Nazwa pov
"Assalamualaikum""Waalaikumsalam, Nazwa" aku tersenyum pada sosok wanita didepanku, saat aku kembali dari perpustakaan tadi, aku melihatnya duduk sendirian membaca buku di taman, aku menguatkan hatiku untuk menghampirinya.
"Boleh duduk Nai?"
"Ohh, ehm boleh, duduk lah" dia menggeser duduknya dan memberiku tempat, aku pun duduk ditempat yg disediakan darinya, beberapa menit kami saling diam, aku bingung harus bicara apa padanya, padahal banyak sekali yg sebenarnya ingin aku sampaikan.
"Dari perpus Nazwa?"
"Ehm, iya, minjem buku, nih" aku menunjukkan buku yg aku pinjam dengan tersenyum padanya, kulihat dia membalas senyumanku, aku melihatnya melanjutkan tulisannya, ternyata dia menulis dan bukan membaca seperti yg aku lihat dari kejauhan tadi.
"Ada tugas Nai?"
"Ehm, engga kok, cuma pengen nulis aja" kulihat dia menghentikan kegiatannya dan menutup buku yg dia tulis.
"Ehm maaf kalo aku ganggu kamu nulis, atau sebaiknya aku balik aja"
"Eh engga kok, ga apa apa, aku udah selesai"
"Ohh gitu, kamu suka nulis Nai?"
"Suka banget, dari kecil aku suka nulis, apapun hal yg aku alami akan aku tuangkan dalam bentuk tulisan, mencurahkan semua inspirasi dan juga hikmah dari sebuah kehidupan" aku melihatnya tersenyum menatap kedepan.
"Boleh aku baca tulisan kamu?" dia langsung menatap kearahku.
"Ehm, maksud aku, yg udah selesai aja, kalo ga ada juga ga apa apa kok Nai" aku menunduk malu, aku benar benar gugup, kudengar dia terkekeh sedikit.
"Ga perlu gugup gitu Nazwa, nanti aku kasih buat kamu kok" aku mengangkat kepalaku dan melihat senyumnya yg mengembang, wajahnya begitu ceria.
"Trima kasih Nai"
"Sama sama" kami pun terdiam lagi untuk beberapa saat, hingga aku benar benar mengatakan apa yg ada dihatiku.
"Nai, apa yg membuatmu untuk melarang ustadz Rafi tidak jadi menghukumku?"
"Hmm, karna aku juga salah Nazwa, dan menurutku hukuman itu tak adil jika hanya dilimpahkan padamu, pasti para santri yg lain juga akan membicarakanmu jika cuma kamu saja yg dihukum, aku hanya tak ingin mereka mengatakan hal hal yg berlebihan"
"Maafkan aku Nai, aku.."
"Sudahlah, tak ada yg harus dikhawatirkan, Allah saja maha pemaaf, mengapa kita sebagai hambanya harus sombong?" aku tersenyum padanya, dia sungguh beruntung mendapatkan keluarga yg sangat baik hingga bisa membimbingnya seperti sekarang ini.
"Kamu tau Nai, kenapa aku ngelakuin itu sama kamu?" aku menunduk dan tersenyum lalu aku mengangkat kepalaku menatap kedepan.
"Aku cemburu padamu Nai, kau mendapatkan keluarga yg begitu utuh, menyayangimu, melindungimu, bahkan mereka benar benar menganggapmu anak kandung, berbeda denganku, ibu kandungku sendiri bahkan tidak seperti umi mu, umi Zahra"
"Saat usiaku 7 tahun, ibuku menikah lagi, awalnya dia begitu menyayangiku, mengajarkanku segala hal begitupun setelah menikah, ayah tiriku begitu menyayangiku, namun semua berubah saat adik tiriku lahir, ibuku sering memarahiku, meski ayah tiriku tak pernah memarahiku tapi dia sudah melupakan kasih sayangnya padaku, setiap pergi keluar aku tak pernah diajak oleh mereka, hingga usiaku 11 tahun mereka menempatkanku dirumah pamanku dengan alasan untuk sekolah di madrasah yg sama denganmu Nai, hingga aku bertemu denganmu dan kejadian di toilet itu"
"Awalnya aku disuruh ibu wali kelas kita untuk menyusun data data murid kelas kita, hingga itulah yg terjadi, setelah kau pergi dari toilet itu aku sadar bahwa apa yg aku lakukan sungguh salah, aku kembali keruang wali kelas kita, aku mencari data data itu lagi, namun aku menemukan akte kelahiran semua murid, aku mencari namamu Nai, saat itu pun aku sangat terkejut, aku melihat nama ayah kita sama, namun nama ibu kita yg berbeda, awalnya aku hanya berfikir itu kebetulan, namun beberapa aku terdiam aku langsung pergi dari sana, aku pulang ke rumah ibuku tanpa kembali kerumah pamanku"
"Sesampai dirumah, apa yg aku takutkan benar terjadi
Flashback on
"Nazwa apa yg kamu lakukan disini? Bukankah seharusnya kamu sekolah?" tanya ibuku saat aku berdiri didepan pintu."Apa umi tau tentang ini?" aku menyerahkan akte kelahiran Nailah yg aku bawa, umi ku mengambilnya, seketika kulihat raut wajahnya berubah sendu.
"Umi, apakah benar itu ayah yg sama seperti ayah kandung Nazwa yg sudah meninggal? Apakah sama umi? Inikah yg menyebabkan umi membuangku kerumah paman?" ibuku berjalan kearah taman, aku mengikutinya dan duduk disampingnya.
"Saat umi mengandungmu, di usia kandungan yg masih 2 bulan, umi mendapat kabar bahwa ayahmu berselingkuh, umi pun langsung mencari tau semuanya, betapa terkejutnya bahwa semua itu memang benar, ayahmu melakukan hubungan terlarang dengan mantan pacarnya dulu, bernama Laura, umi marah besar pada ayahmu, umi meminta cerai darinya, namun dia hanya berkata maaf pada umi, dengan egois umi mengusirnya dari rumah, saat itu hujan lebat, umi lihat dia pergi dengan mobilnya, beberapa jam kemudian umi mendapat telfon bahwa ayahmu kecelakaan dan meninggal ditempat kejadian, umi sangatlah terpuruk, betapa menyesalnya umi dan sangat bersalah padanya" aku melihat air mata ibuku menetes.
"Setelah kejadian itu, umi mencari tau tentang keberadaan Laura yg ternyata sudah menikah dengan pria lain, namun pria itu ternyata juga sudah beristri, betapa umi sangat membencinya saat itu, dia sudah mengahancurkan kebahagiaan orang lain bahkan tak hanya kebahagiaan umi yg dia hancurkan namun juga kebahagiaan wanita dari istri pertama suaminya itu yg beberapa saat kemudian umi mengetahui bahwa mereka bercerai, sungguh hati umi sangat sakit merasakan kesedihan wanita itu yg umi tau mereka baru saja menikah"
"Saat usia kandunganmu 8 bulan, umi memeriksakannya kerumah sakit, namun tak disangka umi bertemu dengan Laura, umi mencoba menghindar namun dia memanggil umi, umi melihatnya begitu berbeda, dia sudah mengenakan hijab bahkan hijabnya begitu panjang, dia mengajak umi ke taman hanya kami berdua, saat itu dia minta maaf pada umi, umi yg membencinya pun langsung mengeluarkan semua isi hati umi padanya, betapa sakitnya hati umi, umi menyalahkannya karna dia ayahmu meninggal, umi hanya bisa melihatnya menangis memohon maaf pada umi hingga bersujud di kaki umi, saat itu tanpa sadar umi merasakan perut umi begitu sakit, dia menyelamatkan nyawa umi dan juga kamu yg saat itu didalam kandungan umi, dia mendonorkan darahnya karna saat melahirkanmu pendarahan umi begitu hebat hingga harus mendapatkan transfusi darah, saat itu juga dia mengajukan dirinya untuk memberikan donor darah pada umi yg saat itu persediaan darah di rumah sakit habis, awalnya suaminya melarangnya karna dia juga sedang mengandung"
"Namun dia memohon pada dokter, setelah dokter memeriksa tekanan darahnya yg normal dokterpun setuju untuk mengambil darahnya, saat itu umi sadar bahwa selama ini umi terlalu egois, dia adalah wanita yg begitu kuat, dia sudah berubah menjadi wanita yg benar benar muslimah"
"Apakah dia masih hidup?" umi ku menggeleng.
"Dia sudah meninggal, kecelakaan saat usia kandungannya sudah menginjak 9 bulan, nyawanya dan suaminya tak terselamatkan, namun bayinya selamat dan sekarang bayinya dirawat oleh mantan istri pertama suaminya yg saat itu juga sudah menikah, bayi Laura dibawa ke Medan dan umi tau namanya adalah Nailah" seperti tersambar petir yg saat ini aku rasakan dihatiku, betapa pahitnya semua kenyataan ini, saat tadi aku mengejeknya di sekolah namun kehidupanku tak jauh berbeda dengannya, benar yg dikatakannya bahwa menceritakan aib orang lain sama saja menceritakan abi ku sendiri, aku menangis memeluk ibuku.
Falashback off "♥♥♥♥♥♥♥
KAMU SEDANG MEMBACA
Inshaa Allah
SpiritualPercayalah pada Allah, maka tak akan ada lagi yg membuatmu kecewa.