Some say that the bond that forms does not prevent feelings from growing, can it?
Angin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah yang masih tersisa dari hujan ringan siang tadi. Dedauan pohon di sekitar lapangan basket bergoyang pelan, seperti menari dalam irama sepi sore itu, menciptakan bisikan lembut yang menenangkan. Seorang gadis dengan seragam SMA yang sedikit kusut dan dasi longgar, duduk di bangku kayu di pinggir lapangan, seraya menggenggam sebatang es krim yang perlahan meleleh.
Tatapannya tak lepas dari sosok lelaki di depannya, yang tengah bermain basket seorang diri. Keringat bercucuran di dahinya, membasahi poni rambutnya yang hitam pekat. Ia bergerak lincah, melompat, dan mengayunkan bola dengan teknik yang begitu terlatih, membuat suara bola yang memantul di permukaan aspal lapangan terasa bergema dalam hening sore itu. Setiap kali bola itu menyentuh ring dan masuk dengan sempurna, senyumnya tampak lebar, seolah-olah momen itu hanya miliknya seorang.
Gadis itu perlahan menjilat es krimnya, merasakan dinginnya yang kontras dengan hangatnya suasana sore. Ada sesuatu yang membuatnya terus memperhatikan lelaki itu, seolah-olah setiap gerakannya memikat, menyita seluruh perhatiannya. Cahaya matahari senja yang keemasan jatuh lembut di wajahnya, memantulkan kilauan di matanya yang jernih. Ketika angin kembali bertiup, rambutnya yang panjang terurai lembut, terangkat sedikit, menambah kesan melankolis di wajahnya yang tenang namun sendu.
Senja kian merambat turun, mewarnai langit dengan semburat jingga, oranye, dan ungu yang menyatu, menciptakan lukisan langit yang begitu dramatis. Suasana sekolah sudah lengang, hanya sesekali terdengar suara burung yang terbang kembali ke sarangnya. Semua anak telah pulang sejak lama, meninggalkan keheningan yang menjadi saksi percakapan tanpa kata di antara dua jiwa itu. Meski tak ada kata yang terucap, gadis itu tahu bahwa es krim yang ada di tangannya adalah bentuk perhatian kecil dari lelaki itu, tanda kehadiran yang mungkin tidak selalu nyata, tapi selalu terasa.
Ia menarik napas panjang, menikmati aroma segar yang bercampur dengan rasa manis es krim, sambil tetap menatap lelaki itu, seolah-olah berharap sore ini akan berlangsung sedikit lebih lama, sebelum matahari benar-benar tenggelam dan malam datang menggantikan segalanya dengan kegelapan yang dingin.
Izzaz Julian Aleandro, atau yang lebih dikenal dengan Ganresha, menghentikan aktivitasnya sejenak, kedua tangan bertumpu pada lutut saat ia mengatur napas yang terengah. Wajahnya menyiratkan kelelahan yang masih tertahan, namun di balik itu terselip secercah ketenangan yang jarang tampak. Tatapannya beralih, menyapu lapangan yang mulai redup diwarnai senja, sebelum akhirnya berhenti pada sosok gadis yang sedang duduk di bangku kayu, menikmati es krim pemberian darinya. Gadis itu adalah kekasihnya, perempuan yang akan ia nikahi setelah mereka lulus dan menghadapi kehidupan bersama-sama.
Seulas senyum lembut mengembang di bibir Izzaz, sebuah senyum yang tak sering terlihat namun begitu tulus. Ada rasa senang dan damai yang merasuk jauh di dalam hatinya, perasaan yang tidak ia duga akan muncul dalam relung terdalam seorang malaikat seperti dirinya. Baru sebulan yang lalu, gadis itu, Arisa, harus dilarikan ke rumah sakit dengan kepanikan yang melingkupi saat melahirkan anak mereka. Kini, melihat Arisa duduk di sana, tampak sehat dan tenang, mengembalikan rasa hangat yang mengalir pelan dalam dirinya, seolah-olah setiap detik yang berlalu membawa kesejukan baru dalam jiwanya yang kerap bergelora.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage With The Devil (GHOST CURSED 2)
FantasyHarap Membaca Bagian Pertama Terlebih Dahulu untuk Pemahaman Lebih Mendalam Arisa Vera kembali ke kehidupan lamanya-penuh kehancuran dan kekacauan. Ia sulit menerima kenyataan bahwa ikatannya dengan sang iblis, yang selama ini ia rasakan, ternyata h...