Clara yang kelewat bawa perasaan langsung menyandarkan kepala pada pundakku, tak lupa juga mendaratkan bibir singkat kearahku. Aku yang sedaritadi menahan untuk tidak memuntahkan isi perutku diam-diam mengamati Yn. Ia membantu Horan sialan itu membersihkan kemejanya karena ulahku. Tidak sampai situ, Yn menyentuh tangan si guru tua itu untuk tidak melabrakku. Aku memutarkan bola mata seraya mengusap pangkal kepala Clara lembut, bermaksud untuk membuat Yn cemburu. Namun Yn malah seolah acuh dan terlihat menikmati waktunya dengan si guru tengik itu. Aku semakin panas, ditambah telingaku harus mendengar ocehan dari Cody dan Austin yang bergabung. Aku juga tak melihat Hailey. Andai saja Gadis itu ada, aku sudah menyuruhnya untuk bergabung dengan Yn sekarang. Terlebih Clara meletakkan jari-jari dengan kuku panjang berwarna itu diatas dadaku. Aku benar-benar ingin muntah sekarang.
"Clara.. aku harus pergi" aku menyingkirkan tubuhnya yang begitu memberatkanku.
"Kenapa?"
shit.suara yang menurut para pria disini adalah terimut bagiku adalah suara setan yang barusaja keluar dari neraka. Benar-benar sial, terlebih aku melihat Yn tertawa bersama Horan saat ini. Aku semakin memendam emosiku untuk tidak meninju Clara yang merajuk disampingku untuk tetap tinggal.
"Clara! Aku bilang tidak ya tidak!" Aku akhirnya membentak. Clara yang begitu terkejut begitupun yang sekelompok dengan mejaku berhenti berucap. seluruh penghuni Caferia pun seolah hening karena ku. Clara menegapkan duduknya dan tidak menyentuhku lagi. Cukup dengan dramanya dan Aku pergi.
"Justin! Kau mau kemana? Aku dengar Aaron barusaja sampai dibandara."
"Urusin aja sendiri tuh Aaron. Gue ogah, mending pulang." Aku yang berucap sambil berjalan. Tak lupa memberikan sebuah tatapan sinis pada Horan maupun Yn.
'Ingat saja tanggal mainnya Horan, loe bakal habis ditangan gue'
aku yang barusaja sampai kerumah, tak mendengarkan Mom yang terus berucap dibawah mengenai masalahku dan Grey yang jelas-jelas bukan salahku. Aku membanting pintu kamar dan merenungkan diri.
'Kenapa gue sampe suka sama loe Yn! Kenapa! Kenapa loe ditakdirin jadi guru gue!'
Menatap langit kamar, aku merasakan kebingungan yang sangat luar biasa. Aku ingin tak hanya kami yang tahu bahwa baik aku maupun Yn saling mencinta. Aku ingin seluruh dunia tahu bahwa hanya Yn-lah yang membuat sosok monster didiriku hilang. Tapi apa? Menyapanya disekolah-pun tak pernah. Satu-satunya alasan aku selalu berbuat onar adalah untuk membuat diriku ini semakin dekat dengannya, membuatku mempunyai alasan untuk bersamanya.. sebagai murid dan guru. Memilukan.
Tak ingin merenung, aku meraih ponselku. Lebih baik menjemput Aaron dan mengajaknya ke Club bersama Austin dan Cody juga akan menyenangkan.
Yang ditelfon mengangkat. "Dimana Loe?"
"Gue otw jemput Aaron"
"Gue nyusul"
Yn pov
Aku tak menyangka Justin setega itu denganku. Aku terus mengelak untuk tidak merasakan kecemburuan berlebih karena kedekatannya dengan Clara siang tadi. Aku hanya tak habis fikir untuk bermesraan dengan Clara dihadapanku seperti tadi. Meskipun aku pacar gelapnya, aku memiliki perasaan. Aku ingin menangis, namun aku tak memiliki alasan untuk itu. Lagipula, Justin dan Clara memang sudah bertunangan. Cepat lambat aku akan menerima undangan mereka dan hadir disana. Bukan sebagai mempelai wanita, melainkan hanya sebatas tamu.
Jam dinding mulai menunjuk pada angka dua belas. Bukan hampir malam, namun ini sudah tengah malam. Aku masih terjaga, pikiranku bercabang. Mom dan Dad menginginkanku untuk pergi ke Texas minggu depan karena Sepupuku menikah. Namun aku mengingat bahwa aku memiliki rencana yang sudah kubentuk dengan Justin sedari kami berpacaran untuk menuju Seatle dan berlibur disana. Lagipula sebentar lagi liburan sekolah tiba. Aku bingung memilih yang mana, Justin akhir-akhir ini tak menanyakan soal liburan kami tempo hari lalu, aku takut Justin melupakan hal itu.
