Tiga puluh tiga

736 53 0
                                    

Pagi itu, sinar matahari lembut masuk melalui celah-celah tirai kamar, menerangi ruangan dengan cahaya hangat. Keenan perlahan membuka matanya, pandangannya masih kabur oleh sisa-sisa kantuk. Awalnya, ia tidak menyadari posisi tubuhnya masih nyaman berbaring, terlilit dalam pelukan Andra. Namun, begitu kesadarannya kembali sepenuhnya, Keenan segera duduk, tubuhnya refleks menjauh dari Andra.

Andra, yang merasakan gerakan Keenan, perlahan membuka matanya. Matanya yang masih setengah terpejam memperhatikan Keenan yang kini duduk di sampingnya. Tanpa sepenuhnya sadar, Andra meraih pinggang Keenan, menariknya kembali ke dekatnya dengan gerakan lembut namun pasti.

Keenan tersentak kecil, tapi kemudian senyum tipis muncul di wajahnya. Andra, yang masih terjebak antara sadar dan tidur, hanya memeluk pinggang Keenan lebih erat, seolah mencari kenyamanan dalam pelukan yang tak ingin dilepaskan. Keenan menghela napas pelan, merasa hangat oleh kehadiran Andra di dekatnya, sambil sesekali mengusap lembut tangan Andra yang memeluknya.

Keenan menoleh ke arah sampingnya, melihat dylan yang masih tidur pulas, wajahnya damai dan tenang. Ia mengangkat perlahan tangan andra yang masih memeluk pinggangnya, hati-hatinya agar tidak membangunkannya. Dengan lembut, Keenan melepaskan pelukan itu dan bangkit dari tempat tidur. Ia melangkah ringan menuju jendela, membuka tirai untuk membiarkan cahaya pagi masuk, lalu membersihkan tubuhnya di kamar mandi dan mengenakan pakaian santai kemudian akhirnya meninggalkan kamar.

Di dapur, suasana pagi terasa nyaman dan hangat. Ibunya dan Ibu Desy sudah berada di sana, sibuk mempersiapkan sarapan. Keenan menyapa mereka dengan senyum lembut.

“Selamat pagi. Di mana desy dan nazwa?” tanyanya sambil merapikan rambutnya yang masih kusut.

Ibunya mengangkat wajahnya, menatap keenan dengan penuh pengertian “ Mereka masih tidur di kamar ” jawabnya.

“Nazwa baru saja bangun dan masih beristirahat. Sementara desy mungkin masih tidur lebih lama.”

Keenan mengangguk, memahami situasi tersebut. Ia melanjutkan langkahnya menuju meja dapur, sambil berterima kasih kepada ibunya dan Ibu desy yang telah memulai hari dengan penuh semangat. Dengan sedikit sisa rasa kantuk, Keenan memutuskan untuk membantu di dapur, siap untuk memulai hari yang baru dengan penuh energi dan cinta.

Andra tersentak dari tidurnya ketika ponselnya berbunyi, suara dering yang mengganggu ketenangan pagi. Dengan mata yang masih berat, ia meraih ponselnya dari samping tempat tidur, mengusap-usap matanya untuk mencoba melihat layar dengan jelas. Tanpa memeriksa siapa yang menelepon, Andra menjawab panggilan itu dengan suara malas.

“Hallo?” suaranya terdengar serak, penuh kantuk.

Namun, begitu mendengar suara di seberang, matanya segera terbuka lebar. Suara yang akrab dan penuh emosi itu membuatnya terjaga sepenuhnya. Fazia, mantan istrinya, ternyata yang menghubunginya lagi. Hati Andra bergetar, perasaan campur aduk segera muncul saat mendengar suaranya.

“Andra,” suara Fazia terdengar penuh kerinduan dan kesedihan.

Andra duduk di kasur, rasa kantuknya tiba-tiba menghilang seiring dengan intensitas percakapan di telepon. Ia menatap pintu kamar yang tertutup, penuh perhatian. Gerakan matanya berpindah-pindah, mencari-cari keberadaan keenan di dalam ruangan. Dengan perlahan, Andra meletakkan ponselnya di samping, tetap mendengarkan suara fazia yang terus berbicara di ujung telepon.

Sementara itu, matanya terus mencari sosok keenan. Andra membuka pintu kamar dengan lembut, membiarkan Fazia terus berbicara di telepon. Suara Fazia yang penuh emosi kesedihan memecah keheningan pagi, sementara Andra melangkah keluar dari kamar. Dia melintasi lorong dengan langkah cepat namun hati-hati, matanya masih terjaga penuh perhatian mencari sosok keenan.

DYLAN KALERIC PARAMUDYA [ BL ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang