I'm just too confused to be angry
Denial merasakan aroma candu dari diri Arisa saat wanita itu terus mempererat pegangan pada pundaknya, tampak nafasnya memburu akan aktivitas panas mereka.
"Aromamu ... candu," bisik Denial menghirup leher Arisa nan rambut nya yang telah memanjang. Memberikan kontras yang mencolok dengan Arisa empat tahun lalu ketika dia masih berusia 17 tahun, dia mengakui bahwa wanita itu menjadi lebih menarik seiring berjalannya waktu. Arisa tak langsung menjawab, mengatur nafasnya adalah pilihannya.
Arisa kemudian tersentak sedikit ketika Denial mulai membawanya menjauh dari area dapur, menuju kamar mandi. Wah, sepertinya aktivitas intim tidak akan berhenti satu kali.
"Denial, kenapa kau—" Arisa berujar panik saat pria itu tiba-tiba memasuki kamar mandi, lalu menutup pintu hanya dengan sekali kibasan tangan, seolah dia memiliki kendali penuh atas situasi. Hatinya berdegup kencang, kepanikan mulai merayap di seluruh tubuhnya. Astaga, ini tidak bisa terjadi lagi, pikirnya, napasnya mulai tersengal.
Kamar mandi di rumah ini bersih dan nyaman, jauh lebih baik daripada yang pernah ia tempati dulu saat SMA bersama kakek dan neneknya di desa. Dindingnya dilapisi keramik putih yang mengkilap, memantulkan cahaya lembut dari lampu-langit-langit. Lantai keramik bersih dan kering, membuatnya terasa segar. Sebuah pancuran modern terpasang di sudut, airnya mengalir hangat dengan suara menenangkan. Di sisi lain, sebuah bathtub bersih menanti, memberikan nuansa santai yang jarang ia rasakan.
Meski nyaman, ruangan itu tak mampu menghilangkan rasa gelisah yang mengendap di hatinya. Tubuhnya yang telanjang kemudian diturunkan ke dalam bathtub yang masih kosong, Gerakan pria itu kemudian memutar keran air untuk mengisi bathtub. Air itu membasahi kulit Arisa yang masih terduduk di sana, menatap Denial dengan tak percaya.
"Stay here."
Arisa mengangguk perlahan, matanya terus mengikuti gerakan pria itu saat Denial berbalik ke arah pancuran. Dengan kepercayaan diri yang tampak jelas, ia menyalakan air dan memposisikan tubuhnya di bawah aliran air hangat.
Tubuh Denial yang kekar dan berotot terlihat jelas saat air mengalir deras di atasnya. Otot-ototnya yang terdefinisi dengan baik berkilau terkena cahaya dari pancuran, air membasahi kulitnya, menonjolkan setiap lekuk yang membuatnya semakin menawan. Aroma sabun yang segar dan lembut menyelimuti ruangan, menciptakan suasana yang kontras dengan kegelisahan Arisa.
Dengan setiap tetes air yang jatuh, Denial tampak semakin tenang, seolah ia tidak menyadari dampak kehadirannya bagi Arisa. Dia terjebak dalam pandangannya, hati berdebar, merasakan campuran antara ketertarikan dan ketegangan yang melingkupi mereka berdua. Arisa merasa seolah waktu berhenti, membiarkan dirinya terpesona oleh sosok yang berdiri di depannya, terbungkus dalam air dan aroma sabun yang menenangkan.
Arisa menundukkan wajahnya, merasa gugup dengan situasi yang semakin tidak menentu. Ia memainkan jemarinya yang tenggelam dalam air yang mulai menggenang di bathup, suara gemericik air terdengar menenangkan namun tidak bisa meredakan ketegangan dalam dirinya. Jantungnya berdebar lebih cepat saat ia berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara.
"Kenapa kau melakukan ini, Denial?" lirih Arisa, suaranya nyaris tenggelam oleh suara air yang mengalir. Dia mulai berani untuk mengungkapkan emosinya, rasa bingung dan cemas bercampur dalam suaranya.
Dengan lembut, ia menatap ke arah Denial, yang masih berdiri di bawah pancuran, air mengalir deras di sekujur tubuhnya. Arisa merasa terombang-ambing antara ketertarikan dan ketakutan, tidak yakin bagaimana merespons situasi yang mengubah keduanya.
Sorot mata merah Denial kemudian melirik Arisa, menyinggung senyum kecil atas maksudnya."Kenapa baru bertanya sekarang?" suara Denial terdengar datar namun penuh makna, membuat Arisa tertegun. Pertanyaannya menyusup tajam ke dalam pikirannya, membekukan sejenak seluruh tubuhnya.
