"Mom.." Justin merajuk, tak sengaja pagi ini aku berpapasan dengan Mom Justin yang membuat bocah itu sampai merengek dihadapan ibunya. "Aku mohon jangan sakiti dia, aku mencintainya Mom.."
Karena cacian dari Pattie, aku menangis tak bersuara. Aku sadar siapa posisiku sekarang. Dan dugaanku benar. Mimpi buruk yang selama ini tak kuharapkan terjadi. Baru saja Pattie bertemu denganku, ia sudah melarangku habis-habisan untuk tidak lagi kerumah sakit hanya sekedar menemani Justin sekalipun.
"Kau ini sudah bersama Clara"
"what the hell..aku sama sekali tidak mencintainya" balas Justin sengit.
"Tapi Mom suka. Dan restu orangtua adalah segalanya untuk hidupmu kelak. Kau bersamanya, hidupmu takkan tenang" jari telunjuknya mengarah padaku. Aku semakin terpojok kini, tak sadar untuk melangkah keluarpun aku tak sanggup lagi. Bukan hanya terpaku, rasanya lantai menjadi penuh duri dan kata-kata yang mom Pattie lontarkan begitu menikam jantungku.
"A...aku.. permisi..."
Dan kini aku menghilang dibalik pintu, meninggalkan suara Justin yang tertelan setelah pintu kututup kembali. Aku lari sekencang yang aku bisa. Tapi faktanya, kakiku hanya melangkah cepat tanpa sedikitpun bisa dikategorikan sebagai sebuah larian dalam kalimat sesungguhnya.
Aku tahu. Aku tahu. Batinku memetik sebuah kesedihan yang nyata. Kesedihan yang seharusnya bisa membangkitkan api membaraku untuk kembali bersama Justin. Tetapi tidak, aku rapuh. Seolah pikiranku terus berputar-putar mengulang kata-kata itu. "Berpacaran dengan seorang guru? Kau gila! Lihat dia?! Apa yang menarik darinya?! Hah?!" Aku mengulang dengan raut wajah Pattie penuh amarah padaku, sesaat Justin menjelaskan tentang hubungan kami.
"Mom! Apa salahnya!"
"Jelas salah. Kau adalah pewaris perusahaan sepatu berkelas, jelas saja itu adalah kesalahan terbesar. Mom masih bisa menerima jika kau bersama Selena, tetapi tidak dengan dia"
"Mom!" Justin dengan suara yang naik seoktaf.
Bukan salahnya, karena memang aku juga akan tetap menanggung kesedihan ini. Dengan langkah sedikit tergotai aku berusaha untuk keluar dari rumha sakit dengan penuh luka yang tak terlihat kasat mata. Luka yang benar-benar dalam, sehingga aku sendiri takkan mampu menyembuhkannya.
Aku berdiri tegap menunggu bus yang lewat. Meskipun pada faktanya, aku kini ibaratkan secarik kertas yang akan terbang jika angin meniupku, terlempar tak tentu arah hingga aku terjatuh kesuatu tempat dimana yang tak pernah kuduga. Aku meringis merasakan mataku mulai memerah lagi. Ada penghalang dimataku yang seolah ingin turun membasahi pipi. Sekuat tenanga aku mengusapnya keras, tak peduli sedaritadi ponselku bergetar ditas.
"Nih" sebuah tangan mengulur padaku, menyodorkan selembar tisu yang membuatku harus menengadah untuk menatapnya. Shawn disana, dengan Jeans biru tua robek dibagian lutut serta kaos polo putih yang begitu menggambarkan betapa tubuhnya sudah terbentuk kini.
"Shawn?" Kuamati wajahnya dari samping, membuatku sadar bahwa ia lebih tinggi dari Justin. Aku hanya sebahunya.
"Ternyata kau ingat. Gadis mesum"
Aku mengernyit tajam, "gadis mesum?"
"Hmm.. setelah kau bercinta dengan sepupuku ditoilet, kau berusaja mengingatnya dibar malam itu. Bukankah itu namanya mesum?"
Ucapannya sukses membuatku malu bukan kepalang. Entah bagaimana Shawn bisa mengetahuinya, aku jadi teringat pada ekpresinya sesaat memergokiku kala itu. Ya ampun!
"Bagaimana-"
"Tentu saja aku tahu," ia seolah bisa membaca pikiranku. "Karena aku tahu siapa Justin. Ia takkan mencintai gadis sebesar ini. Melakukan pemberontakan hanya untuk gadis pengecut sepertimu"