Yn pov
Aku terjebak dalam ucapan Shawn dan Clara yang secara berulang berputar dalam pikiranku. Dan entah mengapa menjurus untuk mendorongku menghubungi Justin lagi. Sudah hampir setengah bulan berlalu, Justin dan teman-temannya seolah melepaskanku. Clara adalah orang di Graha's yang terakhir kutemui. Setelah itu, aku merasa begitu terasing.
Aku tinggal disebuah kota yang masih berhubungan dengan Ny namun begitu jauh dari jangkuan Justin dan lainnya.
Malam ini, Nathan menghubungiku, bukan apa-apa, ia sudah akhir-akhir ini kemari. Dan dia adalah satu-satunya pria yang mengetahui tempat tinggalku saat ini.
"Kau dimana?" Aku akhirnya berucap setelah menunggunya begitu lama disebuah Halte bus dengan cuaca yang dibilang buruk. Sudah belakangan ini NY dilanda cuaca yang begitu manekik, panas terik disiang hari dan dingin disertai hujan dimalam hari.
"Sebentar lagi. Kau tunggu saja diapartementmu"
Gila saja. Batinku protes. Aku sama sekali pantang membawa laki-laki manapun memasuki apartementku. "Aku tunggu saja disini."
"Aku terjebak macet. Jika nanti aku sudah segera sampai, aku akan menghubungimu. Sungguh"
"Tap-"
"kumohon kembalilah pada apartementmu. Aku akan kesana"
Kuhela nafas panjangku serentak. "Baiklah. Aku tunggu diapartement. Hubungi aku saja oke?"
"Oke" dan kami terputus. Bagaimanapun juga aku takkan membiarkan Nathan masuk kedalam apartementku, terlebih kami hanya berdua disini.
Justin pov
Gadis itu berbalik, kali ini menelusuri jalan yang lebih sempit dan akhirnya masuk kesebuah gedung yang lumayan kumuh. Apartement dengan kelas rendah, mungkin biayanya yang paling murah dikota NY. Dengan hati-hati, aku keluar mobil yang kuparkirkan jauh dari apartementnya, mengendap-endap mengikuti Yn yang kini naik melalui tangga ke lantai dua. Diantara beberapa ruangan, ia membuka satu yang paling pojok dan aku segera berlindung pada dinding tembok pembatas ketika ia berbalik badan untuk mengunci pintunya kembali.
Entah apa yang telah ia tunggu malam ini. Yn sudah menungu dihalte bus yang kukira akan pergi kesuatu tempat namun nyatanya ia kembali pada apartementnya. Sudah seminggu ini, aku mendapat informasi dari Aaron mengenai Yn dan tempat tinggalnya. Ia meminta maaf berulang karena Yn sama sekali tak berhasil dirujuk untuk berada didalam jebakannya yang akhirnya tersambung menemuiku.
Aku tersentak ketika sadar decit langkah menaiki tangga lebih mendekat. Panik, aku mengumpat disebuah pot bunga besar yang jaraknya didepanku. Pria itu celingukan, aku terkejut karena yang kuihat tidaklah asing, Nathan.
"Kau dimana?" Ucapnya tepat dihadapanku. Matanya mencari-cari ruangan tanpa sekalipun menoleh pada bawah pot dimana aku bersembunyi. "Baiklah.."
Nathan kembali melangkah, hingga akhirnya ia mengetuk ruangan dimana Yn berada. Tak lama, Gadis itu membukakan pintu, aku yang mengintip dibalik dedaunan pada pot mengamati mereka. Nathan yang sempat mengulurkan pelukan sesaat membuat mata Yn mendelik dan membuat kepalan tanganku terbentuk. Mereka tertawa, masih diambang pintu, dimana aku malah tak sengaja menghantam pot bunganya dengan tangan yang terbuat dari semen itu, membuatku menjerit. Keduanya menoleh pada sumber suara.sialan.
"Siapa?" Nathan berteriak.
Aku mencari akal untuk mengelabui mereka. "Meongg!" Sunguh bodohnya hingga aku malah menyerupai suara kucing yang tampak begitu ketara seperti kucing gadungan atau lebih tepatnya kucing garong.
Nathan kini mengangguk tak jelas. Seolah tak peduli. Ditatapnya kembali Yn, dengan berdebatan kecil disana, mereka masuk kedalam. Yn menatap kearah pot lagi sebelum menutup pintunya sempurna.