day - 51

522 40 0
                                        

"Mengapa tak memastikan sendiri? Apa kau percaya begitu saja pada omongan mereka tak kau kenal?" Ucapannya menyidik, ada makna dibalik hanya membahas sebuah kantin rumah sakit.

"Tidak selalu seperti itu. Hanya saja, kali ini aku percaya dan nyatanya aku tertipu."

"Dan apa kau percaya jika nantinya Jeremy datang mengatakan bahwa aku sudah melupakanmu sedangkan aku disini?" Benar saja, tembakan ucapan itu sudah menjurus kedalam dadaku. Rasanya sesak, ada luka lama yang Justin korek kembali hingga menimbulkan luka basah disini. Aku terdiam. Lidahku kelu untuk menjelaskan. "Apa kau percaya bahwa aku bisa melupakanmu? Sedangkan kau sendiri tahu betapa kacaunya aku sekarang. Kau tega meninggalkanku lagi? Kau tega bermesraan dengan Ashton? Kau te-"

Aku menginterupsinya, "tidak! Aku tidak. Aku disini. Bersamamu"

"Untuk malam ini?" Keningnya berkerut dalam harap.

"Untuk waktu selama yang kau butuhkan Bieber"

Tangannya meraihku, mencoba mencium punggung tanganku diatas bibir lembabnya. "Aku mencintaimu Yn. Aku mohon jangan tinggalkan aku"

"Aku takkan meninggalkanmu, aku janji.."

Setelah percakapan, Justin merengek agar aku tidur diatas bangkar dengannya. Ia merindukanku, begitupun yang aku rasakan. Wajahku terbenam diatas dadanya yang kembang kepis. Begitu nyaman, tak ada satupun yang bisa menggantikannya. Ini yang kubutuhkan, ini yang kunantikan. Aku benar-benar merindukannya.

Justin masih terdiam, menikmati semua sentuhan antar kulitku maupun dirinya yang sering kali bergesekan. Merasakan aliran listriknya tercipta, Justin menatapku, ada kebutuhan yang sama. Tetapi keadaan memaksa kami untuk bertahan dalam balutan keinginan besar melakukannya malam ini.

"Aku merindukanmu.." suaranya serak, jelas tercetak bagaimana Justin mengontrol tubuhnya untuk tetapi diam bukannya merangsangku.

"Justin.."

Tangannya turun pada pangkal pahaku. "Aku tahu, tetapi aku tak bisa."

"Kau sakit. Sembuhkan dulu lukamu, dan kau bisa menyentuhku semaumu. Oke?"

"Baiklah.." ia mengecupku singkat, memberikan salam berpisah karena ia mulai terpejam. Mungkin obat tidurnya mulai bekerja, karena saat aku keluar ruangan, seorang perawat memberikannya obat tidur untuk malam ini. Tangan kanannya pun tak bisa digerakkan sama sekali. Tulangnya masih rapuh, dimana dokter menjelaskan bahwa perbuatan Justin sendiri yang membuat lukanya semakin parah. Kemungkinan besar, ia memaksa tulangnya untuk bergeser dengan kasar hingga sarafnya terjepit.

Damn. Aku menggeleng. Membayangkan saja membuat tubuhku lemas, aku sangat anti dengan hal seperti itu. Rasanya tulangku menjadi nyeri. Menatapnya, kini kedua mata karamel itu sudah terpejam. Aku diam-diam beranjak dari ranjang. Perutku keroncongan meminta diisi. Sedari Justin masuk rumah sakit, aku belum memakan apapun.

...

Paginya, aku berangkat bekerja tanpa berpamitan pada Justin. Melihatnya yang masih tertidur pulas membuatku tak tega. Dengan taxi rumah sakit, sepuluh menit aku turun didepan toko buku, sudah ada Kenny yang menemani Shift ku pagi ini. Ia menyapa, bisa kusimpulkan bahwa ia teman terbaik disini. Tak banyak bicara dan sering kali mengutarakan lelucon yang membangkitkan moodku.

"Apa aku telat Ken?"

"No, aku barusaja memulai"

"Oh begitu. Aku taruh tas dulu, setelah itu aku akan membantumu"

"Oke" jawabnya riang. Kembali berfokus membersihkan rak buku-buku dari debu.

Tak sadar sudah pukul empat sore, dimana shift kerjaku habis. Biasanya aku memulai shift malam, tetapi karena pertukarannya dimulai minggu ini, aku kedapatan shift pagi. Kenny sudah melambaikan tangan, ia dijemput oleh kekasihnya yang memiliki Moge seperti Ashton. Bicara soal Ashton, aku sendiri tak bisa membayangkan bagaimana menjelaskan semua ini. Untuk sekarang, aku masih menghindarinya. Dari mulai melarang menjemputku hingga menemuiku dirumah. Ini baik menurutku, dengan begitu Ashton leluasa mencari yang lain diluar sana.

Aku pulang kerumah. Mom menyambut.

"Kau darimana saja?"

"Aku dari rumah sakit. Temanku terluka dan harus dirawat disana. Dan sekarang aku harus kesana untuk menemaninya"

"Lagi?" Ujarnya heran. Aku yang sudah menaiki tangga hanya meneriaki untuk mengiyakan atas pertanyaannya.

Dikamar aku menyiapkan semuanya. Dari pakaianku, sampai makanan ringan yang bisa kubawa. Tak lupa ponsel dan dompetku. Kuikat rambutku asal sebelum keluar kamar. Mom bersilang dada pada anak tangga terakhir.

"Jelaskan, teman siapa dia?"

"Temanku Mom, ayolah.. jam 5 rumah sakitnya sudah ditutup."

"apa dia special?" Mom berharap, menatapku lekat. Tangannya menggenggamku. Aku belum menceritakan apapun soal Justin. Ia tak tahu bagaimana percintaan sulit ini yang membuatku terjebak.

"Mom.."

"Bagaimana dengan Ashton? Apa kau putus dengannya?"

"Tidak Mom.. mom, aku benar-benar harus pergi. Maafkan aku" kukecup pipinya bergantian. Melambaikan tangan sebagai perpisahan dan terburu keluar rumah "bye Mom!"

Di rumah sakit, aku langsung meluncur pada ruangan Justin dirawat, belum sampai masuk langkahku terhenti ketika menemukan sosok Ashton terduduk diantara deretan kursi panjang yang melingkar sepanjang koridor antar ruang.

"Ashton?"

Ia mendongak, menatapku dalam sendu. Dalam hati menjerit, mungkin ia sudah tahu kenyataannya. "Hey.." ia berusaha tersenyum yang bisa kubilang sebagai paksaan belaka.

"Hai, kau disini? Sejak kapan?"

"Barusan. Aku hanya kebetulan lewat sini saja, kau sendiri?" Ini pertanyaan menjebak.

"A-a-aku.."

"Biar kutebak, kau menemaninya?"telak. Aku berdiri kaku. Sialnya, seolah batu besar menikam kepalaku hingga tubuhku terhuyung. "Dia terluka cukup parah. Pantas saja kau khawatir." Lagi-lagi senyuman palsu itu terpancar.

Kutelan kelenjar saliva dalam-dalam, berharap semua ini hanya mimpi belaka. Aku seharusnya sadar dengan apa yang sedang kujalankan sekarang. Aku yang memutuskan untuk menemui Justin kala itu, aku tidak menyesal, tetapi aku juga tak memungkiri bahwa ini menyakiti hati Ashton. Apa hubungan ini akan berakhir sekarang?

Kini Ashton bangkit, menatapku dalam dengan matanya yang berlapis cairan bening itu. Entah mengapa aku ikut terbawa didalamnya. Seolah kesalahan terbesarku adalah menyakitinya dimana aku terus membohongi bahwa aku masih dan akan selalu mencintai Justin. Maafkan aku Ashton.

"Aku pulang. Jika kau ada apa-apa hubungi saja aku, oke?" Aku masih diam, melihat ia mencium keningku dan berlalu. Oh ya tuhan, bahkan ia tak mengakhiri hubungan meskipun Ashton tahu aku tengah bersama Bieber.. apa yang harus kulakukan? Batinku menjerit sendiri.

Punggungnya semakin menjauh, menghilang seiring berbaur dengan beberapa orang yang berlalu lalang. Rasanya dadaku sesak. Ada penyesalan ketika aku memutar kembali mengulang bagaimana bertemu dengan pria itu. Ashton berbeda. Ia begitu baik, mengalah dan selalu mengerti dengan keadaanku. Saat itu aku tengah kacau, pikiranku tertuju pada Justin dan dengan tenangnya Ashton menemaniku, tak peduli bagaimana aku terus mengusir sosoknya yang terus menerus singgah disisi. Dan kini, aku malah menyakitinya. Salahku, aku tak seharusnya menerima cinta suci ini. Aku mencintai Justin, dan mungkin akan selamanya seperti itu.

Langkahku mulai memasuki ruang. Justin disana, ia tersenyum seolah kekhawatirannya sirna ketika aku datang. "Aku pikir kau takkan kembali lagi"

"Jika memang seperti itu, apa yang kau lakukan?"

"Kabur dari rumah sakit dan menemuimu dirumah" jawabnya enteng. Ia sama sekali tak sadar betapa rapuhnya ia sekarang. Justin memang egois.

"Dasar bocah tengik, jika aku masih menjadi gurumu mungkin aku sudah mengeluarkanmu dari sekolah"

THE FEELING (YN-YOUR NAME)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang