di wajah calon suaminya. “Kenapa?” tanya Keenan lembut, nada suaranya penuh perhatian, meski ia belum sepenuhnya menyadari situasi.
Andra hanya bisa menggeleng dengan canggung, merasa malu. Raut wajahnya mencoba menahan senyum malu, sementara dengan cepat ia berbalik menuju kamar mandi. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia masuk dan menutup pintu di belakangnya. Di dalam kamar mandi, Andra bersandar sejenak pada pintu, menghela napas panjang sambil berusaha menenangkan diri dari perasaan canggung itu.
Di luar, Keenan masih memandangi pintu kamar mandi, lalu menunduk ke arah dylan yang sedang tidur nyenyak di pelukannya. Senyum kecil muncul di wajah keenan, meski ia belum sepenuhnya menyadari keanehan yang baru saja terjadi. Ia mengalihkan fokusnya kembali pada Dylan yang sudah kenyang dan tampak begitu damai dalam tidurnya. Keenan mencium lembut kening dylan, merasa lega bahwa anak mereka kembali tenang setelah beberapa menit menyusu.
Perlahan, Keenan meletakkan Dylan di atas tempat tidur, Dylan meringkuk sejenak sebelum kembali terlelap, napasnya yang teratur membuat suasana kamar terasa damai. Keenan meluruskan punggungnya dan melangkah mundur, memastikan anak mereka tidur dengan nyaman. Dengan hati-hati, ia memeriksa suhu ruangan, memastikan semuanya sempurna untuk tidur dylan.
Setelah memastikan dylan tertidur dengan nyaman, Keenan duduk di sisi tempat tidur, matanya terarah pada pintu kamar mandi yang masih tertutup. Pikirannya melayang kembali ke momen tadi, saat andra terlihat canggung. Apa yang terjadi? Pikirannya mencoba menebak, tetapi keenan memilih untuk tidak terlalu memikirkan hal itu. Mungkin andra hanya butuh waktu untuk menenangkan diri setelah percakapan emosional dengan Fazia.
Saat itu, Andra keluar dari kamar mandi, sudah mengenakan pakaian yang layak. Wajahnya masih sedikit memerah karena malu, tapi dia mencoba menutupi perasaan itu dengan sikap santai. Andra menatap keenan yang kini duduk di pinggir tempat tidur, seolah mencoba mencari tanda-tanda apakah keenan menyadari apa yang baru saja terjadi.
Keenan menatap andra sebentar, ada senyum kecil di bibirnya. “ kamu baik-baik saja? ” tanya keenan dengan nada lembut.
Andra mengangguk pelan, mendekat ke keenan dan duduk di sebelahnya “ Ya, aku baik-baik saja” jawabnya sambil tersenyum kecil, meski rasa canggung masih sedikit tersisa.
Mereka berdua duduk dalam keheningan, memperhatikan dylan terlelap dengan damai di atas tempat tidur. Momen itu terasa tenang, seolah-olah dunia di luar tidak lagi penting. Keenan menyandarkan kepalanya pada bahu andra, merasa hangat oleh kehadirannya.
“Aku tidak akan meninggalkanmu, kamu tahu itu, kan? ” bisik keenan tiba-tiba, nada suaranya penuh dengan kelembutan dan ketulusan.
Andra mengangguk, merasakan kehangatan kata-kata keenan yang menenangkan. Tanpa berkata-kata lagi, dia meraih tangan keenan dan menggenggamnya erat. Tidak peduli apa pun yang terjadi di luar sana termasuk masa lalu yang terus mencoba menyeretnya kembali, dia tahu, mereka akan menghadapi semuanya bersama.
Di luar, terdengar suara ketukan lembut di pintu. Keenan dan Andra saling menatap sejenak, suasana hening yang hangat di antara mereka terputus oleh panggilan dari luar. Keenan segera bangkit dari tempat duduknya, berjalan menuju pintu, sementara Andra mengikuti di belakangnya, penasaran siapa yang mengetuk pintu. Saat Keenan membuka pintu, terlihatlah Nazwa berdiri di ambang pintu dengan senyum ramah di wajahnya.
"Nazwa?" Keenan tersenyum, menyapa calon adik iparnya yang tampak segar di pagi hari itu.
Nazwa membalas senyuman dan sedikit melambai "Ayo turun, sarapan sudah siap " Dia melirik ke dalam kamar, matanya mencari-cari sosok Dylan.
"Ngomong-ngomong, bagaimana Dylan? Apa dia sudah bangun?"
Keenan menggeleng pelan, senyum tipis masih terlukis di wajahnya " Dylan masih tidur. Dia kenyang setelah menyusu, jadi tadi langsung terlelap," jawabnya dengan nada lembut. Dia menoleh sebentar ke arah tempat tidur.
"Ah, begitu ya " Nazwa tertawa kecil, memaklumi bagaimana dylan, setelah kenyang, pasti langsung tertidur dengan lelap.
"Kalau begitu biarkan dia tidur dulu, tapi kakak dan abang turun ya. Semuanya sudah menunggu di bawah "
Andra, yang berdiri di belakang keenan, hanya tersenyum mendengar percakapan mereka "Baik, kami akan segera turun," katanya sambil menepuk pelan punggung Keenan, tanda agar mereka segera bersiap.
Nazwa mengangguk senang dan berbalik meninggalkan kamar, membiarkan pintu sedikit terbuka. Setelah Nazwa pergi, Keenan menutup pintu perlahan dan menoleh ke arah Andra. "Sepertinya kita tidak punya pilihan selain turun dan makan," katanya dengan nada menggoda, senyum kecil menghiasi wajahnya.
Andra tertawa kecil, berjalan kembali ke sisi tempat tidur untuk memeriksa dylan yang masih tidur lelap. "Ya, sepertinya begitu," dia setuju, sambil menunduk sedikit untuk memastikan tidur dylan.
Setelah memastikan semuanya baik-baik saja, Keenan dan Andra keluar dari kamar dengan hati-hati, berusaha tidak membuat suara yang bisa membangunkan Dylan. Mereka menuruni tangga bersama, suara langkah mereka terdengar lembut di lantai kayu. Aroma makanan yang menggugah selera mulai tercium dari dapur, dan suasana rumah pagi itu terasa begitu damai dan nyaman.
Di ruang makan, semuanya sudah duduk kursi meja makan, menunggu mereka. Meja makan sudah penuh dengan hidangan, dari roti panggang, telur, hingga jus segar. Ibu Keenan tersenyum hangat ketika melihat Keenan dan Andra turun.
“Dylan masih tidur?” tanya ibu Keenan lembut, mengalihkan pandangannya pada Keenan yang baru saja duduk di meja.
Keenan mengangguk sambil tersenyum. “Iya, Bu. Dia kenyang setelah menyusu, jadi langsung tertidur nyenyak.”
Ibu Keenan tertawa kecil, “Anak kecil memang begitu. Kalau sudah kenyang, pasti langsung tidur.”
Mereka semua tertawa kecil, merasakan kehangatan momen itu. Sarapan pagi pun dimulai, dan Keenan merasa betapa beruntungnya memiliki keluarga yang begitu penuh cinta dan perhatian. Meski ada tantangan di luar sana, terutama dari masa lalu Andra yang masih membayangi mereka, namun saat-saat seperti ini mengingatkan mereka bahwa mereka memiliki satu sama lain.