day-ten

888 54 0
                                    

Justin yang turut berjongkok mencoba membantuku. Aku bergegas mengambil semua buku itu namun dewi fortuna sedang tak berpihak padaku membuat Justin memaksaku untuk menatap mata karamel itu.

"Jawab aku ada apa denganmu" ucapnya tegas, jelas terlihat pemaksaan dalam kata-katanya disana. "Tidak ada! Lepaskan!"

"Tidak ada? Yn, gue gak buta dan gue lihat loe nangis dua detik lalu. Ayolah.. jangan coba bohongin gue"

"Denger Justin! Kau tak mengerti apapun tentang aku begitupun aku yang tak pernah mengerti tentangmu. Aku capek menjalani semua in. Aku-" semua perkataanku terputus seketika telingaku mendengar decitan langkah kaki dan tak lama Niall muncul pada tangga teratas. Mata birunya bak secerah langit itu mendelik melihat dengan siapa aku berhadapan. Niall memanggil nama Justin cukup lantang.
Justin berdengus.

Menoleh kebelakang, Justin tak memperdulikan itu. Aku berburu menghapus airmataku. Justinpun tak mengungkit-nya lagi, namun sedaritadi aku mendengar ia mengumpat tak jelas dengan tetap membantuku menumpuk beberapa buku tebal yang kubawa tadi. "Ada apa?"

"Sedang apa kau? Mencoba mengganggu guru wanita sekarang? Kau ingin memukulinya?" Niall yang terlalu over protektive padaku itu membuat cairan hangat mengaliri perutku, memualkanku.

"Aku tak apa Mr.Horan, Justin hanya membantuku karena buku yang kubawa tadi terjatuh kelantai. Jangan salah paham"

Kulirik Justin menyeringai pada Niall yang nampak kesal sekarang. Aku memang menangis karena Justin hari ini, namun bukan berarti karena masalah pribadi kami Justin harus diselesaikan hanya karena Justin tertangkap basah membantu gurunya memberesi buku yang terjatuh. Itu tidak masuk diakal. "Makanya dilihat tuh pake mata! Jangan asal nuduh orang, kaca udah tebel gitu kurang jelas apa" celetus Justin.
Niall mengerang.

Aku bangkit, mencoba menyeimbang dengan kedua tangan bertumpuk buku tebal. "Aku pamit dulu" berbalik dan meninggalkan keduanya. Aku takkan peduli lagi jika Justin akan memukuli guru matematika itu ataupun mereka saling membunuh. Aku sungguh tak peduli.

..

"Aku sungguh minta maaf Mrs.Mahone tetapi Austin memang harus terkena hukuman"

Lagi, ibu Austin menggebrak meja.

Baik aku maupun anaknya sendiri sampai terloncat. Austin sendiri sudah mengakui kesalahannya, namun orangtuanya mirip dengan orangtua Justin yang tak ingin disalahkan.

"Sekolah setan! Masalah sepele saja dibesarkan! Terserah kau apakan anakku, tapi kau tahu? Aku takkan mengikhlaskannya jika kau sampai menghukumnya sedangkan disini ada siswa Cassanova yang selalu berulah dan tak mendapat hukuman!" Ucapnya penuh menyidik. Aku jelas mengerti dimana dirinya tengah tertuju. Siapa lagi kalau bukan Justin. Sudah dua bulan lalu kasusnya tak pernah muncul dipublik meski kelakuan bejadnya sering menyeruak hingga keorang luar. Austin terus menerus menyuruh ibunya tenang dan kembali terduduk.

Mrs.Mahone bangkit setelah baru mendaratkan bokongnya selama beberapa detik dikursi, "dengar ya Yn, aku akan terus mengawasimu jika sampai Austin kau beri hukuman berat! Ingat itu!" Aku hanya mengangguk mendengar ucapannya, Austin yang tak enak hati padaku terburu membawa Ibunya keluar dari kantor. Keduanya terlibat keributan diluar ruangku, pening seketika kurasa dengan perlahan jari-jariku memijat pangkal hidung. Rasanya berat untuk bertahan disekolah Swasta seperti ini.

Tak beberapa lama ruanganku kembali terdengar suara ketukan dari luar. "Masuk"

Tampak tak asing denga poni yang mendatar serta rambut hitam lebatnya , gadis latin itu tersenyum ramah. Selena, mantan pacar Justin yang terkenal karena kepintarannya dibidang Saintek itu menghampiriku. Tak biasanya.

"Ada apa selena?"

Ia terduduk hingga bertatap muka, mata hitamnya memancarkan keramahan "aku mengganggu?"

