Part 17

10.1K 684 4
                                    

Nailah pov
Pagi ini aku sudah kembali ke pesantren, diantar umi dan abi, awalnya aku menolak untuk diantar, namun jika abi sudah berkata tegas, sulit untukku menolak, berbeda dengan umi yg justru lebih menuruti keinginanku.

"Ayo Nai" aku tersadar dari lamunanku, aku tersenyum pada umi yg sudah turun dari mobil.

"Baik umi" aku melangkah mengikuti umi dan juga abi.

"Assalamualaikum" ucap abi saat kami bertiga tiba didepan pintu, kulihat abi Rafi dan istrinya berjalan kearah kami, aku melihat diruang tamu ada gus Dzaky, Aliyah, gus Daffa, santri laki laki yg aku tidak kenal dan juga Nazwa, jantungku benar benar berdetak begitu kencang, entah kenapa aku merasa saat ini begitu takut.

"Nai"

"Eh, ehm iya umi, maaf" aku mencium tangan istri abi Rafi, dan menangkupkan kedua tanganku pada abi Rafi.

"Ayo masuk" ajak umi Aisyah, aku mengangguk dan tersenyum padanya, aku berjalan di belakang umi dengan menunduk.

Saat sampai dituang tamu, aku duduk diapit oleh abi dan juga umi, didepanku ada gus Dzaky, gus Daffa dan juga satu santri laki laki, di samping kanan ada Aliyah dan juga Nazwa yg kulihat wajahnya terus menunduk, disebelah kiri ada abi Rafi dan juga umi Aisyah.

Aku benar benar merasa sangat takut, kurasakan tangan umi memegang tangan kananku lembut, aku melihat kearahnya yg tersenyum padaku, aku membalas senyumannya, hatiku sedikit merasa tenang seolah senyuman umi Zahra adalah obat untuk hatiku.

"Saya sudah mendengar masalah yg terjadi melalui Dzaky" kudengar abi Rafi membuka suaranya.

"Sungguh saya sangat kecewa padamu Nazwa, kamu diajarkan untuk menjadi wanita muslimah, sudah seharusnya kita menutupi aib saudara kita sendiri meski kita membencinya karna itu lebih baik" aku sedikit mengangkat kepalaku dan melihat kearah abi, aku hanya berharap bahwa abi tak akan menghukum Nazwa, namun umi memegang erat tanganku, aku menoleh kearahnya dan melihatnya menggeleng pelan, aku kembali diam dan menunduk.

"Ma..af..kan sa..ya pak Ustadz" kudengar suara Nazwa yg terisak.

"Minta maaflah pada Nailah" suasana begitu hening beberapa saat.

"Maafkan aku Nai, aku tak bermaksud menghinamu, hanya saja aku lebih mementingkan ego, maafkan aku, aku menyesal" ucap Nazwa disela isakannya.

"Aku sudah memaafkanmu" ucapku tersenyum padanya.

"Terima kasih" aku tersenyum padanya, kulihat dia sedikit tersenyum meski air matanya terus mengalir.

"Dengar Nazwa, meski Nailah sudah memaafkanmu, bukan berarti kamu lepas dari hukuman"

"Saya siap diberikan hukuman apapun pak ustadz"

"Abi, maaf jika Nailah memotong, Nailah mohon jangan hukum Nazwa, disini Nailah juga salah karna Nailah meninggalkan pesantren tanpa ijin, kalau Nazwa dihukum maka hukum juga Nailah" aku melihat abi Rafi diam, sungguh hukuman itu tidak akan adil kalau hanya diberikan pada Nazwa.

"Abi, apa yg dikatakan Nailah benar" ucap abi Daniel.

"Baiklah, tidak akan ada yg di hukum, dan kamu Nazwa, saya akan mengembalikan kamu ke orangtua kamu jika kamu melakukan kesalahan lagi, apa yg membuatmu melakukan semua ini?"

"Maafkan saya pak ustadz, saya janji tidak akan mengulanginya"

"Lalu?" aku melihat Nazwa diam, sepertinya aku mengerti maksudnya.

"Umi, sepertinya Nazwa ingin hanya kita yg mendengar" bisikku pada umi.

"Abi, sebaiknya kita sudahi saja, toh Nazwa sudah meminta maaf dan berjanji tak akan mengulanginya, kami juga sudah memaafkan Nazwa" ucap umi Zahra.

"Hmm, baiklah, Aliyah silahkan jika ingin kembali, Daffa bawalah Naufal ke kelas"

"Baik abi, kami permisi, assalamualaikum" aku melihat Aliyah tersenyum lalu mereka bertiga pergi meninggalkan kami.

***

Aku membereskan barang barangku dikamar baruku bersama Aliyah, beberapa menit yg lalu abi dan umi pulang ke Bandung, dan Nazwa tetap tinggal di rumah abi Daniel.

"Nai, kenapa kamu tidak membiarkan Nazwa dihukum? Bukankah dia memang salah?" tanya Aliyah yg juga sibuk membantuku.

"Aku hanya tidak ingin masalah ini terlalu dibesarkan, aku juga sudah mengikhlaskan semuanya"

"Lalu mengenai perkataannya, apakah kau juga memaafkan itu? Kata katanya bahkan sangat menyakitkan untukku"

"Hmm, dia berkata benar Aliyah"

"Maksudmu?"

"Aku memang bukan anak kandung umi Zahra" ucapku sedih mengingat semua kenyataan pahit itu lagi.

"Nai" aku melihat Aliyah berjalan mendekatiku, aku tersenyum padanya.

"Nazwa itu adalah saudara tiriku"

"Apa?!! Bagaimana bisa?" aku melihat keterkejutan dari wajahnya.

"Awalnya aku pun tidak menyangka, namun itulah kenyataannya Aliyah, itu sebabnya aku tak ingin dia dihukum, aku sudah mengetahui semua kebenarannya kemarin saat aku pulang kerumah, meski begitu aku tak menyalahkan ibuku yg sekarang sudah berada disisi Allah, begitupun ayah kandungku yg juga ayahnya Nazwa, mereka semua udah pergi Aliyah" air mataku kembali menetes, Aliyah menenggelamkan kepalaku dibahunya, aku pun menangis dipelukannya, aku menceritakan semua kejadian itu padanya.

"Nai, maafkan aku" aku melepaskan pelukanku pada Aliyah, menghapus air pataku dan tersenyum padanya.

"Sudahlah, tidak apa, semua sudah terjadi, aku ikhlas Aliyah, meski aku tak seberuntung Nazwa yg kini masih mempunyai seorang ibu"

"Nai, justru kau yg lebih beruntung daripadanya, kau beruntung mendapatkan kasih sayang seorang keluarga yg utuh, bahkan sangat beruntung mempunyai ibu seperti umi Zahra, sampai dia rela memberikan asi nya padamu, kau beruntung mempunyai adik seperti Habibi dan Habibah, mereka semua menyayangimu Nai, bahkan mereka rela mengorbankan apapun untukmu, termasuk aku Nai"

"Aliyah" aku melihat senyum diwajahnya.

"Aku menyayangimu Nai, kau begitu mirip dengan adikku yg sudah tiada, sejak pertama melihatmu aku begitu kagum terhadapmu yg mirip dengan adikku, aku sangat menyayanginya Nai, dia pergi karna sakit kanker yg dideritanya sejak kecil, meninggal diusianya yg ke 10, keterbatasan ekonomi membuatku dan kedua orangtuaku tak bisa berbuat banyak, ternyata Allah lebih menyayanginya sehingga dia pergi, sejak itu aku bercita cita bahwa aku ingin sekali menjadi dokter agar aku bisa mengobati orang orang yg sakit"

"Jadikanlah aku adikmu jika itu mampu membuatmu bahagia Aliyah"

"Benarkah?"

"Bukankah sesama muslim adalah saudara?" kami pun berpelukan dan tertawa bersama, semua kejadian ini memberikan hikmah yg begitu indah untukku.

♥♥♥♥♥♥♥

Inshaa AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang