In this vein, anxiety is always eternal
Dalam waktu ini, pualam telah menjadi gemerlap, menyinari setiap detik yang berlalu, seakan membuai jiwa yang terjebak dalam pesonanya. Kilauan itu seolah membentuk distorsi yang melahirkan benih-benih perasaan baru, sebuah cerminan dari kegelisahan dan keindahan yang menyatu. Malam pun menjadi kanvas bagi bulan untuk melukis harapan, meski asa yang terpancar terkadang menyelimuti hati dengan kebingungan, membawa jiwa mengarungi lautan pikiran yang tak pernah berhenti berombak.
Bulan yang tinggi di langit seperti menebarkan cahaya perak lembut, mengelus lembut wajah bumi, menciptakan bayangan yang bergerak perlahan seiring dengan hembusan angin. Dalam sunyi, ada bisikan yang samar, seakan waktu sendiri turut melantunkan melodi rahasia, mengajak mereka yang terjaga untuk merenung dan mencari makna di antara terang dan gelapnya malam.
Di tengah kesunyian malam, Arisa duduk di dapur yang kini tampak lebih nyaman dan tertata rapi. Dapur itu sebelumnya terlihat sederhana, namun setelah didekorasi ulang, suasananya berubah menjadi lebih hangat dan bersahaja. Lampu-lampu kecil di langit-langit memancarkan cahaya lembut, menciptakan suasana yang tenang dan menenangkan. Meja kayu di depannya tampak berkilau setelah dipoles, dihiasi dengan vas berisi bunga segar yang menambah sentuhan alami.
Arisa duduk di kursi, menikmati masakan buatan Denial dengan tenang. Gerakannya lembut, diiringi dentingan samar sendok yang menyentuh piring. Setiap suapan terasa penuh perhatian, seakan dia ingin meresapi setiap rasa yang diciptakan dengan hati-hati oleh pria yang kini duduk di seberangnya.
Denial, dengan tatapan yang lembut namun penuh makna, mengamati Arisa makan. Ada rasa bangga dan kebahagiaan yang tersembunyi di balik senyumnya, mengetahui bahwa setiap hidangan yang dia siapkan diterima dengan begitu hangat. Di antara keduanya, kata-kata tidak banyak terucap, namun kehadiran dan kebersamaan ini cukup untuk mengisi ruang yang sepi. Aroma makanan yang menguar memenuhi dapur yang hangat, mempertegas rasa nyaman dan intim yang menyelimuti malam itu.
"Aku harus mengakui ... kau benar-benar ahli dalam hal ini, Denial. Sungguh mengejutkan, mengingat kau adalah seorang iblis," puji Arisa dengan nada lembut setelah menyelesaikan makanannya. Dia perlahan menggeser piring ke samping, lalu mengarahkan pandangannya pada pria yang kini mendominasi dapur.
Mata merah Denial menyorot Arisa, menyelidik dengan tatapan penuh arti. Sebuah tawa kecil lolos dari bibirnya, disertai senyum tipis yang muncul di sudut mulut. Dengan gerakan santai, ia menyisir rambut hitam ikalnya ke belakang, tampak menikmati suasana di antara mereka.
"Sanjungan, ya?" ujarnya, suaranya serak namun terdengar hangat. "Tapi tanpa ucapan terima kasih?" Mata merahnya berkilat, menatap Arisa dengan kesan menggoda, seakan menantang wanita itu untuk merespons.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage With The Devil (GHOST CURSED 2)
FantasyHarap Membaca Bagian Pertama Terlebih Dahulu untuk Pemahaman Lebih Mendalam Arisa Vera kembali ke kehidupan lamanya-penuh kehancuran dan kekacauan. Ia sulit menerima kenyataan bahwa ikatannya dengan sang iblis, yang selama ini ia rasakan, ternyata h...