Paginya aku terbangun, dengan sedikit paksaan, kusapukan mata kepenjuru ruangan. Aku sudah tak lagi didalam mobil, melainkan pada ruangannya mewah. Aku juga mendengar suara shower terpancur dalam kamar mandi.
"Justin?"
Tak ada sautan, airnya masih mengalir dimana bunyinya saling bertaut dengan lantai kamar mandi, dari balik kaca tebal kamar mandi, setengah tubuhnya terlihat samar. Justin disana, aku yakin dengan posturnya yang begitu mirip.
Aku kembali keranjang, mengamati sebuah nampan tergeletak tak jauh dari meja, diantara nampan itu, rotinya begitu menggiurkan. Tak berpikir lama aku menyomotnya untuk segera memenuhi perutku. Sejak semalam, perutku kosong.
Beberapa menit kemudian Justin keluar dari kamar mandi, ia sudah mengenakan boxer hitam selutut, menatapku dimana tangannya sibuk mengeringkan rambut dengan handuk. "Kau lapar ya? Semalam aku ingin membangunkanmu tetapi kau tampak begitu kelelahan"
"Dimana kita?" Aku menyelesaikan rotiku yang tinggal satu gigitan.
"Di kamar hotel, bukankah ini tempat kesukaanmu?"
Rotiku yang baru tersampai dipipi, menggelembung disalah satunya. Aku terhenti, langsung membidik Justin yang terkekeh karena ucapanya "kau pikir aku ini jalang? Sialan.." ujarku balas serius namun direspon Justin dengan tawa khasnya. Aku sendiri tak bermaksud marah.
"Rotinya enak?"
"Hmm.. pasti mahal, apa ini berlapis emas?"
"Kau ini.. tentu saja iya" lantur Justin semakin semrawut, aku tertawa mendengarnya. Kupikir mood Justin membaik pagi ini.
Justin bersiap, katanya untuk menemui Austin, well,kupikir hotel ini juga didapatkan Justin cuma-cuma. Toh aku masih teringat bahwa Austin memang pewaris Hotel dan Resort serta Villa ternama di NY yang bercabang pada seluruh belahan dunia. Ia memegang gagang pintu kamar hotel untuk menemui Austin di lobi, hingga akhirnya tubuhnya lenyap dibalik pintu.
Aku mendesah, menenggak air mineral didalam gelas hingga hampir kosong. Sepertinya aku memang kelaparan. Disela itu, kudengar ponselku bergetar.
Layarnya berkedut, seseorang memanggilku dengan nomor tak dikenal. Ragu-ragu, tetapi akhirnya aku mengangkatnya.
"Hallo?"
"Aku tahu kau disana dengan Anakku, kau memang kurang ajar." Suara berat seorang pria diseberang sana. Meskipun nomor asing, mendengar suaranya seolah mengulas kembali kejadian tadi malam, Jeremy menelponku.
"D-d-dad..."
"Jangan pernah panggil aku Dad! Aku bukan ayahmu! Ngerti?! Sekarang, beritahu aku dimana kalian!"
Suaranya membuat tubuhku menegang. Bibirku terkantup rapat. Sial, seharusnya aku tak mengangkat telfon ini.
"Mr.Wiliam dengan Mrs.Titania, kau tidak lupa dengan dua orang itu kan? Hm?"
Aku semakin membeku, otakku terus berfikir positif ketika Jeremy mulai memanggil nama kedua orangtuaku. Dad dan Mom, pasti baik saja disana. Tidak.. Jeremy tidak akan sejahat itu.
Dad Justin itu tertawa, terdengar jahat dan sadis meskipun hanya melalui telfon. "Tenang saja, mereka masih ada di Texas. Menjahit dan menanam anggur seperti biasanya, lumayan maju.. tetapi, bagaimana jika suatu saat nanti hancur? Maksudku, bangkrut? Oh tidak, tidak.. hmm.. bagaimana kalau.. tidak-tersisa-satupun?" Ia menekankan kalimat terakhirnya, aku mengerti, dan rasanya ketakutan menjalar ditubuhku, aku tak bisa seegois ini. Aku tak bisa menghancurkan mimpi Mom dan Dad hanya karena kepentinganku.
"Apa yang harus kulakukan?"
Jeremy lagi-lagi tertawa, seolah menang akan permainannya "temui aku di Cafée Bos 'A' tak jauh dari penginapanmu dan Justin. Ingat? Jangan sampai Justin tahu kau kemari.. kutunggu 5 menit, jika kau tak datang.. kau tau akibatnya" dan telfonnya langsung terputus secara sepihak.
Aku terpaku, bahkan Jeremy tahu dimana aku dan Justin sekarang. Aku langsung menghambur kedalam kamar mandi, mencuci mukaku dengan sekali gerakan cepat lalu bersiap berpakaian untuk keluar hotel. Menuruni tangga, aku melihat Justin yang tengah duduk berhadapan dengan Austin. Mereka sedang terlihat santai dengan perbincangan yang tak begitu berarti. Aku mengendap-endap keluar pintu luar yang berada diujung kanan restoran Hotel. Setelah melewati meja resepsionis, aku keluar gedung Hotel.
Menyelinap membawa beberapa lembar dollar yang kugunakan untuk menaiki Taxi menemui Jeremy, sopir Taxinya berkata Café ini memakan waktu 15 menit jika jalanan macet seperti ini. Bertanda sial untukku, aku menunggu dengan gerutu dihati. Berdoa pada Tuhan agar semuanya lancar. Aku mencintai Justin, tetapi bukan alasanku untuk tidak memikirkan nasib keluargaku sendiri. Terlebih, mengingat bagaimana bangganya Mom ketika Bisnis jahitnya mulai maju, atau Dad dengan perkebunan anggur yang makin berkembang. Ya tuhan..
Aku menyerahkan lembaran dollar itu pada sopir Taxi, menghela nafas panjang sebelum akhirnya masuk kedalam Cafée, kakiku terhenti ketika seseorang memanggil namaku.
Aku menoleh kesamping, dipojok dengan kaca Cafée, Jeremy duduk. Ditemani dua bodyguard berseragam hitam disisi kanan dan kirinya berdiri tegap. Ia tersenyum, bukan senyuman bersahabat pastinya.
"Duduklah, tak usah tegang seperti itu.." ia tampak ramah, namun aku tetap berhati karena memang inilah permainannya.
Aku berhadapan dengannya, Jeremy mengangkat tangan memanggil pelayan Café memesankan minuman untukku. Setelah pelayan berlalu, Jeremy menatapku.
"Jadi.. sudah berapa tahun kalian pacaran?" Tanyanya mengintrogasi.
"Dua tahun"
"Oh..." ia tampak tertarik, "apa dia memperlakukanmu dengan baik?"
"Ya."
"Oh tentu saja. Betapa bodohnya aku" tawanya kembali terdengar, aku sama sekali tidak bergabung didalamnya. "Apa kau mencintainya?" Tanya Jeremy lagi.
Aku mengangguk kecil, Jeremy yang seperti melecehkan menyesap minumannya yang tersedia diatas meja. Pelayan itu kembali datang dengan secangkir gelas yang ia letakkan didepanku. Ketika ia sudah berlalu, suasana kembali menegang.
"kau tahu kan, jika kau kemari, itu tanya kau siap mengambil resiko"
"A-a-apa maksudmu?" Jantungku yang sudah tak karuan itu disusul paru-paru yang mulai tak bekerja dengan baik.
"Maksudku," tangannya merogoh sesuatu, tepat disana. Sebuah amplop putih bersih digeserkan diatas meja mendekat padaku. "Biarkan Justin menikah dengan gadis yang sederajat dengannya"
Kutatap amplop itu dalam, mencekatkan kerongkonganku yang tiba saja mengering, menguras seluruh denyut nadi yang berdesir cepat dijantung, lalu tersesat diantara udara dalam paru-paru.
"Bukalah," pinta Jeremy.
Tanganku yang gemetar mencoba membuatnya, menyobeknya perlahan dan mengeluarkan isinya. Lagi-lagi, aku seolah ditikam pisau menembus hingga kepunggungku. Selama sedekit detak jantungku terhenti. Sebuah tiket pesawat dengan rute penerbangan NY-Texas ditanganku.
"penerbangannya siang ini, well kau masih ada dua jam untuk bandara. Jika kau mau.. jika tidak, ya anggap saja aku telah memutuskan pilihanmu."
Kutelan kelenjar saliva dalam-dalam. Apa maksudnya aku harus pergi?
"A-"
"Apapun yang kau katakan, aku tak peduli. Disitu ada beberapa uang untuk perjalananmu ke Texas. Jika kau menerimanya, itu berarti kau menyelamatkan bisnis keluargamu. Dan lupakan Justin, atau keluargamu hancur dan aku tak yakin, apa kau akan menikah dengan anakku" jelasnya semakin terlihat nyata.
Rasanya airmata sudah ingin membanjiri pipiku, aku menahannya, berulang kali menenggak salivaku untuk mengurangi kesedihan ini.
"Bagaimana?" Jeremy kembali bertanya. "Aku janji takkan menganggu hidupmu selagi kau tak lagi muncul dikehidupan Justin. Aku juga akan membantu bisnis keluargamu, membuat ibumu bangga. Kau tahu rasanya itu kan?"
Sial,senyuman Mom akan kesenangannya itu kembali berkelinang diotakku. Aku tak kuasa menahan airmata sekarang. Disisi lain, aku sangat menyayangi Mom, tetapi, mengingat bagaimana Justin berjuang tak kalah dengan itu. Aku mencintainya, aku tak yakin hidup tanpanya.
"Pergilah, kesempatan ini tak datang dua kali, aku takkan seramah ini jika kau sampai menolaknya. Dan aku jamin, kau akan tetap kukeluarkan dari daftar masuk dalam keluargaku" ancamnya lagi. Entahlah, aku masih berkecambuk. Aku mencintai Justin.. aku sangat mencintainya..