"Tidak, ada apa?" Dalam hati terus menggumamkan untuk tetap bersikap wajar meskipun aku masih menyimpan rasa cemburu padanya, kuakui selena memiliki paras yang cantik. Model rambutnya yang baru saja banyak diikuti siswi lain disini dan berharap Justin akan melirik mereka-aku teringat pada Hailey, dengan potongan yang sama. Tak itu juga, caranya berbicara sangat dewasa dan bijak dengan siapapun lawan bicaranya akan sangat nyaman bersamanya. "Tidak ada apa apa Ma'am. Aku hanya ingin bertanya soal materi yang akan diujikan. Apa materi yang kemarin juga akan diikutkan?"

"Oh itu- kupikir tidak. Hanya sampai yang kutulis untuk tengah semester saja Selly"

"Oh ok, baiklah" ia mencatat sesuatu didalam buku kecil yang selalu dibawanya setiap saat.

..

Melewati koridor sekolah yang sepi siswa itu sedikit menyeramkan terlebih aku sendiri tidak menyukai hal-hal bergenre horor. Langkah samar terdengar dari belakang, seperdetik kemudian seseorang menarik lenganku. Aku meronta keras namun tangan kekarnya menahan. Dari aroma tubuh maskulin -nya sudah jelas siapa yang merenggutku dari koridor hingga punggung menghantam tembok keras.

Aku terpojok

Iris mata Jusin menatap tajam padaku, aku mengalihkan namun tanganya sigap menaikkan kembali kepalaku mendongak. "Ada apa denganmu? Apa karena Clara dia berbicara sesuatu?"

"Bukan apa-apa. " dustaku, menyentak tangannya kasar. "Jangan mempersulit pekerjaanku. Kau tak berhak atas itu"

"Apa?!"

Jelas suaranya menampakkan Justin tak menyukai hal itu. "Kau mempersulit pekerjaanku. Apa kau tak bisa mendengarnya? Kau tiba-tiba tuli? Dan apa selanjutnya? Buta, karena semua gadis disekolah ini menyukaimu? Begitu?" Rasa dalam hatiku berkecambuk, ada yang membakar disana hingga melikuk kedalam diafragma-ku, perih-sakit-hancur secara bersamaan.

"What do you mean sweetheart? Kenapa kau harus marah-marah tak jelas seperti ini?"

Nafasku berderu, berpacu dengan miliknya. Menyeruak sembari menatap dalam pupil matanya mencari tahu bagaimana reaksi Justin akan perasaan ini. Perasaan yang tak bisa ku jelaskan.

"Aku mencintai Justin"

Ucapan yang berputar dalam pikiranku terus menerus. Gadis bantinku berteriak frustasi, apa aku barusaja mencemburui Hailey? Aku sadar dimana dan apa posisiku sekarang, namun aku sudah jatuh cinta pada muridku sendiri.

Justin yang membalas tatapan itu mendekat, memiringkan wajahnya untuk melumat bibirku. Bukannya tetap diam, tanganku meremas kerah seragamnya untuk mendekat dan mencepat kecupan itu terjadi.

Aku membutuhkannya.

Semakin lama, menikmati ciuman mautnya yang membiarkan lidah kami menyatu, menyiptakan decakan yang membuat jantungku berdesir hingga dimana kupu-kupu dalam perutku bertebrangan tak tentu arah. Tanganku bergegas meraih rambut keemasan itu dan meremasnya perlahan. Airmata yang tak seharusnya keluar begitu saja mengalir tanpa kuperintah. Disinilah pertama kali aku merasakan kecemburuan dalam nyataku, kupikir aku memang sudah jatuh cinta padanya.

..

Justin pov

Setelah mengantar Yn pulang, aku bergegas melesitkan mobil kearah kantor. Perlu waktu setengah jam untuk sampai disana. Ditengah perjalanan, aku sibuk menelfon Benny-salah satu nanny-ku untuk menyiapkan pakaian formal ala meeting penting.

"Gue sampai dikantor kurang dari  sepuluh menit" telfon segera kumatikan dan kembali berfokus pada jalanan raya, persetan dengan seseorang yang membuat Yn menangis tak jelas hari ini. Mencium-ku hebat tanpa alasan. 'senang karena semua gadi disekolah menyukaimu?' Apa-apaan itu? Apa dia barusaja menyemburui seseorang? Tetapi siapa? Clara?

Mobilku terhenti.

Entah bagaimana pikiranku yang bercabang langsung menghentikan mobil didepan gedung kantor. Kulempar kunci mobil pada seorang satpam yang berjaga dan ia langsung mengerti akan tugasnya. Aku bergegas menuju kubikel lift menekan tombol 3 menunggu hingga pintunya terbuka lagi.

Teng

Pintu lift terbuka. Benny disana dengan Paperbag-nya berisi pakaianku. Aku tak menghentikan langka langsung menyambar, mengenakan satu-persatu pakaian tanpa terhenti sekalipun hingga kami berdua sampai pada pintu besar berlapis baja kuat dengan kenop pintu yang terlapisi perak,fuck-meeting again.

THE FEELING (YN-YOUR NAME)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang