[49] - Grief⚠️

63 7 1
                                    

⚠️Warning : Part ini mengandung unsur dewasa seperti kata-kata vulgar, kelainan seksual, seks, kekerasan; sadis dan lain-lainnya⛔

⚠️TRIGGER WARNING : ABUSE, BLOODY, AND SUICIDE⚠️

⚠️TRIGGER WARNING : VIOLENCE, BLOODY, MENTAL DISORDER AND ATTEMPTED MURDER⚠️

⚠️HARAP UNTUK TIDAK MENIRU ATAU DENDAM TERHADAP ADEGAN BURUK DALAM PART INI. JIKA PART INI MEMICU, MOHON SEGERA LEWATI⚠️

"AKH! HENTIKAN! HENTIKAN! AKHH!" pekik Imelda menangis setiap kali cambuk mendarat di punggungnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"AKH! HENTIKAN! HENTIKAN! AKHH!" pekik Imelda menangis setiap kali cambuk mendarat di punggungnya.

Entah sudah ke berapa kalinya, dirinya pasti dibawa petugas sipir dan dicambuk tanpa ampun hingga punggungnya berdarah. Bahkan berdarah sekali pun, petugas tersebut tidak berhenti memukulinya. Imelda tersungkur jatuh dengan wajah yang sedikit terseret pada tanah kasar itu, airmata membanjiri wajahnya.

Sejak putusan pengadilan, dirinya selalu tersiksa dalam penjara. Tidak segan mereka menganiaya dirinya hingga kehilangan kesadaran atau sekarat, namun mereka juga tidak membiarkannya mati karena penderitaan ini.

"Bawa dia pergi, dia harus melakukan tugasnya." kata petugas sipir itu tanpa ekspresi langsung diangguki oleh petugas lainnya.

Imelda membulatkan matanya sembari menggeleng tidak berdaya, "Ti-tidak, tidak ... jangan, kumohon jangan ...."

Petugas sipir lainnya memegangi kedua tangan Imelda dan mengangkatnya kembali berdiri, lalu mereka menyeretnya tanpa perasaan memasuki sebuah ruangan. Imelda berteriak meminta mereka untuk berhenti, namun mereka tidak memedulikannya.

"Tidak! Jangan! Jangan!" teriak Imelda mencoba memberontak dengan sisa tenaganya.

Dia dibawa masuk ke dalam ruangan yang dipenuhi beberapa narapidana pria dan dua orang perawat yang menunggunya, jelas sekali akhir seperti apa yang menunggunya. Imelda berteriak sekuat tenaga sebelum pintu ruangan tersebut tertutup meninggalkan bunyi nyaring.

WiH?

Plak!

Meliani jatuh tersungkur dengan wajah yang babak belur, seorang petugas sipir wanita menarik rambutnya dengan keras untuk mengangkat kepalanya. Petugas tersebut menatapnya garang sembari mengeratkan cengkaramannya pada rambutnya.

"Sepertinya kau terlalu santai hari ini, bukankah aku menyuruhmu membersihkan lapangan dengan bersih?" tanya petugas tersebut marah.

"A-aku sudah membersihkannya ...." jawab Meliani terbata-bata, dia terbatuk saat butiran pasir tidak sengaja masuk ke dalam mulutnya.

Petugas sipir tersebut menggertakkan giginya dan membanting kepala Meliani dengan penuh amarah pada tanah kasar yang ia pijak, "Apa kau tidak menggunakan matamu? Banyak puntung rokok, apa aku harus mencoloknya di matamu?"

Who is He? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang