Nailah pov
"Kenapa umi baru memberitahu sekarang? Kenapa tidak sejak dulu?" ucapku disela isakanku."Karna umi ingin memastikan bahwa hati kamu benar benar kuat, dan kenyataan ini tak akan membuatmu goyah, dengar Nai, jangan merendahkan dirimu karna kamu tau semua ini, percaya lah, begitu banyak orang orang yg sangat menyayangi kamu, bukan karna kasihan, tapi karna kamu memang anugerah buat umi, buat semuanya, umi melindungimu karna umi menyayangimu"
"Umi tidak marah dengan almarhum, karna dia sudah hadir disela kebahagiaan umi?"
"Sangat marah Nai, bahkan kecewa, umi sempat berfikir apa kurangnya umi, namun umi hanya bisa diam, sebagaimana Aisyah yg cemburu pada istri Rasulullah yg lainnya, umi hanya bisa berharap pada Allah karna umi yakin, takdir Allah tak pernah salah"
"Jika Habibah dan Habibi tau semua ini, apa mereka akan membenci Nailah, apakah mereka tak akan menganggap Nailah lagi sebagai saudara mereka umi?" aku menatap umi sedih.
"Kita sudah tau" aku dan umi menoleh kebelakang, aku melihat Habibah dan Habibi sudah berdiri disana dengan mata yg sudah basah, mereka berjalan mendekatiku dan juga umi.
"Kami udah denger semuanya, saat Bibah dan kak Habibi sampai dirumah, kami liat umi dan kak Nai pergi, dan kami mengikuti kalian, dan kami juga udah denger semuanya tadi" ucap Habibah.
"Maafkan almarhum ibu Nailah, dia.."
"Kak, semua orang pernah melakukan kesalahan, kesalahan besar atau kecil sekalipun, kak Nai tetaplah saudara kami, tak ada yg bisa menggantikan kak Nai dihati kami, untuk apa kami marah, itu hanyalah sifat syetan, dan air susu yg sama yg sudah mempererat hubungan kita" aku memeluk Habibah erat, aku menangis dipelukannya, ku sadari bahwa adikku sudah begitu dewasa.
"Jangan pernah merendahkan diri kak Nai, jadilah kak Nailah seperti biasanya, yg selalu ceria yg selalu menjadi panutan untuk kita" ucap Habibi, aku melihat kearahnya, lalu memeluknya, dia pun memelukku.
"Terima kasih Habibi, terima kasih Habibah" terasa suasana begitu haru.
"Umi dan abi tidak dipeluk?" kami bertiga langsung menoleh kebelakang, melihat umi dan abi sudah berada disana.
"Abi, umi, terima kasih" aku pun memeluk mereka berdua, sungguh Allah benar benar menempatkan sesuatu dengan begitu sesuai, terima kasih ya Rabb.
"Nai, apapun yg terjadi, tetaplah menjadi Nailah yg biasanya, abi harap kenyataan ini tak membuatmu berubah, kamu harus percaya, kami disini selalu ada untukmu, untuk melindungimu, kamu tetaplah anak umi, anak abi dan kakak untuk adik adikmu, abi mohon" aku mengangguk dengan senyuman dibibirku.
"Inshaa Allah abi, terima kasih" kami semua tersenyum dengan suasana yg begitu haru.
"Umi, boleh Nailah tanya?"
"Boleh sayang"
"Apakah umi tau dimana saudara tiri Nailah?" aku melihat umi yg menatap kearah abi.
"Dia adalah Nazwa" aku terdiam beberapa saat, benarkah semua itu, pantas saja dia mengetahui tentang hidupku.
"Nai, umi harap kamu tidak memasukkan ke hati tentang apa yg diucapkannya selama ini, kamu tau sewaktu dulu dia mengejek kamu sewaktu kalian masih di madrasah? Sejak itu kami memang sudah mengetahui bahwa saudara tiri kamu bersekolah disana juga, dan itu juga yg membuat dia pindah dari sana, dia sudah diberitahu bahwa Nailah adalah saudara tirinya, sebab itu dia mengetahui semuanya, namun caranya salah"
"Tak apa umi, Nai sudah memaafkannya, Nai tau dia orang yg baik"
"Yasudah, sebaiknya kita pulang, sepertinya sudah mau maghrib" ucap abi, kami pun pergi meninggalkan makam itu.