Arisa tak mampu berkata-kata, hanya terdiam, matanya sedikit melebar.
Denial, tanpa menunggu jawaban, melanjutkan kegiatannya dengan tenang. "Kau tampak tak ingin membahas alasanku meninggalkanmu selama empat tahun terakhir," ujarnya seraya meraih botol sampo dari rak kecil di samping pancuran. Dengan gerakan perlahan namun tegas, ia menuangkan cairan sampo ke telapak tangannya, lalu menggosokkan ke rambutnya yang basah. Buih sabun mulai terbentuk, mengalir pelan di sepanjang lehernya, turun mengikuti lekuk otot bahunya.
Air dari pancuran terus mengalir deras, membasahi tubuhnya yang kekar. Aroma segar dari sampo memenuhi kamar mandi, menambah suasana yang sudah penuh ketegangan. Arisa masih terpaku di tempatnya, perasaannya campur aduk—terperangkap antara keinginan untuk mengetahui kebenaran dan rasa takut akan jawaban yang mungkin akan ia dengar.
Pikirannya berkelana, mengingat kembali masa-masa ia ditinggalkan tanpa penjelasan. Rasa sakit dan kehampaan yang ia coba sembunyikan selama ini perlahan muncul ke permukaan, dan kini Denial, dengan sikap tenangnya, seolah menguji seberapa kuat Arisa dapat menahan semuanya.
"Aku hanya merasa percuma untuk marah atau menangis ..." ujar Arisa, suaranya rendah namun penuh tekanan, sebelum mendengus kasar, mengekspresikan rasa frustrasinya. Kata-katanya terlepas dari bibirnya, seolah mengalir bersama air yang mengalir di pancuran.
"Tapi bukan berarti aku tidak berutang penjelasan padamu atas segala hal yang terjadi," lanjutnya, menatap Denial dengan tatapan penuh keberanian. "Apalagi membiarkanku mengurus kandunganku sendiri, padahal kau yang membuatnya."
Setiap kata yang diucapkannya terasa berat, teramat dalam, seolah mengandung seluruh beban emosional yang ia bawa selama ini. Arisa merasakan jantungnya berdebar kencang, dan tubuhnya bergetar oleh kombinasi antara marah dan sakit hati. Dia berusaha keras untuk mempertahankan ketenangannya, tetapi kata-katanya justru mengungkapkan kebingungan dan rasa sakit yang telah lama terpendam.
Denial, yang masih berdiri di bawah pancuran, mengerutkan dahi, terkejut oleh pengakuan Arisa. Ia berhenti sejenak, air yang mengalir dari tubuhnya membasahi keramik di bawahnya. Dengan rambut yang masih basah penuh busa, Denial menatap Arisa, mencoba memahami setiap kata yang baru saja diucapkan. Suasana di antara mereka berubah tegang, kata-kata Arisa mengisi ruangan, menambah ketegangan yang telah mengendap selama bertahun-tahun.
Arisa merasa seolah seluruh emosinya meledak, dan ia tidak bisa lagi menahan apa yang seharusnya ia ungkapkan. Ia menunggu, berharap Denial akan memberikan jawaban yang mungkin bisa menjelaskan semuanya, termasuk mengapa ia terpaksa menghadapi semua ini sendirian.
“Kata siapa kau sendirian? Kau punya Ganresha ...” ujar Denial dengan tenang, seolah pernyataannya adalah hal yang paling wajar di dunia.
“Apa?” Arisa terperangah, matanya melebar, memastikan bahwa ia tak salah dengar. Nama itu—Ganresha? Malaikat itu? Kebingungan segera menguasai pikirannya.
Sejak kapan malaikat itu terlibat dalam hidupnya ? Maksudnya, ia bahkan tak pernah benar-benar melihat sosok Ganresha. Bagaimana mungkin Denial tiba-tiba mengaitkan namanya dalam situasi ini?
"Kau masih tidak mengerti?"
Arisa menggelengkan kepalanya.
"Ganresha adalah sosok Izzaz yang kau kenal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage With The Devil (GHOST CURSED 2)
FantasyHarap Membaca Bagian Pertama Terlebih Dahulu untuk Pemahaman Lebih Mendalam Arisa Vera kembali ke kehidupan lamanya-penuh kehancuran dan kekacauan. Ia sulit menerima kenyataan bahwa ikatannya dengan sang iblis, yang selama ini ia rasakan, ternyata h...