It's not trauma that sticks but doubt
"Denial …"
Suara Arisa terdengar lirih di tengah keheningan dapur, yang hanya diisi oleh suara napas pelan Aveline yang sedang duduk tenang di pangkuan ayahnya. Denial, dengan sorot mata merah yang tajam, segera mengalihkan pandangannya pada Arisa, bertemu dengan mata hazelnya yang memancarkan kegelisahan.
"Ya?" jawabnya lembut, meskipun tatapannya tetap intens.
Arisa menggigit bibirnya, seolah ragu untuk mengutarakan hal yang selama ini membebaninya. "Bagaimana dengan nenek?" tanyanya pelan, menahan sesak di dadanya. "Sejak kau pergi, aku tak bisa berhenti memikirkannya. Kita tak mungkin meninggalkan jasadnya di rumah begitu saja, bukan?"
Denial tersenyum kecil, ekspresinya mengandung ketenangan yang misterius. Ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, bahu lebar dan kokohnya tampak rileks. Dengan lembut, jemari besarnya menyusuri rambut Aveline yang lembut, memberikan belaian penuh kasih pada putrinya yang tak menyadari beban di hati ibunya.
"Jangan khawatir, sudah kuurus semuanya," katanya dengan nada yang menenangkan. "Yang perlu kau lakukan hanyalah belajar mengikhlaskan, Arisa. Biarkan kenangan itu beristirahat dalam damai, sebagaimana kita melangkah maju."
Arisa terdiam, matanya masih tertuju pada Denial. Meskipun kata-katanya terdengar penuh harapan, ada aura misterius yang tak bisa diabaikan, mengisyaratkan bahwa Denial mungkin menyembunyikan sesuatu di balik ketenangan dan kepastian itu.
“Apakah kau yakin, Denial? Maksudku, ini bukan masalah sepele …” Arisa menatapnya dengan ekspresi gelisah. “Nenek adalah bagian dari hidupku, dan jika dia—”
“Apakah kau tak mempercayai suamimu?” potong Denial tiba-tiba, membuat Arisa terdiam seketika. Sorot matanya yang tajam kini menembus hati Arisa, seakan menyiratkan kedalaman yang tak bisa dijangkau oleh kata-kata.
Arisa menarik napas, menenangkan diri, sementara tatapan Denial mulai melunak. “Aku mengerti kekhawatiran dan kesedihanmu, Arisa,” lanjutnya dengan nada yang lebih lembut, namun tetap tegas. “Tapi sudah waktunya kau belajar melepaskan apa yang sudah berlalu. Kenangan itu … biarkan ia berlalu tanpa mengekangmu.”
Jemarinya yang kokoh menyentuh lembut bahu Aveline, memberikan rasa aman yang perlahan menjalar ke dalam diri putrinya. “Terlebih lagi,” katanya seraya melirik perut Arisa dengan perhatian, “kau kembali hamil sekarang. Terlalu banyak pikiran akan berdampak buruk pada bayi kita. Fokuslah pada masa depan dan kebahagiaan yang tengah kita bangun.”
Arisa mengangguk pelan, meski di dalam hatinya masih terasa berat. “Aku tahu, dan terima kasih atas perhatianmu,” katanya lembut.
Denial hanya mengangguk singkat. “Kembali,” balasnya dengan nada pendek namun bermakna dalam, membuat Arisa merasa dirinya tetap diperhatikan, meskipun tak banyak kata terucap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage With The Devil (GHOST CURSED 2)
FantasyHarap Membaca Bagian Pertama Terlebih Dahulu untuk Pemahaman Lebih Mendalam Arisa Vera kembali ke kehidupan lamanya-penuh kehancuran dan kekacauan. Ia sulit menerima kenyataan bahwa ikatannya dengan sang iblis, yang selama ini ia rasakan, ternyata h...