Everything feels so tiring
Atmosfer malam itu seolah bercengkerama, dipenuhi oleh gairah dan nafsu yang membara. Derakan angin yang berhembus lembut memberikan pengertian akan kerinduan yang telah lama terpendam, seperti pelampiasan panas yang akhirnya tercurah setelah sekian lama. Semua terasa seperti gemerlap asa, menghidupkan suasana yang penuh kehangatan dan ketegangan.
Dalam kegelapan malam, cahaya bulan menari di permukaan air, menciptakan kilauan yang bagaikan bintang-bintang yang jatuh ke bumi. Suara air yang mengucur deras berbaur dengan detakan jantung mereka, menambah intensitas setiap detik yang berlalu. Entahlah apakah semua ini memiliki makna yang lebih dalam, namun bagi mereka berdua, setiap dentuman itu terasa begitu nyata. Aktivitas mereka yang membara bagaikan percikan air yang terus mengalir, mengisi setiap ruang dengan ketegangan dan harapan yang tak terucapkan.
Hawa yang panas membangkitkan semangat, seolah-olah dunia di sekitar mereka memudar, hanya menyisakan mereka berdua dalam pelukan waktu yang tak terhingga.
Tubuh Arisa terhempas lemas di lantai kamar mandi, kulitnya yang basah bergetar di atas keramik dingin yang menyerap setiap jejak percintaan mereka. Nafasnya tersengal-sengal, menyiratkan kelelahan yang tak terhingga. Bagaimana tidak? Denial memperlakukannya tanpa ampun, kasar dan tak mengenal belas kasih, menghantamkan gairahnya tanpa henti. Tidak ada celah bagi Arisa untuk sekadar beristirahat, tubuhnya terendam dalam genangan air yang penuh dengan sisa-sisa kenangan liar yang baru saja terjadi.
Apa yang dimulai sebagai malam yang kelam kini telah berakhir di ufuk fajar, sinar lembut matahari perlahan menembus jendela kecil di kamar mandi, seakan membangunkan dunia untuk beraktivitas. Namun bagi Arisa, malam itu bukanlah waktu untuk beristirahat, melainkan siksaan tiada akhir.
Denial, dengan tatapan dingin dan tak berperasaan, telah mengubah malam panjangnya menjadi neraka pribadi, menyiksanya dengan hasrat tak terkendali. Pria itu benar-benar telah kehilangan akal, gila, membiarkan dirinya terjerumus ke dalam kebrutalan yang tak tertahankan, sementara Arisa hanya bisa terbaring tak berdaya, tubuhnya yang gemetar menjadi saksi bisu dari persetubuhan mereka yang baru saja dilaluinya
Dengan napas terengah-engah, ia menatap pria itu dalam diam, matanya penuh dengan kelelahan dan kepasrahan. Perlahan, kelopak matanya menutup, tubuhnya menyerah pada rasa kantuk yang tak tertahankan. Ia pun tertidur seketika, tenggelam dalam keheningan. Denial mendengus kecil, mengamati wajah tenangnya dengan pandangan tajam namun lembut, seolah mempertanyakan keputusannya sendiri.
Tanpa banyak bicara, pria itu mengulurkan tangannya, mengangkat tubuh wanita yang kini terlelap, menjaganya agar tetap hangat dan nyaman dalam dekapannya. Dengan satu gerakan lembut, ia mematikan keran air yang terus mengalir, alirannya menciptakan ritme tenang yang kontras dengan suasana panas sebelumnya. Menggunakan sihirnya, Denial merapikan segala jejak yang tertinggal, yang berserakan, lantai yang basah, serta sisa-sisa dari gairah mereka yang membekas di setiap sudut ruangan kamar mandi, termasuk ia telah membuat dirinya sendiri berpakaian.
Suasana kembali sunyi, hanya suara detak jantung yang terdengar samar, menyisakan kesan misterius dari apa yang baru saja terjadi. Denial menatap wanita di pelukannya untuk sesaat lebih lama, kemudian membawa tubuhnya menuju tempat tidur, memastikan bahwa segalanya telah kembali sempurna, seolah tak ada apa-apa yang pernah terjadi di sana.
Denial membuka pintu kamar dengan hati-hati, memastikan tidak ada suara yang akan membangunkan penghuni di dalamnya. Di sana, Aveline masih tertidur pulas, terbungkus dalam kehangatan selimutnya, wajah mungilnya tenang dan tak terganggu sedikit pun oleh segala aktivitas yang baru saja terjadi di ruangan sebelah. Gadis kecil itu benar-benar terlelap, seolah dunia di sekitarnya tak berarti apa-apa.
