[33] - Bayangan

61 11 0
                                    

Almira menggigiti kuku ibu jarinya gelisah sembari memeluk lutut kakinya, bunyi gemertak sekaligus gemetar di sekujur tubuhnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Almira menggigiti kuku ibu jarinya gelisah sembari memeluk lutut kakinya, bunyi gemertak sekaligus gemetar di sekujur tubuhnya. Pengkhianatan besar yang dia rasakan, bukan dari suaminya sendiri melainkan anaknya, darah dagingnya sendiri yang sudah dia besarkan penuh kasih sayang.

"Bagaimana ini?"

"Rakri ... dia telah merencanakan semua ini ...."

"Dia bekerja sama dengan Perun, Horm tidak akan bisa bangkit ...."

Tuk!

Bunyi kuku ibu jarinya yang patah, Almira terdiam dengan sorot mata yang kosong. "Horm tidak akan bisa bangkit ...." lirihnya kecil.

Ting!

Sebuah ponsel yang tidak jauh darinya berbunyi menandakan pesan masuk, Almira menoleh ke arah ponsel tersebut. layarnya yang bercahaya lalu kembali mati, Almira merangkak mengambil ponsel tersebut dan melihatnya.

Ponsel tua dan kecil tanpa fitur apapun selain menerima dan mengirim pesan. Almira membuka pesan terbaru yang baru masuk, pupil matanya bergetar. "Rakri ... bagaimana mungkin kau mengancam ibumu?" gumam Almira menatap pesan tersebut dengan syok.

+8XX-XXX-XXXX-X82
|Tinggal kau.
|Pilihanmu hanya dua.
|Merangkak di tanah atau penjara.

WiH?

Rakri menatap ponsel di tangannya dengan tatapan datar, dia menatap pesan yang baru saja dia kirimkan pada ibunya. Pesan ancaman sekaligus taktik terakhirnya untuk menyelesaikan seluruh rencananya.

Bunyi langkah kaki yang menggema di kamarnya mengalihkan perhatiannya, Rakri mengangkat kepalanya memandang ke sumber suara. "Bagaimana perasaanmu?" tanya Sheyna memberikan segelas teh hangat pada Rakri, pria itu segera menerimanya dan meminumnya.

"Tiga orang sudah dalam penyelidikan, tinggal ibumu. Dalang dari penderitaanmu," imbuh Sheyna ikut duduk di tepi kasur.

Rakri meletakkan gelasnya di nakas, tatapan matanya hampa tanpa emosi. "Entahlah ...." jawab Rakri kecil. "Jika kau bertanya tentang perasaanku yang sebenarnya, aku juga tidak tahu. Lebih tepatnya aku tidak tahu emosi apa yang kualami sekarang ...." imbuhnya menoleh pada Sheyna.

Rakri memegang dadanya, "Sakit, sedih, marah, benci, dendam, frustasi ... tidak ada satu pun yang tepat. Aku tidak menemukan kata yang tepat, sebagai anak yang hendak membunuh orang tuanya sendiri, sebagai anak yang memenjarakan orang tuanya sendiri. Aku tidak tahu, Sheyna ...."

Cengkraman tangan Rakri mengerat pada dadanya hingga menimbulkan kerutan pada pakaiannya, wajahnya masih tanpa ekspresi, tidak ada binar di mata kecoklatannya. Hanya ada kekosongan dan rasa dingin yang menembus tulang.

Rakri kehilangan emosinya.

Lebih tepatnya, dia merasa depresi hingga segalanya terasa hampa baginya. Bahkan dia tidak bisa mengekspresikan emosinya dengan tepat. Titik terendah setiap manusia adalah saat mengalami masa depresi.

Who is He? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang