Love children and love to create
Arisa merasakan tubuhnya lemas dan lunglai setelah malam panjang yang penuh gairah bersama Denial. Seluruh tenaganya seolah terkuras habis, membuatnya tak mampu untuk sekadar bangkit dari tempat tidur. Semburat matahari fajar mulai menembus tirai tipis di kamar, menerangi wajahnya yang terlihat memerah, dengan keringat tipis masih membasahi kulitnya yang pucat. Nafasnya masih terengah-engah, berusaha menemukan ritme yang teratur di tengah sisa-sisa kelelahan yang menyelimuti.
Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan setiap helaan yang menusuk dada, seakan mencoba meredam efek dari sentuhan Denial yang masih terasa hangat di tubuhnya. Jemarinya menggenggam seprai yang kusut, seolah mencoba mencengkram sisa kehangatan yang perlahan memudar. Di sisinya, Denial terlelap dengan wajah damai, kontras dengan intensitas malam yang baru saja mereka lewati.
Arisa menutup matanya sejenak, membiarkan pikirannya melayang pada momen-momen yang baru saja berlalu. Setiap gerakan dan bisikan masih terngiang, membuatnya merasa hangat sekaligus lemah. Dalam keheningan pagi, ia menyadari bahwa sosok di sisinya adalah sesuatu yang lebih dari sekadar mimpi atau kenyataan.
Arisa kemudian menolehkan pandangannya ke sisi lain, di mana Aveline terlelap dengan tenang, seolah tak terganggu sedikit pun oleh pergolakan malam yang baru saja berlalu. Gadis kecil itu tidur dalam keheningan, wajahnya terlihat damai dan polos, terlindungi dari hiruk pikuk yang terjadi di sekelilingnya. Arisa merasa heran, namun ia menduga ini mungkin ulah sihir Denial—suatu pelindung tak kasat mata yang melindungi tidur putrinya.
Namun, meski ada ketenangan di sekitar mereka, tubuh Arisa tetap terasa begitu lelah dan kaku, seakan seluruh energi dan kekuatannya telah terkuras habis. Ia mencoba mengumpulkan sisa-sisa tenaganya, mengatur napasnya yang masih belum sepenuhnya stabil. Pikirannya melayang pada Denial, yang kini tertidur nyenyak di sisinya, seolah tanpa beban, meski beberapa jam sebelumnya, pria itu telah menuntut begitu banyak darinya, dengan intensitas yang nyaris melampaui batas.
“Sungguh gila,” gumamnya dalam hati, tak percaya bagaimana Denial bisa tertidur begitu cepat setelah menggempurnya habis-habisan sepanjang malam. Ia melirik wajah Denial yang damai, hampir tak menunjukkan jejak dari semua yang mereka lakukan bersama. Seakan energi pria itu tak pernah habis, sementara dirinya kini berbaring kelelahan, mencoba merasakan kembali dirinya sendiri di tengah kehangatan pagi yang merayap pelan-pelan melalui jendela kamar mereka.
Dengan susah payah, Arisa bangkit dari tempat tidur, tubuhnya terasa berat dan langkahnya pun gontai. Ia berjalan perlahan menuju kamar mandi, dengan hati-hati agar tidak mengganggu tidur Aveline atau Denial yang masih terlelap. Meskipun tubuhnya lelah, ia heran karena tak merasakan sakit di area tubuhnya yang paling sensitif—hanya kekosongan aneh yang menyisakan kesan samar dari keintiman mereka semalam.
Niatnya semula hanyalah untuk membersihkan diri, membasuh tubuhnya dari segala sisa malam yang panjang. Namun, saat baru saja memasuki kamar mandi, ia tiba-tiba merasakan gelombang mual yang kuat menghantam perutnya. Tanpa peringatan, rasa mual itu semakin intens, membuatnya terhuyung sejenak sebelum cepat-cepat meraih wastafel, menundukkan kepala, dan muntah.
Arisa terdiam sesaat, mengatur napas yang tersengal-sengal, masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Tidak ada alasan yang jelas untuk rasa mual itu, namun tubuhnya seolah merespons sesuatu yang tak bisa ia pahami. Dengan tangan gemetar, ia membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap rasa tak nyaman ini mereda. Dalam kesunyian kamar mandi, Arisa merasa ada sesuatu yang tak biasa, seolah tubuhnya memberi isyarat yang samar namun tak bisa diabaikan.
“Selamat atas kehamilanmu.”
