Masa orientasi siswa baru saja dimulai hari ini. Kami-para guru, masih kewalahan untuk mengatur ulang kegiatan agar semuanya berjalan lancar. Begitupun denganku. Aku yang menjadi seksi penanggung jawab masih berperan penting didalamnya. Termasuk mengurus semua siswa-siswa yang dianggap bisa merusak acara.
Decitan high heels yang kukenakan begitu terasa dibagian kaki bawahku. Rasanya lelah harus menuruni tangga naik turun berulang untuk memastikan semuanya berjalan normal. Siswa kelas sebelas dan dua belas masih dalam proses belajar dimana beberapa ruangan dipakai untuk mengospek siswa kelas sepuluh. Aku memang seorang guru, namun umurku baru menginjak usia 23 tahun. Dimana aku barusaja lulus S1 tahun silam dan mendaftar disekolah swasta yang muridnya memiliki keluarga yang ber-ekonomi tinggi. Menjadi guru disekolah ini harus ekstra sabar. Bukan hanya muridnya saja yang susah diatur, melainkan juga para wakil murid yang sering kali datang kesekolah dan menuntut anaknya diberi nilai bagus dimana sang anak-pun belum sanggup meraihnya.
"Yn!!"
'Damn, suara itu lagi' bukannya menoleh, aku mempercepat langkah. Aku tahu siapa yang memanggilku. Suaranya familiar. Begitu seksi dan menggoda untuk berbalik namun semua itu tak kulakukan.
"Yn.. gue pengin ngomong sama loe!!" Ia berteriak lagi. Sialnya dimana aku selalu bertemu dengannya dilorong tak ada siswa-siswa berlalu lalang disini. Aku heran mengapa ia selalu menemukanku diarea sepi seperti ini.
Langkahku semakin cepat, aku bisa mendengar pasti bocah itu mengikutiku. Kakinya tampak menandakan bahwa dirinya tengah berlari kearahku dan benar- hitungan ketiga dalam hati dan ia sudah menarik lenganku untuk berbalik. Membuat mata kami bertabrakan, matanya- indah itu..
"Justin.. aku bisa menghukummu untuk ini. Lepaskan!"
"Hukum saja kalau loe berani" ia menjulurkan lidah, tangannya semakin erat mendekapku.
"Justin.. sakit.." aku berulang kali berusaha melepas namun aku tahu, Justin takkan membiarkan itu.
"Beri gue waktu Sebentar saja, setelah itu loe bisa melanjutkan pekerjaan loe. Ok?" sialnya aku selalu lemah jika sudah dihadapannya. Justin, siswa ter-nakal, ter-kaya, dan ter-tampan disini merengek dihadapanku yang hanya menjadi guru bahasa perancisnya. Aku mendengus kesal dan mengangguk. Sedetik selanjutnya Justin menarikku untuk naik keatas atap gedung dimana ia selalu membawaku kemari setiap saat kami ingin berbincang. Bukan karena alasan, peraturan disekolah ini sangat ketat dimana para guru tidak diperbolehkan untuk dekat dengan seorang murid- apalagi lawan jenis, selain didalam kelas. Itu sebabnya Justin selalu memberiku ruang privasi. Ia tak ingin aku dipecat hanya karena dirinya.
Justin membantuku untuk naik keatasnya, aku melepaskan high heels yang kini kubawa ditangan. Menemaninya diantara angin yang mengibaskan rambutku menutupi wajah, aku merasakan terbebas. Justin.. yang selalu membuatku merasakan betapa indahnya pemandangan disini.
"Yn.."
"Ma'am" ralatku- dimana Justin dan semua murid dikelas memanggilku dengan sebutan itu.
"damn! Gue gak bakal manggil loe dengan panggilan super menjijikan itu. Loe itu gadis gue disini. Loe tahu itu kan?"
"Just.. aku bukan gadismu. Ayolah, hubungan ini tak bisa. Kau dan aku takkan pernah bisa untuk menjalin hubungan.
Ia mendengus kesal. Selalu. Justin marah ketika aku mulai sadar apa posisiku disini, ketika aku terus mengelak bahwa kami memang resmi berpacaran sekarang. Aku mencintainya, sangat. Namun baik aku maupun Justin takkan membiarkan siapapun tahu mengenai hubungan kami. Tidak- atau aku akan dipecat dari sini.
"Loe tuh ya selalu buat gue kesel tahu gak, loe tuh gak pernah ngerti kalo gue minta loe kesini karena gue butuhin loe saat ini. Ngerti?"
