Part 40

9.2K 619 2
                                    


Nailah pov
Kami tertawa bersama, setelah begitu banyak kebingungan diantara kami, kami pun memutuskan mengobrol sejenak di cafe yg ada di area bandara, aku teringat cafe ini adalah tempat perpisahanku dengan mas Dzaky 3 tahun yg lalu.

"Kak Nai, jadi Akbar ini adalah sahabat Habibi di pesantren, Habibah juga tau, setelah kami lulus, Akbar memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Al Azhar"

"Ohh begitu" aku tersenyum pada Habibi.

"Lalu bagaimana kalian saling mengenal?" tanya Habibah, aku melihat kearah Akbar.

"Satu bulan yg lalu aku dan Nailah ga sengaja ketemu di halte, waktu itu sedang hujan, kami menunggu bis dan aku tau kalau ternyata Nailah juga dari Indonesia, sampai akhirnya bis datang dan ketika aku turun dari bis aku lupa membawa buku yg aku beli, beberapa menit kemudian Nailah datang mengembalikan buku milikku, dan tadi kami tak sengaja juga bertemu di dalam pesawat yg sama" ucap Akbar menjelaskan pada Habibi.

Kami mengobrol beberapa menit, mengobrolkan banyak hal, terutama Akbar dan Habibi yg kelihatannya begitu senang saat bertemu.

"Kak, ayo kita pulang, umi udah nunggu, kayaknya kita kelamaan ngobrol" ucap Habibah.

"Ehm, yaudah deh, Bar ikut yuk kerumah, umi pasti seneng ketemu kamu"

"Entar aja deh, kakak aku juga udah jalan kesini, mungkin lain kali aku akan datang"

"Bener ga apa apa kita tinggal?" ucap Habibi.

"Ga apa apa kok"

"Yaudah deh, kita pulang duluan ya"

"Iya ga apa apa, hati hati" kulihat mereka berpelukan sebentar, aku menangkupkan kedua tanganku didepan dadaku dan tersenyum sedikit padanya.

"Hati hati Nailah"

"Terima kasih"

"Hati hatinya pada kak Nai doang nih?" ucap Habibah, mereka pun tertawa bersama.

"Yaudah kita pulang ya, assalamualaikum"

"Waalaikumsalam" kami berempat pun keluar dari cafe dan meninggalkan Akbar disana, kami berjalan menuju mobil.

"Aku duduk di belakang aja bareng kak Nailah" ucap Habibi saat aku sudah berada di dalam mobil, aku melihat Habibi masuk dan duduk disampingku.

"Kak Habibi curang ih, kan tadi Habibah yg duduk dibelakang" ucap Habibah merengek, sepertinya sifat yg satu itu belum juga hilang, padahal dia sudah menikah.

"Bibah, kamu kan udah gede, ga malu sama suami kamu merengek kayak gitu, udah sana duduk didepan temenin suamu kamu" aku tertawa kecil melihat tingkah mereka yg suka sekali bertengkar.

"Sudah Habibah, kan kita masih satu mobil yg sama" ucapku padanya, Habibah kemudian berjalan dan duduk didepan disamping mas Dzaky, mataku sempat bertatapan dengannya dari kaca spion, aku langsung menunduk dan mengalihkan pandanganku.

Meski aku sudah mengikhlaskan semuanya, namun hati ini masih saja merasakan sakit itu, meski sakitnya tidak seperti dulu lagi.

Dzaky pov
Aku melihat tawa yg masih sama seperti dulu, senyum yang masih terukir indah dibibirnya, meski aku sudah mengikhlaskannya tapi hati ini masih mengingat semuanya tentang dia, aku dan Habibah juga sudah sepakat untuk membantunya mencarikan pendamping yang cocok dengannya, ternyata Habibah begitu mengerti posisiku yang pernah menyukai Nailah, meski tak jarang aku melihatnya cemburu dan merasakan kesedihan didalam hatinya.

Aku dan Habibah juga saling menukar pandang ketika pria bernama Akbar kulihat begitu memeperhatikan Nailah, sepertinya pria itu menyukai Nailah, namun sepertinya Nailah yang tidak menyukainya.

"Kak Nai, gimana kabar kak Farah?" ucap Habibah.

"Alhamdulillah dia baik, dia juga nganterin kakak ke bandara tadi"

Aku hanya bisa mendengarkan percakapan mereka, aku sama sekali tidak tau harus berbuat apa.

"Kapan dia akan kembali?"

"Mungkin 5 atau 6 bulan lagi"

"Ohh gitu"

"Oh ya kak, hari minggu nanti, umi dan abi akan bikin pengajian dirumah"

"Alhamdulillah, memangnya ada acara apa?"

"Pengajian untuk almarhum abi Rafi, dan juga untuk pernikahan Habibah dan juga mas Dzaky" aku melihatnya dari kaca spion, dia tersenyum pada Habibah.

Habibi pov
Aku melihat kak Nailah yg sepertinya sedikit canggung.

"Oh ya kak Nai, Habibi ada tawaran buat kak Nailah"

"Tawaran apa?"

"Dirumah sakit tempat Habibi magang lagi membutuhkan seorang relawan"

"Relawan?"

"Iya, maksudnya gini, disana kan banyak anak anak penderita penyakit dalam, seperti kanker, tumor, jadi disana sedang mencari relawan buat ngasih motivasi, inspirasi atau kegiatan yg bisa membangun semangat mereka bangkit kembali, sebelum ini Habibi yang selalu ngasih semangat buat mereka, namun sepertinya Habibi butuh bantuan kak Nailah, Habibi tau kak Nailah suka sama anak anak"

"Benarkah? Memangnya bisa? Tapi kak Nailah kan ga kuliah di bidang kedokteran"

"Kak, Habibi kan ga nyuruh kak Nailah buat operasi mereka" aku tertawa sedikit, kulihat kak Nailah garuk garuk kepala.

"Iya juga ya" kak Nailah pun tertawa.

"Gimana? Ya buat ngisi hari kak Nailah selagi kosong, siapa tau kedepannya kak Nailah ingin bekerja atau yang lainnya"

"Kak Nailah mau kok, tenang aja, inshaa Allah kak Nailah akan bantu kamu"

"Alhamdulillah"

"Kak Nai juga bisa bantuin Habibah di toko kue umi, Habibah dan mas Dzaky udah mutusin buat menetap disini, kita juga buka cabang toko kue umi"

"Oh ya? Alhamdulillah, kak Nai mau bantu"

"Alhamdulillah, oh ya kak, lalu gimana dengan buku kakak? Kakak masih nulis?"

"Masih kok"

"Kak Nai udah mau dateng ke penerbitan buku? Habibah bisa buatin acara khusus untuk kak Nailah, nanti Habibah telfon mas Syauqi, dia pasti mau bantuin"

"Hmm, ga usah Bibah, nanti aja, kak Nai pasti dateng kok" kulihat kak Nailah hanya tersenyum, sepertinya kak Nailah menyembunyikan sesuatu kenapa sampai sejauh ini dia tak pernah mau hadir dalam penerbitan buku miliknya, aku akan menanyakannya nanti.

"Assalamualaikum umi" ucap kak Nailah saat kami sudah sampai, umi dan abi sudah menunggu di depan rumah menyambut kedatangan kami.

"Waalaikumsalam, Nailah" aku melihat kak Nailah begitu bahagia melihat umi, mereka berpelukan begitu lama.

"Ehm, abi ga di peluk nih"

"Haha, abi, apa kabar?" kak Nailah mencium tangan abi lalu memeluknya.

"Abi baik, kamu gimana?"

"Alhamdulillah, berkat nasihat dari pak dokter, Nailah baik baik saja" ucap kak Nailah yg melirik kearahku, aku pun menyadari betapa posesifnya aku pada kak Nailah saat dia berada di Kairo, aku selalu menelfonnya disela waktu ku untuk sekedar mengingatkannya makan, sejak aku dengar dari umi dia jatuh sakit beberapa kali disana, aku jadi lebih rajin menelfonnya.

"Haha, abi lupa kalau ada dokter muda disini" kami pun tertawa bersama.

"Yaudah ayo masuk, Nailah pasti capek" kami pun masuk, aku membawakan koper kak Nailah dan memasukkannya ke dalam kamarnya, kamar ini tidak pernah berubah sejak dulu, bahkan setiap hari umi slalu membersihkannya dan tak mengubah sedikitpun letak barang barangnya, aku tersenyum dan meletakkan koper itu di dekat pintu dan menutupnya kembali.

♥♥♥♥♥♥♥

Inshaa AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang