Harap Membaca Bagian Pertama Terlebih Dahulu untuk Pemahaman Lebih Mendalam
Arisa Vera kembali ke kehidupan lamanya-penuh kehancuran dan kekacauan. Ia sulit menerima kenyataan bahwa ikatannya dengan sang iblis, yang selama ini ia rasakan, ternyata h...
I always forget that you are a devil who can disappear
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dalam semburat alunan lembut yang memainkan teka-teki dalam waktu yang tak menentu, asa terlahir dalam gemerlap yang tak meyakinkan. Segala hal terasa menyedihkan, meski pada pandangan pertama tampak fana; kepalsuan yang ada memberikan kesempatan pada sang jiwa untuk mengabdi.
Di tengah ketidakpastian ini, muncul intrik tak terduga dalam setiap gerakan, seolah-olah setiap tindakan menyahut suara hatinya, dan di dalam asanya tersimpan banyak hal yang tak dapat dimengerti begitu saja.
Arisa masih diam di tempat, terdiam dalam kebingungan yang mendalam. Jemari lentiknya terus menepuk punggung Aveline, yang tampak begitu nyaman dalam gendongannya. Sentuhan hangat itu seakan menjadi saluran kehangatan yang meredakan kesedihan yang melanda.
Di balik senyuman manis putrinya, Arisa menggigit bibir bawahnya, berjuang menahan segala emosi yang ingin dia teriakan. Ada banyak pertanyaan yang berputar dalam pikirannya: Apa makna hidup ini, sehingga ia diperlakukan sedemikian rupa? Mengapa segala sesuatu terasa seperti permainan acak yang tak kunjung reda?
Sorot mata hazel wanita muda itu beralih menatap Aveline, yang tampak tenang sambil memainkan rambutnya yang telah memanjang. Jari-jarinya menelusuri setiap helai dengan lembut, seolah mengalir dalam irama yang menenangkan. Dalam momen itu, Arisa merasakan campur aduk antara cinta dan kepedihan.
Ia sangat ingin melupakan sosok Denial, yang selama empat tahun terakhir menghantui pikirannya. Sejak terbangun dari rumah sakit, Arisa tak pernah mendapatkan penjelasan atau petunjuk apa pun tentang kebingungan dan kekalutan emosinya. Setiap hari, ia harus menjalani kehidupan yang menyedihkan, terjebak dalam ingatan yang mempermainkannya, seolah waktu tidak pernah berpihak padanya.
Dengan nafas yang kasar, Arisa berpikir, bukankah pada akhirnya mengeluh tidak ada gunanya? Dengan tekad yang mulai menguat, ia beranjak dari tempatnya dan menggendong Aveline menuju kamar mereka. Kamar itu sederhana, dengan luas yang secukupnya.
Perabotan yang ada pun sangat minim; hanya ranjang berukuran sedang dengan sprei yang kusut, menandakan kurangnya perhatian. Sejak pernikahan mereka, Izzaz tak pernah memperhatikan dekorasi rumah. Bahkan, ia hampir tidak pernah pulang dan selalu kembali larut malam. Arisa menyadari perubahan drastis dalam diri mantan suaminya.
Pria yang dulunya ia kenal sebagai sosok yang lembut dan penuh kasih sayang, kini terasa begitu asing. Kehadirannya, yang dulu memberikan kehangatan dan kenyamanan, seolah sirna ditelan waktu.
Kini, jangankan kasih sayang, kemesraan pun sudah tak bisa ia dapatkan sejak pernikahan mereka. Izzaz bahkan meminta untuk pisah ranjang, enggan memberikan perhatian pada Aveline dan tidak lagi menampilkan kehangatan layaknya suami istri. Semua itu sangat berbeda dari Izzaz yang ia kenal di masa SMA, sosok yang selalu menjadi tempat bersandarnya harapan dan cinta.