Nailah pov
Aku duduk didepan meja rias dikamar ku, aku tak henti memandang wajahku yang begitu berbeda, karena seumur hidup ku baru kali ini aku memakai berbagai peralatan make up, umi Zahra yang melakukan ini semua padaku, aku memakai gamis putih beserta hijabnya yang menjulur panjang hingga lengan ku, umi bilang ini baju yang dia kenakan saat menikah dengan abi Daniel.
"Subhanallah, kak Nailah cantik sekali" aku melihat Habibah dari kacaku, aku tersenyum padanya lalu memutar tubuhku menghadap kearahnya.
"Umi yang membuat kakak seperti ini" Habibah menghampiriku dan duduk dipinggir tempat tidur menghadap kearahku.
"Umi, beneran umi yang..?" kulihat umi mengangguk dan tersenyum pada Habibah.
"Kak Nailah" aku melihat kearah pintu, Habibi berdiri disana bersama abi, aku tersenyum pada mereka.
"Mashaa Allah ada Bidadari Syurga" ucap Habibi tersenyum yang membuat satu ruangan ini tertawa.
"Abi seperti melihat umi mu saat muda dulu" ucap Habibi yang membuat kami tertawa.
"Nai sudah siap?"
"Inshaa Allah abi"
"Habibah temenin Nailah ya, Habibi dan umi ikut abi ke bawah, sebentar lagi mereka datang" jantung ku berdetak begitu cepat, aku benar benar gugup, ini pertama kalinya dalam hidupku.
"Baik abi" ucap Habibah, mereka keluar dan menutup pintu kamarku, tinggal aku dan Habibah saja didalam kamar.
***
Beberapa lama kami dikamar, kami mendengarkan suara banyak orang yang mengatakan sahh, aku benar benar terdiam, aku masih tak menyangka bahwa status ku telah berubah.
"Alhandulillah, kak Nailah sudah sah menikah" ucap Habibah, tak terasa air mataku menetes.
"Kak Nai ingat ga saat Habibah bertanya tentang seorang pria yang ingin melamar wanita?" aku mengingat kembali pertanyaan Habibah, ingatan itu terlintas lagi di otakku.
"Kak Nai ingat"
"Dialah pria itu" aku menatap Habibah tak percaya.
"Dia adalah kakaknya Akbar"
"Apa?? Akbar?"
"Iya Akbar sahabat kak Habibi" aku mengingat lagi percakapanku dengan Akbar.
"Dia sudah menunggu kakak selama 6 tahun" aku benar benar tak bisa berfikir lagi, jadi yang dikatakan Akbar adalah kakaknya bukan temannya, mashaa Allah.
"Kak Nai, kakak menangis" aku menatap Habibah yang mengusap lembut pipiku.
"Waktu Habibah menikah juga merasakan apa yang kak Nailah rasakan, air mata tak henti menetes dan mengucapkan syukur didalam hati, dan berjanji pada Allah akan menjadi istri yang baik untuk suami Habibah, karna Habibah pernah membaca artikel yang mengatakan bahwa wanita yang melayani suami dengan sebaik mungkin adalah wanita yang dirindukan oleh syurga Allah" aku tersenyum pada adikku yang satu ini, tak terasa dia sudah tumbuh menjadi wanita yang begitu dewasa.
"Alhamdulillah, mashaa Allah" itulah kata yg berhasil aku ucapkan.
"Sebentar lagi dia datang kesini, sambutlah dia dan cium tangannya dengan lembut, inshaa Allah itu akan mengawali pernikahan kak Nai menjadi pernikahan yang diberkahi Allah"
"Amin, ternyata adik kakak sudah tumbuh dewasa"
"Semenjak ada titipan Allah disini Habibah selalu berusaha menjadi wanita yang dewasa seperti yang kak Nai sering katakan"
"Terima kasih Habibah, kak Nai sangat menyayangimu"
"Begitupun Habibah" aku memeluk Habibah dengan erat, mungkin kami tak akan sedekat ini lagi nantinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Inshaa Allah
SpiritualPercayalah pada Allah, maka tak akan ada lagi yg membuatmu kecewa.