Denial melangkah mendekati tempat tidur, membawa tubuh Arisa yang masih tertidur dalam pelukannya. Dengan lembut, ia meletakkan wanita itu di atas kasur, memastikan posisinya nyaman sebelum menarik selimut tebal untuk menutupi tubuhnya. Napas Arisa terdengar lembut, nyaris senada dengan detak jam di meja kecil di sampingnya.
Ia berdiri sejenak di sisi tempat tidur, memandangi kedua insan yang kini terlelap dalam kedamaian. Wajah Aveline yang polos dan Arisa yang begitu tenang membuat Denial merasakan sesuatu yang tak biasa di hatinya-sebuah perasaan perlindungan yang dalam. Meskipun hatinya keras dan tak mudah tersentuh, momen itu terasa seperti jeda singkat dari dunia yang penuh kekacauan.
Setelah memastikan semuanya aman dan tenteram, Denial berbalik meninggalkan kamar. Ia menutup pintu perlahan, membiarkan Aveline dan Arisa terlelap dalam kehangatan pagi yang tenang, seolah-olah dunia luar tak dapat mengusik mereka.
"Seperti biasa, iblis selalu tak sabaran." Suara dingin dan tenang segera memenuhi ruangan begitu Denial menutup pintu di belakangnya. Ia berbalik, matanya yang merah menyala bertemu langsung dengan sosok yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Aleta, dengan cahayanya yang putih dan berpendar lembut, berdiri tak jauh, melipat tangan di dada dengan ekspresi yang sama sekali tak terpengaruh oleh situasi. Aura malaikat itu memenuhi ruangan, menciptakan kontras yang tajam dengan kegelapan yang biasanya menyelimuti Denial.
Denial mendengus, jelas tak senang dengan kehadiran malaikat tersebut.
"Apa maumu?" ujarnya dengan nada malas dan datar, seakan-akan kehadiran Aleta hanyalah gangguan kecil yang tak diinginkan. Matanya menyipit, menunjukkan ketidaksabaran dan ketidaksukaannya. Ia tidak pernah menikmati interaksinya dengan para malaikat, apalagi yang satu ini.
Aleta tersenyum tipis, dan sinar cahayanya perlahan kian menyilaukan, membuat atmosfer di antara mereka terasa semakin tegang dan penuh tekanan. Cahaya putihnya memantulkan kilau lembut, namun kata-katanya mengandung ketegasan yang tak bisa diabaikan.
"Sejujurnya, aku cukup senang akhirnya kau memutuskan untuk kembali ke Arisa," ucap Aleta dengan nada yang seolah-olah menyembunyikan ejekan halus di baliknya.
"Namun, ketika aku melihat langit Skyhaven terus mengeluarkan sulur-sulur tak menentu yang berasal dari dirimu, aku benar-benar tak habis pikir. Sulit bagiku untuk memahami tindakanmu."
Aleta melangkah mendekat, cahayanya hampir menyentuh Denial yang masih berdiri kaku. Wajahnya tetap tenang, meskipun nada suaranya mengisyaratkan kekhawatiran yang tak terbendung. "Apa kau tak berpikir untuk memberi Arisa sedikit jeda? Biarkan dia benar-benar memproses semuanya-rasa sakit, keterkejutan, dan kenyataan baru yang kini harus dia hadapi. Kau terlalu cepat menyeretnya keperlakuanmu, Denial. Aku jadi benar-benar kasihan dengan wanita itu."
Tatapan Aleta yang penuh simpati membuat Denial semakin geram. Ada kebenaran dalam kata-kata malaikat itu, namun kebencian lama yang tumbuh antara mereka membuat Denial sulit untuk mengakui hal itu. "Kasihan?" Denial mendesis, suaranya rendah dan penuh ketidaksenangan.
"Jangan berpura-pura peduli padanya. Apa yang aku lakukan dengan Arisa adalah urusan ku, bukan urusan malaikat sepertimu."
"Oh ayolah Denial ... Bukankah yang paling berperan adalah Ganresha? Bukan iblis bejat seperti dirimu."
Guys author lagi di era butterfly, please lupa kalau harus nulis novel 😭🙏🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage With The Devil (GHOST CURSED 2)
FantasyHarap Membaca Bagian Pertama Terlebih Dahulu untuk Pemahaman Lebih Mendalam Arisa Vera kembali ke kehidupan lamanya-penuh kehancuran dan kekacauan. Ia sulit menerima kenyataan bahwa ikatannya dengan sang iblis, yang selama ini ia rasakan, ternyata h...