Tak sampai disitu, aku juga harus meminta ijin pada ibu Thomas-anak yang kujaga dari aku pulang bekerja hingga ibunya, Caity pulang. Rasanya kepalaku ingin pecah. Disaat bersamaan aku mendengar seseorang mengetuk pintu, semakin keras. Aku bergegas turun dari ranjang dan membukakannya.
Bukannya sambutan yang kudapat, melainkan tubuhnya yang terjatuh padaku. Aku sekuat tenaga membuatnya tetap berdiri dengan sedikit menyeretnya masuk keapartemen. 'Bocah tengik..'aku langsung mengerti siapa dia, bisa kucium dari aroma tubuh dicampur dengan alkohol yang menyengat.
"Justin! Kapan kau tak mabuk lagi!" Aku mengoceh dengan menjatuhkan tubuhnya susah payah keatas ranjang. Justin yang tak sadarkan diri karena alkohol itu hanya bisa mengigau tak jelas.
"Gue..-.." diiringi dengan batuk kecil disana, ucapan Justin terpotong. "Yn.. kenapa loe.."
"Uh.."
"Yn.."
Aku berusaha melepaskan sepatunya serta seragam yang masih ia kenakan. Rambutnya yang berantakan, Justin memiringkan tubuhnya berulang kali dengan tetap mengigau.
"Aku sayang kamu Yn.."
Entah mengapa ucapan itu membuat senyumanku mengangkat. Aku sadar bahwa bocah ini telah jatuh cinta padaku, dimana aku menemukan bahwa saat orang tengah dalam kondisi mabuk ia akan mengucapkan apapun bentuk keluhan hatinya yang sebenarnya. Dan aku harap itu adalah benar adanya, karena aku juga terlanjur untuk jatuh cinta padanya.
"Yn.."
"Hmm.."
"Gue benci liat lu sama Horan.."
"Gue benci!"
Dalam hati kecilku menjerit, kata-kata nya menyayatku. Aku merasa dia juga merasakan hal yang sama saat aku harus melihat dirinya bersama Clara. Aku tersadar mungkin sikapnya tadi siang adalah bentuk ketidaksukaannya pada Niall.
'Justin..'
"Yn..hmm.." kulihat ia sudah memejamkan mata sepenuhnya, sepertinya alkohol yang memengaruhinya cukup besar. Dan aku tak tahu bagaimana Justin bisa kemari seorang diri. Dia memang masih kekanak-kanakan dengan sikap nakalnya namun Justin bukan pria yang bodoh untuk membiarkan yang lain tahu soal hubungan ini.-tidak.
Aku bangkit dari ranjang untuk keluar kamar serta membawa kunci mobilnya yang terparkir diluar. Dan benar saja, Justin masih membiarkan pintunya terbuka. Aku memarkirkannya hingga sempurna dan menguncinya sebelum naik kelantai atas apartemenku. Nafasku agak terengah karena kebetulan lift masih rusak dan harus menggunakan tangga darurat untuk naik kesana. Aku mengunci apartemen sebelum akhirnya kembali kedalam kamar. Justin masih disana, terdiam dalam tidur lelapnya karena pengaruh alkohol. Diam-diam aku terhayut dalam menatap wajahnya yang begitu sempurna. Justin yang masih bergerak tak tentu arah terlihat gelisah. Melihat ponselnya bergetar, aku meraihnya mendapati bahwa Clara-lah yang menghubungi Justin. Aku meletakkan kembali ponselnya dan membiarkan hal itu berulang kali. Clara sepertinya mengkhawatirkan Justin. Namun aku juga tak bisa mengangkatnya karena aku hanyalah kekasih gelap Justin. Tidak lebih dari itu.
Kurebahkan diri disampingnya, membiarkan Justin memeluk tubuhku dalam keadaan yang belum stabil. Dalam hati aku masih bersyukur untuk malam ini bersamanya, melepaskan semua kemarahan yang kami hadapi bersama. Aku lelah, aku mencintainya dan semuanya selesai. Aku tertidur dalam pelukan hangat-nya dibawah selimut yang sama.
..
"Aku mau yang itu.." Thomas merengek meminta dibuatkan sereal untuk sarapannya. Aku kewalahan karena aku lupa untuk menyedikan yang baru untuknya.
"Maafkan aku sayang, tapi ini habis. Aku buatkan waffle oh?"
Ia menggeleng. Tak biasanya Thomas seperti ini. Semenjak pagi saat Caitlin mengantarkan Thomas kemari, Moodnya semakin memburuk. Semua yang kulakukan selalu salah. Aku sendiri tak tahu mengapa.
"Ayolah Thomas.. tak biasanya kau seperti ini"
Disaat bersamaan Thomas berbicara, aku mendengar suara pintu kamarku terbuka. Dan Justin berdiri disana. Matanya sayup, tangannya meraih ambang pintu agar tidak goyah saat tubuhnya hampir setelah miring. Kudengar ocehan mungil dari Thomas semakin cepat dan kutahu akan terjadi perang kedua setelah ini.