Langit di luar tampak gelap, nyaris seperti tanda akan datangnya badai besar. Jauh di cakrawala, samar-samar terlihat semburat cahaya merah kehitaman, seakan-akan dunia sedang menahan napas sebelum kekacauan benar-benar meletus.
Lael melangkah lebih dulu, diikuti oleh Thea, Nediva, Kenaz, dan Jaziel. Mereka tidak perlu berbicara banyak—semua tahu ke mana tujuan mereka: Axum. Tempat di mana segalanya akan ditentukan.
"Apa kau merasakannya?" Thea berbisik, tangannya menggenggam lengan Nediva.
Nediva mengangguk, matanya menyipit saat ia menatap ke arah langit. "Ya. Keseimbangan dunia mulai bergeser. Jika kita tidak menghentikan mereka sekarang..."
"Tak akan ada lagi yang bisa dihentikan. Pertempuran ini memang harus terjadi" sambung Jaziel.
Lael mendesah pelan, matanya menatap lurus ke depan. "Kita harus segera pergi."
💎💎💎💎💎💎💎
Gabriel berdiri di depan bangunan yang dahulu merupakan kuil pemujaan untuk dewa Anubis. Ratusan obelisk dari batu granit hitam menjadi hiasan fasadnya. Di belakang Gabriel, Anya terdiam, menahan diri untuk tidak menunjukkan ketakutan yang semakin menggerogoti hatinya. Fisiknya semakin lemah seiring dengan semakin kuatnya Gabriel. Dia butuh kristal kekuatan miliknya sendiri, yang saat ini tersegel di tubuh saudara-saudaranya yang lain.
Axum jauh lebih sunyi dari yang ia ingat. Dulu, tempat ini adalah pusat energi yang dipenuhi oleh jiwa-jiwa abadi. Kota kuno yang menjadi tempat disimpannya sebuah relik suci yang banyak dicari oleh para penjelajah dan pengembara. Namun sekarang, hanya keheningan dan aura mengancam yang menyelimutinya.
"Jadi, di sinilah kau menyembunyikan kristal terakhir itu?" Gabriel bertanya tanpa menoleh.
Anya menggigit bibirnya. "Gabriel, kau harus berhenti. Jika kau menyerap kristal ini juga, kau akan kehilangan kendali."
Gabriel tertawa pelan, suaranya penuh dengan kesombongan. "Kehilangan kendali?" Ia berbalik, menatap Anya dengan mata yang berpendar keperakan. "Aku tidak pernah merasa sekuat ini, Anya. Kekuatan ini... ini adalah takdirku."
Anya mengepalkan tangan. "Takdir yang kau bicarakan hanya akan membawa kehancuran."
Gabriel melangkah mendekat, mengangkat dagu Anya dengan dua jarinya. "Kau tidak mengerti, Anya. Aku tidak lagi membutuhkan belas kasihan. Aku hanya membutuhkan kemenangan."
Sebelum Anya bisa membalas, sebuah suara menggema.
"Berhenti di situ, Gabriel."
Gabriel menoleh, matanya menyipit saat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu batu granit.
Aiden, sang imam keturunan Eleazar yang ditunjuk untuk menjaga bangunan suci ini.
"Pendosa seperti dirimu tidak pantas berada di dalam bangunan suci ini," kata Aiden dengan tatapan teduh namun tetap waspada.
Gabriel balas menatap itu dengan ekspresi dingin, matanya yang berpendar keperakan semakin tajam. "Aku hanya datang untuk mengambil apa yang menjadi milikku" ujarnya.
Aura mereka terasa berat, menggetarkan udara di sekitar. Anya menahan napas, menyadari bahwa keseimbangan kekuatan di sekitar bangunan ni telah berubah.
Aiden mengangkat dagunya sedikit. "Kau sudah pergi terlalu jauh, Gabriel."
Gabriel tersenyum sinis. "Terlalu jauh? Tidak, Aiden. Aku baru saja memulainya."

KAMU SEDANG MEMBACA
SEVEN UNKNOWN
FanficJatuh cinta itu hal biasa. Lantas bagaimana jika orang yang kau cintai bukanlah seseorang yang kau pikirkan selama ini? Bagaimana bila seseorang yang kamu cintai mendadak memiliki rahasia tergelap? Rahasia yang jauh menembus nalar mu. Rahasia yang...