Harap Membaca Bagian Pertama Terlebih Dahulu untuk Pemahaman Lebih Mendalam
Arisa Vera kembali ke kehidupan lamanya-penuh kehancuran dan kekacauan. Ia sulit menerima kenyataan bahwa ikatannya dengan sang iblis, yang selama ini ia rasakan, ternyata h...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Sepertinya aku mengerti sekarang," gumam Arisa, suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan yang membungkus lorong. Sepasang mata hazelnya yang teduh menatap tajam ke arah Denial. Di sekeliling mereka, serpihan-serpihan kejadian masa lalu di rumah sakit mulai berputar seperti potongan kaca, memancarkan kilauan samar sebelum hancur menjadi debu. Dengan gerakan tenang namun penuh kekuatan, Denial mengulurkan tangannya, menghancurkan setiap kenangan yang melayang di udara. Serpihan-serpihan itu lenyap, tersedot oleh kegelapan, meninggalkan dapur mereka dalam keadaan semula.
"Jadi, kau sudah mengerti?" tanya Denial, suaranya lembut namun tajam, seolah menantang Arisa untuk memastikan pemahamannya.
Arisa mengangguk pelan, lalu menghela napas panjang yang terdengar berat dan kasar. "Aku tahu," jawabnya, matanya menerawang sejenak, seolah mengingat kembali potongan-potongan memori saat empat tahun yang lalu. "Saat aku bercerita tentang semua yang terjadi antara aku dan kau, reaksi yang diberikan Kak Izzaz berbeda dari yang lain. Bukan kemarahan, kebingungan, atau tawa mengejek yang biasanya menegaskan bahwa semua itu hanya dongeng. Tidak, dia mendengarkanku dengan tenang."
Arisa berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, suaranya kini terdengar lebih pelan. "Alih-alih merespon dengan kaget atau mempertanyakan ceritaku, Izzaz justru memahami setiap kata yang kuucapkan, meski semuanya terdengar begitu tidak masuk akal. Yang lebih mengejutkan lagi, dengan penuh ketenangan dan keyakinan, dia menawarkan dirinya untuk menjadi ayah dari bayi yang sedang kukandung. Tanpa keraguan, tanpa pertanyaan yang menghakimi."
Wajah Arisa memancarkan campuran rasa bingung dan kagum saat mengingat momen itu. "Seolah-olah Kak Izzaz bisa merasakan apa yang aku rasakan, bisa membaca pikiranku sebelum aku sempat mengatakannya. Seperti dia sudah tahu apa yang sedang terjadi di hatiku dan pikiranku ... bahkan sebelum aku sendiri menyadarinya."
Denial memperhatikan setiap gerakan Arisa dengan saksama, senyum tipis menghiasi bibirnya. Ada ketenangan yang tersirat dalam caranya mengamati, seolah dia tengah menunggu reaksi yang diharapkannya. "Itulah sebabnya, saat kau hamil dan memutuskan untuk mengambil cuti beberapa bulan dari sekolah, tidak ada yang bertanya-tanya. Tak ada yang menyadari kehamilanmu, padahal perutmu sudah mulai membesar. Semua itu berkat bantuan dari Ganresha," ujarnya, suaranya lembut namun penuh keyakinan. "Kau mungkin merasa libur selama berbulan-bulan, tapi di bawah pengaruh sihirnya, bagi mereka seolah-olah kau hanya absen satu hari."
Arisa terdiam sejenak, merenungkan kata-kata itu, lalu mengangguk dengan ekspresi yang seakan baru menyadari sesuatu. "Ah, ya ... aku ingat sekarang!" katanya, matanya berbinar dengan pemahaman. "Aneh sekali rasanya, tidak ada yang bertanya atau bersikap curiga. Seperti semuanya berjalan normal, seolah-olah kehadiran dan ketidakhadiranku sama saja ... ternyata itu karena sihir."