Arisa terlonjak kaget mendengar suara itu. Dengan cepat, ia menoleh, dan di sana Denial sudah berdiri bersandar di ambang pintu kamar mandi. Pria itu melipat kedua tangannya di dada, menatapnya dengan pandangan datar, seolah tak terkejut sedikit pun.
“A-apa yang kau bilang?” Suaranya keluar gemetar, tak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya.
Denial menghela napas, lalu mengulang dengan tenang, “Selamat atas kehamilanmu. Nah, sekarang Aveline benar-benar akan punya adik.”
Arisa menatapnya dengan mata terbelalak, menutup mulutnya dengan tangan, masih tak percaya. “Secepat itu?!”
Denial hanya mengangkat sebelah alis, senyum tipis di wajahnya menunjukkan sedikit kepuasan. “Kita sering melakukannya, tentu saja cepat.”
Arisa mendesah panjang, mengerang frustrasi. “Ah, sial.” Pikirannya berkecamuk, mencoba memahami kenyataan baru ini. Bagaimana mungkin ini terjadi sekarang, ketika Aveline masih begitu kecil? Ia merasa takut, bingung, dan sedikit kewalahan membayangkan situasi yang akan datang.
"Tapi Aveline masih kecil."
Denial tampak tak terganggu dengan kegelisahannya, malah menatapnya dengan ekspresi acuh tak acuh. “Lalu?” tanyanya dengan nada datar, seolah kehamilan ini hanya perihal kecil yang tak perlu dipermasalahkan.
Arisa menghela napas, hatinya berdebar dan tak menentu. Ia tak pernah membayangkan akan menghadapi situasi ini begitu cepat. Namun, di balik semua kecemasan itu, ia mulai merasakan sedikit kehangatan yang menyelinap di hatinya. Kehidupan baru yang akan datang, meski mengejutkan, memberi harapan kecil di tengah kebingungannya.
“Yah, lanjutkan saja aktivitasmu. Aku akan tidur,” ujar Denial dengan nada santai. Ia meregangkan tubuh sejenak, lalu berbalik, melangkah menuju kasur tanpa ragu. Pria itu tampak benar-benar tak terganggu, seolah berita tentang kehamilannya hanyalah informasi sepele.
Arisa menatap punggungnya yang semakin menjauh dengan perasaan campur aduk, tak percaya betapa tenangnya Denial menghadapi situasi ini. Bagaimana bisa dia begitu santai, seakan semuanya hanya hal biasa? Sementara ia sendiri masih diliputi kebingungan dan sedikit kegelisahan.
Arisa mendengus kecil, berusaha meredakan pikirannya yang berkecamuk. Tanpa membuang waktu, ia pun melangkah menuju shower. Begitu air hangat mulai mengalir membasahi tubuhnya, Arisa menghela napas panjang, membiarkan kehangatan air meresap, menenangkan ketegangan yang masih menguasai dirinya. Tepat saat ini, ia hanya ingin mengusir segala kegelisahan yang memenuhi benaknya, menikmati sejenak kedamaian di tengah berbagai perasaan yang melanda.
Pikirannya kembali melayang pada hal yang baru saja ia ketahui. Mungkinkah ia siap untuk kehadiran seorang anak lagi? Entah kenapa, bayangan akan Aveline memiliki seorang adik menyelinap di benaknya, memberi secercah harapan yang tak ia duga.
Arisa menurunkan pandangannya ke perutnya yang masih rata, seolah berusaha merasakan kehadiran kehidupan kecil yang mungkin mulai tumbuh di sana. Sambil mengusap perlahan, ia bergumam pada dirinya sendiri, “Awas saja jika Denial berani meninggalkanku lagi.”
Matanya menyipit, tatapannya penuh tekad bercampur dengan sedikit kekhawatiran, sementara bibirnya melengkung membentuk ekspresi masam. Ia mengingat masa-masa di mana Denial sempat meninggalkannya dan itu selama empat tahun, meninggalkannya terjebak dalam ketersiksaan dan ketidakpastian. Sekarang, dengan situasi baru ini, ia tak ingin mengulangi luka yang sama.
Arisa mendesah pelan, mencoba menenangkan dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage With The Devil (GHOST CURSED 2)
FantasyHarap Membaca Bagian Pertama Terlebih Dahulu untuk Pemahaman Lebih Mendalam Arisa Vera kembali ke kehidupan lamanya-penuh kehancuran dan kekacauan. Ia sulit menerima kenyataan bahwa ikatannya dengan sang iblis, yang selama ini ia rasakan, ternyata h...