"Emangnya kamu pengin aku gimana?"
"Panggil sayang apa gimana gitu"
Aku terkekeh, terkadang aku juga selalu merasa bahagia bila didekatnya. Terkadang- saat rasa itu- ketakutan itu, semua sirna dipikiranku.
"Cepat atau lambat semua orang tahu hubungan ini. Dan loe gak bisa ngelak itu, ngerti?"
"Justin.. jujur aku gak suka kamu selalu bicara dengan logat loe-gue. Aku kurang nyaman"
"Lalu harus gimana? Maunya gimana? Dipanggil sayang? Atau cinta?"
Lagi- aku terkekeh. "Justin.."
"Aku suka senyummu Yn.."
Aku berbalik menatapnya, 'aku juga menyukai waktu saat bersamamu. Aku juga sangat mencintaimu Justin..'
"Hey.." ia menyadarkanku dari lamunan. "Loe tuh ya, gue udah belajar-"
"Ya-ya, aku tahu.. makasih udah mau mencoba belajar berbahasa yang baik. Aku menghargai itu Justin.."
Ia terdiam. Kuperhatikan ia membasahi bibirnya berulang dimana aku sadar tubuh kami semakin mendekat- dekat, aku menelan ludah berat. Jantungku berdetak begitu kencang, Justin yang terus memajukan tubuhnya mencoba untuk meraihku yang terus mengelak dan memberi jarak diantaranya.
"Yn!" Ia membentak dimana tangannya menahan punggungku untuk tidak lagi menjauh dari dirinya. Seringaiannya terbentuk hingga kurasakan deruan nafasnya menyapu permukaan wajahku, semakin dekat-dekat.. dan...
Justin menarikku cukup kuat, membuat tubuh kami tak berjarak lagi. Bibir kami sudah bertautan, dan Justin melumatnya perlahan. Aku menikmati itu, dimana tanganku yang tak terkontrol Justru meremas seragamnya untuk kugenggam dan mendekat lebih padaku. Rasanya nyaman dan hangat menyelimutiku. Badannya yang lumayan kekar melindungi tubuh mungilku dari terpaan angin diatap gedung. Justin yang masih bermain dalam ciumannya berhenti sejenak, ia memberiku jeda untuk bernafas sebelum akhirnya ia mendaratkan bibirnya untuk kesekian kali. Selama beberapa menit berlalu hingga aku dan dirinya sama-sama menjauh, keningku masih bersautan dengan keningnya. Hidungnya yang mancung menabrak hidungku hingga rasanya aku sulit bernafas. Aku merasakan Justin yang menarik jaket yang kukenakan untuk menutupi tubuhku lebih.
"Jam berapa lo-kau pulang?"
"Sekitar setengah dua. Kenapa?"
"Gapapa. Ntar gue jemput didepan gerbang. "
"Gak perlu, aku bisa naik kendaraan umum." Aku melepaskan tatapannya dan mencoba merapikan diri. Aku tak ingin siapapun meraih curiga padaku.
"Ayolah.. lo-kau ini pacarku, apa salahnya kalau gue nganterin loe sekali aja"
"Gak bisa, aku takut.."
"Gak perlu takut, gue gak gigit kok"
"Justin.." aku terkekeh sejenak.
Kudengar Justin menghela nafas kesekian kali. "Seandainya gak ada peraturan sialan seperti itu, gue bakal bilang kesemua orang kalau gue sayang sama loe, Yn."
"Meskipun gak ada peraturan seperti itu, aku dan kamu tetap takkan mendapat restu dari orangtuamu"
"Kata siapa?"
"Aku bisa menebak itu. Terlebih karena kelakuan bandelmu dulu, aku sering beradu mulut dengan Mom-ku dan juga Dad-mu. Tentu saja mereka takkan menyukaiku"
Kudengar suara tawanya yang begitu khas dipendengaranku. 'Oh Justin..'
"Loe tuh ya, sedikit-dikit berhipotesis yang seolah Papah Mamah gue gak bakal nerima loe. Udah sih gak usah pesimis, gue tetep bakal perjuangin loe apapun yang terjadi"
"Soal pertunangan itu?"
"Udahlah itu gak usah dibahas. Gue emang ganteng, jadi loe harus sabar ngadepin cewek macam Clara yang udah keburu Baper sama gue. Ew"
'dia memang tampan.. dia muridku..