𝟐𝟏. 𝐌𝐃 𝟐 : 𝐅𝐞𝐞𝐥𝐢𝐧𝐠𝐬 𝐓𝐡𝐚𝐭 𝐇𝐚𝐧𝐠 𝐀𝐫𝐨𝐮𝐧𝐝

1.7K 115 4
                                    

When everything that happened at that time was because of your fear

Simfoni kehidupan mencapai puncaknya, mengakhiri waktu dalam kilauan malam yang memukau

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Simfoni kehidupan mencapai puncaknya, mengakhiri waktu dalam kilauan malam yang memukau. Setiap detik seolah-olah berputar, memusatkan segala perhatian pada keindahan yang berlangsung. Ranting-ranting pohon menari lembut, mengikuti irama angin yang perlahan membuai, menciptakan sebuah tarian alami yang penuh keanggunan. Setiap gerakannya seakan menggambarkan kisah tersendiri, sebuah cerita rumit yang terbentuk dari simpul-simpul angin dan daun-daun yang bergetar, mengalun dengan keheningan malam.

Angin malam menyentuh dedaunan, membuatnya berdesir seperti bisikan halus yang membawa kehangatan dan kerinduan, seolah-olah alam semesta sedang bercerita tentang rahasia-rahasia tersembunyi. Gemerlap bintang-bintang di langit menjadi saksi dari setiap momen, menyinari kegelapan dengan cahaya kecil yang lembut, melengkapi simfoni alam yang tenang namun penuh makna.

Denial terdiam, membiarkan keheningan merayap di antara mereka. Ia memandang wanita di hadapannya, yang kini terpuruk dalam kesedihan. Air mata mengalir perlahan di pipinya, seolah membawa beban rasa sakit yang begitu mendalam. Denial menarik napas panjang, menyadari betapa ia menjadi penyebab dari semua penderitaan ini. Meski begitu, ia tetaplah iblis sejati, makhluk yang dilahirkan dengan sifat kejam dan bengis. Dia tahu, sifatnya yang tak berbelas kasih adalah sesuatu yang dibenci oleh manusia-terutama karena sering kali membawa kehancuran dalam hidup mereka. Namun, kali ini, ada kebingungan yang menggelayut di dalam dirinya, seolah ia tak sepenuhnya mengerti situasi yang ada.

"Arisa," katanya dengan suara yang berat, seraya menatapnya dengan mata yang tak bisa menyembunyikan rasa bersalah, "kau tidak sepenuhnya sendirian. Kau tahu, saat aku memutuskan untuk menjauh darimu-mengakhiri ikatan yang pernah kita miliki, Ganresha sangat marah besar."

Denial menunduk sesaat, mengenang kembali saat-saat ketika ia memutuskan untuk pergi. Ia ingat betul bagaimana kemarahan Ganresha memuncak, seolah menantang keputusan yang ia buat. Seperti ada pertarungan antara kebaikan dan kebengisan yang saling tarik-menarik di dalam dirinya, membuatnya merasa terkoyak dan tak pasti.

Arisa tersenyum getir, bibirnya melengkung tipis namun penuh dengan kepahitan. Matanya, yang masih dipenuhi luka, menatap Denial dengan sorot yang tajam.

"Lalu?" suaranya terdengar lirih, tetapi tajam menusuk, "Jika malaikat marah, apakah itu bisa mengubah tindakanmu kala itu? Denial, empat tahun kau menelantarkan aku dan Aveline. Selama itu, aku yang mengurus semuanya, meskipun aku memiliki pernikahan dengan Izzaz. Tapi apakah semua itu benar-benar membuatku bahagia setelahnya? Apa maksudmu dengan melepaskan ikatan kita akan membebaskanku dari semua jerat yang ada? Tidak, Denial, tidak sama sekali. Justru, aku semakin tersesat dalam kebingungan dan kesedihan yang tiada akhir."

Arisa berhenti sejenak, menghela napas, seolah mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan kata-katanya. "Tak ada penjelasan yang mereka berikan, selain mengatakan bahwa semua ini hanyalah dongeng. Tapi jika memang ini semua hanyalah dongeng, mengapa kenyataannya aku tetap terperangkap, dalam keadaan mengandung dan membawa beban ini sendirian? Menurutmu, apakah kemarahan Ganresha membuat hidupku membaik setelah semua yang terjadi? Atau hanya menambah penderitaan baru yang tak pernah usai?"

Suara Arisa mulai bergetar, tetapi tatapannya tak goyah. Ada kepedihan dan kebingungan yang bercampur di sana, seperti seseorang yang terperangkap dalam badai emosi tanpa jalan keluar. Kalimatnya terhenti, namun rasa sakit itu tetap menggema di antara mereka, tak terucap namun jelas terlihat.

Denial menatap Arisa dalam, matanya menyiratkan campuran penyesalan dan keputusasaan. Ada sesuatu yang tak terucapkan, namun jelas terlihat dari cara pandangannya melembut.

"Aku berniat membuatmu melupakan semua," ucapnya perlahan, suaranya terdengar berat. "Aku mencoba menghapus ingatanmu tentang kita, menghilangkan semua rasa sakit yang pernah kau alami. Tapi, entah mengapa, sihirku tak mampu menyentuh memorimu. Tak peduli seberapa kuat aku mencoba, aku tak bisa mengubah keadaanmu untuk tidak lagi mengandung. Semua usahaku untuk membuatmu kembali ke duniamu tanpa ingatan tentang kita-tanpa kenangan pahit ini-seolah sia-sia. Ada sesuatu yang tak terlihat, sesuatu yang menghalangi, dan saat itu juga, aku menyadari kesalahanku."

Angin berhembus pelan, membuai ranting-ranting pohon yang melambai lesu, seolah terikat dalam harmoni yang penuh ketidakpekaan. Daun-daun yang gugur perlahan jatuh ke tanah, satu per satu, seperti air mata yang jatuh tanpa henti, menggambarkan kepedihan hati yang tak terkira. Setiap helai daun yang melayang turun membawa cerita tentang kehilangan, dan dalam keheningan itu, rasa penyesalan Denial semakin kuat, menyelimuti mereka berdua dalam kesunyian yang menyakitkan.

Arisa menggigit bibir bawahnya, menahan luapan emosi yang tak terucapkan. Ada banyak hal yang ingin ia sampaikan, namun setiap kata terasa tak cukup untuk menggambarkan kepedihan yang mengoyak hatinya. Matanya berkaca-kaca, namun ia tetap berusaha tegar, meskipun dalam hatinya bergejolak.

Keheningan di antara mereka tiba-tiba terpecah oleh suara tawa kecil dari Aveline, dengan ceria dan polosnya, tengah bermain, suaranya menggema di ruang itu, menyapu sisa-sisa ketegangan di udara. Tanpa diduga, gadis kecil itu mulai merangkak ke arah Denial, senyumnya lebar dan matanya berbinar-binar penuh kebahagiaan. Ia meraih lengan Denial dengan tangan mungilnya, menarik-nariknya sambil memekik dengan suara bening, "Daddy!"

Denial menoleh, hatinya tersentak melihat sosok kecil itu. Mata Aveline yang besar dan merah memandangnya dengan kepolosan murni, seolah dunia di sekitarnya hanyalah sebuah permainan indah. Untuk sesaat, ketegangan yang menggantung di antara Denial dan Arisa sirna, digantikan oleh suara tawa anak kecil yang penuh cinta, membuat segalanya terasa lebih ringan dan getir dalam waktu bersamaan.

Arisa menghela napas kecil, seolah mencoba mengumpulkan kekuatan dari dalam dirinya. Dengan gerakan cepat dan sedikit kasar, ia mengusap air matanya yang mengalir, berusaha menyingkirkan jejak kesedihan dari wajahnya. Perlahan, ia mulai berdiri, matanya masih sembab namun sorotnya tegas.

Tanpa berkata apa-apa, Arisa meraih tubuh mungil Aveline, mengangkatnya dengan lembut ke dalam pelukannya. Gadis kecil itu langsung bersandar di bahunya, mata yang mulai mengantuk perlahan-lahan terpejam, merasa nyaman dalam dekapan ibunya. Arisa mengayunkan tubuh Aveline dengan perlahan, berusaha menenangkan dan menidurkannya, sementara pikirannya masih penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.

"Kita bicara lagi nanti," ujar Arisa, suaranya terdengar tegas namun dingin. Tatapan matanya tajam menembus Denial, seolah mengingatkannya bahwa ini belum selesai. Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Denial dengan perasaan yang tergantung di udara.

Langkah-langkah Arisa terdengar mantap saat ia menuju kamar, diiringi dengan keheningan yang kembali melingkupi ruangan, hanya menyisakan gema suara tawa Aveline yang samar, seperti jejak kebahagiaan kecil di tengah badai emosi yang berkecamuk.

Langkah-langkah Arisa terdengar mantap saat ia menuju kamar, diiringi dengan keheningan yang kembali melingkupi ruangan, hanya menyisakan gema suara tawa Aveline yang samar, seperti jejak kebahagiaan kecil di tengah badai emosi yang berkecamuk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Marriage With The Devil (GHOST CURSED 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang