Nailah pov
Aku turun dari taksi setelah sampai didepan rumah umi Zahra, aku berjalan perlahan, perasaan takut itu muncul lagi dalam diriku, kata kata Nazwa benar benar membuat hatiku begitu sakit, aku bahkan sangat takut, takut dengan kenyataan yg sebenarnya bahwa semua kata katanya benar.Tok..tok..tok..
Aku mengetuk pintunya pelan, air mataku kembali menetes, aku sangat merindukan umi Zahra, dialah satu satunya yg sangat mengerti keadaanku, namun saat ini apa dia akan mengerti.
Ceklek!!
Aku menatap kedepan saat kudengar pintu dibuka, aku terdiam beberapa detik saat melihat seseorang yg begitu aku rindukan, air mataku pun terus menentes.
"U..mi"
"Nailah" aku langsung memeluknya sangat erat, airmataku mengalir begitu deras sehingga membuat terisak dipelukannya, kurasakan dia membalas pelukanku begitu lembut.
"Benarkah semua itu umi, benarkah bahwa Nai anak haram?" aku terisak dipelukannya, kurasakan umi melepaskan pelukannya, tangannya mengelus pipiku pelan, aku pun menatap wajahnya, kulihat umi pun menangis.
"Semua anak yg lahir ke dunia ini adalah anak yg suci, tak ada anak haram didunia ini"
"Lalu, apakah semua perkataannya benar, bahwa ibuku seorang perusak rumah tangga orang lain, bahkan 2 rumah tangga yg dia hancurkan, apakah umi bukan umi kandungku?"
"Apa yg membuatmu berfikir seperti itu?"
"Karna umi Zahra tidak mungkin seperti itu" umi Zahra memelukku erat, kudengar isakan tangisnya.
"Tunggu lah disini" umi melepaskan pelukanku dan masuk ke dalam rumah, aku masih berdiri didepan pintu, memandangi al Qur'an yg masih aku pegang, tak berapa lama umi datang dan mengunci pintu rumah.
"Kita akan kemana umi?" ucapku, kulihat umi tersenyum.
"Nailah akan tau nanti, ayo" aku mengikuti umi dari belakang menuju kearah mobil umi, umi membukakan pintu mobil untukku, aku hanya menurutinya, akupun masuk dan duduk, kulihat umi menutup pintu mobil itu dan memutari mobil, umi duduk disampingku dan mulai menyetir mobil.
Aku kembali membuka al Qur'an itu dari awal, aku melihat sebuah tulisan kecil disana, kudekatkan al Qur'an itu untuk membaca tulisan itu.
"Muhammad Syauqi Al Roihan" ucapku pelan.
"Nama yg bagus" aku menoleh kearah umi, aku hanya tersenyum sedikit.
"Tadi sewaktu Nai didalm bis, seorang pria memberikan Nai al Qur'an ini, tapi saat Nai ingin mengembalikannya, dia bilang al Qur'an ini untuk Nai, padahal Nai bilang kalo Nai sudah punya al Qur'an seperti ini, tapi kemudian dia berkata "Bukankah sesuatu yg diberikan itu lebih sering digunakan meski kita sudah mempunyainya?" apakah itu benar umi?" aku melihat senyum umi yg begitu indah.
"Sangat benar, sama hal nya dengan kamu"
"Maksud umi?"
"Nanti kamu akan tau" aku diam dan kembali memandang al Qur'an itu.
"Kamu menyukai pria itu?" aku kembali menoleh kearah umi.
"Dia sudah mempunyai seorang istri umi"
"Bagaimana kamu bisa tau? apa dia sudah tua?"
"Dia masih sangat muda, sama seperti gus Dzaky" aku terdiam, teringat dengannya, apakah dia tidak akan menyukaiku lagi jika kenyataan yg dikatakan Nazwa itu benar, lalu bagaimana dengan Habibah.
"Lalu?"
"Saat di terminal tadi, dia dijemput seorang wanita, mereka kelihatan begitu bahagia"
"Hmm" aku melihat umi ku tersenyum sedikit.
Beberapa lama kami di perjalanan, kurasakan mobil berhenti, aku melihat umi turun dari mobil, aku melihat sekeliling tempat kami berhenti.
"Umi, untuk apa kita kesini?" ucapku saat kami berdua sudah turun dari mobil, kulihat umi hanya tersenyum.
"Ayo ikut umi" Umi mengajakku masuk, berjalan melewati pemakaman itu, aku seperti mengenali tempat ini.
"Umi, bukankah ini pemakaman yg sering kita kunjungi, untuk apa kita kesini?" ucapku saat kami berhenti setelah menemukan pemakaman yg memang kami sering kunjungi, meski selama ini aku tidak pernah tau itu siapa, tapi umi dan abi slalu menyuruhku untuk mendoakan mereka.
