Yang menjadi objek perhatianku tak berkeming. Ia terdiam ditempat. Airmata yang menjadi saksi pertemuan kami menjelaskan semuanya, dalam hati menyumpahi diri untuk tidak berada disisinya. Rasanya memutar hingga saat ditaman dan perkataan itu yang terus membawaku dalam sebuah mimpi diatas kenyataan. Seandainya aku bersamanya, mungkin ia takkan seperti ini. Tau saja, aku mengangkat telfonnya, aku barangkali bisa membuat Justin menunda keberangkatannya dan ia takkan seperti ini.
Kembali, aku menyesal. Beribu satu pertanyaan berkecambuk didalam hatiku. Menyesal karena semuanya terlambat, menyesal karena aku yang selalu membentaknya saat malam dingin menghujam kulitku di Atlanta, menyesal karena tak pernah membiarkan Justin menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya; baik Selena maupun hubungan kami sebenarnya.
Aku terpaku. Mungkin saja airmataku sudah membanjiri bajunya yang langsung menempus kulit permukaan pada dadanya. Aku begitu terpukul. Justin sama sekali tak bergerak, saat aku mulai menggerakkan bahunya, kencang, ia tak bergelimang. Masih diam, matanya terpejam. Begitu nyenyak dalam tidur panjangnya. Austin menarikku menjauh, dimana Cody kembali meletakkan selimut hingga menutupi sampai dada Justin. Tak sengaja aku sudah memaksa Justin untuk terbangun.
Dalam berontakanku keras, Austin membawaku keluar kelas. "Sabar! Kau dengan aku kan?! Sabar. Kau harus tabah. Aku juga tak mau seperti ini" bentakannya pertama padaku pecah, tak lagi mementingkan statusku sebagai siapa disini. Austin benar-benar emosi. Ada lapisan bening yang melapisi matanya yang memerah. "Kau tahu dia akan sadar" dan ia berbalik, mengusap dengan lengannya kasar. Austin menangis.
..
esoknya, Cody memaksaku untuk menginap di paviliumnya. Tak ada alasan menolak, karena jika aku tetap bertahan dirumah sakit membuat keluarga Justin semakin penasaran dengan sosokku. Terlebih Clara yang mungkin kutemui nantinya. Didalam kamar, aku mendengar teriakan Cody dari lantai bawah yang menyuruhku agar mandi dimana dirinya akan menemui kekasih sebelum kerumah sakit.
"Baiklah.."
Ujarku seraya memasuki kamar mandi.
Justin pov
Membuka mata, membuat pandangan yang sedari tadi tampak mengablur kembali sempurna. Menoleh kesamping,Aku menemukan wajah yang tak asing dihadapanku, ia terlelap dengan wajah menempel pada punggung tanganku yang tertancap infus. Sosok yang selalu menjadi tameng untuk hidupku, sosok yang selalu membuatku hidup, sosok yang menguatkanku, sosok yang mebuatku berada didunia ini,Mom.
"M....om" suaraku tercekat.seperti ada yang tersangkut dikerongkonganku. Ia terkejut hingga membuka mata cepat, lagi-lagi seolah tak menyangka bahwa dirikulah yang memanggilnya. Mom histeris, menekan tombol diatas bangkar yang tersambung pada dokter jaga disini.
Aku sendiri bisa menembak dimana aku berada. Terlebih suara detak jantung disamping bangkar semakin membuat diriku menyipitkan mata. "Sayang.. kumohon jangan pikirkan macam-macam dulu.."
"Oh Justin.." sudah berulang kali ia mengecup tangankku, mengucap syukur berulang. Aku tersenyum samar yang tertutupi dimana mendapati Clara yang barusaja muncul dari balik pintu.
"Justin! Omg!" Mom mempersilahkan Clara memelukku erat. Aku tak membalas, ia menangis didadaku. Dimana pikiranku melambung pada Yn, seolah mengingatkanku pada sosoknya. Seandainya saja, Yn yang melakukannya... "aku senang kau sudah sadar"
Aku masih bungkam, meskipun otakku sudah berputar berjuta pertanyaan yang tak enyah sedikitpun.'sadar?'
Tak lama dokter jagapun datang. Clara dan Mom menyingkir kesamping mempersilahkan beberapa perawat yang memulai mengecek kondisiku. Setelah dokte mengatakan aku baik-baik saja, Mom tampak lega.