***
"Jadi kalian bolos?" ucap abi tegas, kami sedang berkumpul diruang keluarga.
"Maaf abi, perasaan Bibah bener bener ga enak, jadi Bibah.."
"Kita udah ijin kok abi, maaf kalau Habibi dan Habibah ga ngabarin abi sebelumnya"
"Ini salah Nai abi, Nai juga pergi dari pesantren tanpa meminta ijin, maafkan kami" kami bertiga hanya menunduk, abi sudah mendapat telfon dari pesantren kami masing masing yg mengatakan bahwa kami pergi darisana.
"Hmm, abi memaafkan untuk kali ini, tapi jika ada alasan lain abi tak akan terima, dan kamu Nai, sebaiknya kamu telfon Dzaky, kabari bahwa kamu berada disini, mereka semua begitu khawatir dengan keadaanmu"
"Baik abi"
"Yasudah, kalian istirahat lah, ini sudah malam, besok pagi kalian harus kembali ke pesantren" ucap umi Zahra.
"Baik umi, assalamualaikum" kami bertiga bergantian mencium tangan umi dan abi, kami pun pergi ke kamar masing masing.
Aku memegang hp milikku saat sampai dikamar, jantungku terasa berdetak begitu kencang.
"Bismillah" aku mengetik nomor gus Dzaky yg diberikan abi, beberapa saat menunggu kudengar telfon pun diangkat.
"Assalamualaikum" aku terdiam beberapa saat.
"Waalaikumsalam"
"Nailah, kamu baik baik saja?" jantungku masih terus berdetak kencang, dia langsung mengenaliku, benarkah bahwa dia menyukaiku.
"Nai, baik baik saja gus Dzaky, maaf jika Nai membuat kalian repot mencari Nai"
"Saya sudah tau kamu pulang ke Bandung, tadi abi kamu juga sudah memberitahu saya"
"Maafkan Nai, karna tidak pamit"
"Saya yg minta maaf Nai, karna Nazwa kamu.."
"Tidak apa apa gus Dzaky, besok saya akan kembali, apapun hukumannya inshaa Allah saya akan terima"
"Kamu ga salah Nai, dan kamu ga akan dihukum, Nazwa yg akan dihukum"
"Tolong jangan hukum dia, dia tidak salah, tolong maafkan dia"
"Nai, dia salah, dia udah nuduh kamu tanpa bukti yg benar, dia udah fitnah kamu"
"Semua yg dikatakan Nazwa benar tentang Nailah"
"Maksud kamu?"
"Nai memang bukan anak kandung umi Zahra, Nai hanya anak angkat mereka"
"Jadi Nazwa benar?"
"Iya gus, maafkanlah dia"
"Baiklah"
"Nai permisi dulu, sudah malam, assalam..."
"Tunggu Nai" aku terdiam.
"Siapapun kamu, apapun status ibu kamu seperti yg dikatakan Nazwa sekalipun itu memang benar adanya, kamu tetaplah Nailah, dan perasaan itu tak akan pernah berubah karena saya yakin kamu tidak seperti itu" hatiku terasa begitu terenyuh, dia benar menyukaiku.
"Dengar Nai, apapun yg akan terjadi kedepannya, saya berjanji akan menjagamu, sekalipun itu dengan doa, saya berharap kamu juga mempunyai perasaan yg sama denganku"
"Gus Dzaky, aku..."
"Istirahatlah, assalamualaikum"
"Waalaikumsalam"
"Aku memang mempunyai perasaan yg sama denganmu" ucapku lirih setelah telfon itu terputus.
Ait mataku kembali menetes, maafkan kakak Bibah, kakak sungguh tak bisa menahan perasaan ini, namun kakak janji tak akan menghancurkan kebahagiaanmu dan juga harapanmu.
♥♥♥♥♥♥♥
Masa lalu bukan untuk disalahkan
Tapi dengan masa lalu
Kita bisa belajar bagaimana kita hidup untuk kedepan
#Nailah Fadiyah
KAMU SEDANG MEMBACA
Inshaa Allah
SpiritualPercayalah pada Allah, maka tak akan ada lagi yg membuatmu kecewa.