"Umi akan menceritakan semuanya, tapi umi mohon, setelah apa yg kamu ketahui nanti, kamu tetaplah Nailah umi, anak umi, jangan pernah goyah dengan iman kamu, umi menceritakannya saat kamu sudah dewasa agar kamu bisa memilah mana yg baik dan mana yg tidak baik, bisa kamu berjanji untuk menuruti kata umi?" umi menatapku dengan lembut, aku tersenyum padanya.
"Inshaa Allah" ucapku.
"Laura Aryani adalah ibu kandungmu" aku melihat kearah makam yg ada didepanku, kulihat nama yg ada di nisan itu sama dengan nama yg disebutkan umi Zahra.
"Dan disebalhanya Rian Al-Hafits dia suami umi kamu, namun bukan ayah kandung kamu" dada terasa begitu sesak, mataku terasa begitu panas, benarkah kenyataan ini, kurasakan tangan umi mengelus bahuku lembut.
"Dulu sebelum menikah dengan abi Daniel, umi pernah menikah dengan Rian, Rian adalah teman kuliah umi sewaktu masih di Medan, sama dengan abi Daniel, umi pernah pacaran dengan abi Daniel tapi itu sebelum umi berubah menjadi wanita yg sholeh, tapi umi hanya beberapa hari pacaran dengannya dia meninggalkan umi, meski kami pacaran tapi tak sekalipun kami pernah bersentuhan, saat itu umi sangat sakit hati, umi begitu mencintainya namun dia meninggalkan umi tanpa umi tau alasannya" aku menoleh kearah umi yg kulihat tersenyum sedih.
"Tapi semua itu menyadarkan umi, bahwa ternyata Allah cemburu pada umi, karna umi lebih mencintai dan mengharapkan Manusia daripada mencintai dan mengharapkan Yang Maha Menciptakan, umi sadar, dan saat itu juga umi merubah diri umi menjadi wanita muslimah sesungguhnya, saat itu juga umi tak pernah mengenal lagi yg namanya pacaran"
"Beberapa tahun berlalu dan umi lulus, kemudian umi pergi ke Bandung, melanjutkan S1 disini, dan bekerja di perusahaan om Fahri" aku mengingat om Fahri dan juga tante Vella yg tinggal disebelah rumah umi.
"Dan disini juga umi bertemu dengan Rian, dia begitu baik dengan umi, sehingga pelan pelan umi mencoba menerima semua kebaikannya, hingga satu tahun berjalan kami merencanakan untuk menikah, pada saat itu juga Daniel datang dan bekerja disatu perusahaan dengan umi" umi terdiam beberapa saat, kulihat air matanya mengalir meski ada senyum sedikit dibibirnya.
"Sakit hati umi yg dulu pun kembali lagi, tapi itu tak membuat umi memperdulikannya, umi mengacuhkan abi Daniel, hingga pernikahan umi dan Rian tiba disitu juga Laura datang dan umi tau bahwa Laura adalah mantan pacar Rian, dia meninggalkan Rian ke luar negeri dan kembali disaat pernikahan kami"
"Umi melihat Laura dipesta pernikahan kami, umi melihat dia berbicara pada Rian dengan menangis, umi sama sekali tidak tau apa yg terjadi hingga umi hanya bisa diam, setelah acara selesai, umi dan Rian menginap di hotel tempat acara pernikahan kami, umi tidak lagi melihat Rian yg begitu ceria, dia berubah menjadi pemurung dan pada saat itu Rian pergi keluar mengambil hp nya yg tertinggal, beberapa saat pergi umi merasakan ada perasaan yg tidak enak umi menyusul, dan disitu umi mengetahui semuanya, umi melihat Rian memeluk Laura, umi juga mendengar ucapan Rian yg berjanji akan menikahinya dan berjanji tak akan menyentuh umi sampai Rian menikahi Laura, umi kembali ke kamar dengan hati yg sangat hancur, meski begitu umi tak menyalahkan siapa pun, umi hanya berharap Allah memberikan kekuatan pada umi untuk bisa bangkit dan menjalani semua kenyataan ini" air mataku menetes begitu derasnya, dadaku terasa sangat sesak, betapa hancurnya perasaan umi Zahra saat itu, mengapa ibuku tega, aku memeluk umi Zahra yg kulihat begitu rapuh membuka luka lama itu lagi.
♥♥♥♥♥♥♥
KAMU SEDANG MEMBACA
Inshaa Allah
SpiritualPercayalah pada Allah, maka tak akan ada lagi yg membuatmu kecewa.