Malam ini Dad pulang, aku begitu gembira menyambutnya. Selain ia membelikanku sebuah baju, ia juga membawakan beberapa kue dengan top brand tercetak dikardusnya. Sekarang aku mengajaknya untuk makan malam bersama. Ini menyenangkan, aku duduk disampingnya dimana Adele berada dilain sisi Ayahku. Adele sama dekatnya dengan Dad, sedari kecil Adele memang sering kemari. Aku sendiri menyukai anak kecil, itu sebabnya Adele juga sering bermain disini.
"Itu bagus.." komentarnya pada Dadku saat pria itu menunjukkan sebuah mainan diponselnya. Adele yang tengah makan itu bersusah payah memotong daging asap yang telah Mom masakkan.
"Benarkah? Kau suka?"
"Hmm.. aku suka."
Tangannya yang mungil masih meraih genggaman garpu serta pisau kecil dengan tugas masing-masing. Dad membantu, membuatku sedikit tersenyum bangga padanya. Entahlah, Dad adalah sosok sangat kukagumi, selain bijak, ia begitu menjiwai sebagai orang tua yang penuh perhatian dan kasih sayang.
"Oya Yn, ayah dengar kau pergi beberapa hari untuk menemui temanmu. Siapa dia?"
Tanya Dad tanpa memandang. Ia sibuk membantu Adele. Untungnya pertanyaan itu terlontar saat Mom tak ada disini. Aku tahu, Dad tengah membicarakan Justin.
"Iya, dia sakit Dad. Aku tak tega"
Dad tertawa renyah, "dad tahu, kau sama seperti ibumu. Tak bisa membiarkan temannya begitu saja. Apa dia special?" Ujarnya lagi menelakku. Aku menengguk saliva dalam-dalam, mencoba bersikap wajar meski dalam hati jantungku sudah tak karuan.
"Mungkin.."
"Mungkin?" Mata kami bertemu. Satu hal yang selalu dilakukan, dan kali ini tampak berbeda. Aku merasakan untuk pertama kalinya dalam sejarak hidupku segugup ini didepan ayahku sendiri. "Mungkin bagaimana? Bukankah kau dengan Ash-"
"Dia kemari. Aku menyukainya, dia tampan. Jika Yn putus dengan Justin, maka aku akan memacarinya. Kau dengan Ashton saja" Adele ikut bergabung dalam percakapan. Aku memejamkan mata. Memaki Justin dalam hati yang berisi kekesalan karena memberitahu Adele mengenai dirinya. Damn.
"Justin ya?" Dad tertawa, tidak seperti marah atau kesal. Tetapi yang kutangkap hanyalah sebuah ledekan semata. apa Dad juga akan kontra dengan Justin?
"Hmm.. aku suka rambutnya, suka caranya senyum dan cara berjalannya. Dia mirip seperti ken"
Telak Adele dengan penjelasan super polosnya. Ken? Yang benar saja. Pasangan Barbie yang digambarkan sebagai pria bertubuh sempurna? Apakah Adele benar? Karena inikah aku tak bisa moveon? Clara, Selena,Becky, ataupun mungkin mantannya yang lain juga sama sulitnya denganku?
Dad semakin keras menyuarakan kemenangannya. "Oh begitu ya.. pantas saja putri Dad sampai Blushing seperti itu"
"Dad!"
Satu hal lagi yang tak kusangka, Dad dinyatakan pro dengan Justin. Bahkan Dad tak tahu bagaimana keadaan Justin membuat Mom bersikap dingin beberapa hari belakangan denganku. Alasannya masih tak jelas, yang yang kutahu, Tamparan itu menggambarkan semuanya.
..
Pagi harinya , aku membantu Dad menyirami tanaman depan rumah. Sedaritadi aku mengecek ponselku dan sadar Justin tak mengabariku sama sekali. Kemana dia? Adele yang berpamitan pulang semalam begitu membuatku kesepian. Hari ini adalah hari bebas. Dimana Mom dan Dad ku berada dirumah sepanjang hari. Disaat Mom bersandar pada Dapur dengan pekerjaannya, aku lebih memilih bersama Dad dengan kerjaan yang tentunya lebih berat. Selain merawat tanaman, Dad juga mengecat rumah dan membenarkan beberapa kabel. Aku suka dengan pekerjaan ini. Dad tak suka mengeluh seperti Mom, Dad lebih memilih aku untuk melihatinya saja ketimbang campur tangan.
Ditengah pekerjaan kami sama dialihkan oleh suara motor yang terparkir dihalam rumah. Saat mendapati pria diatas motornya, aku sontak terkaget. Bagaimana tidak, Justin dengan santainya melepas Helm dan mendekat. Dad yang tadinya mengecat rumah berhenti, memandangi pria itu dengan sekuntum bunga digenggamannya. Apa itu untukku?
Aku siap-siap memusnahkan soal bunga ditangan Justin. Aku lebih mengkhawatirkan sosoknya yang akan membuat Mom kembali merajuk.
Justin dihadapanku, berjabat tangan dengan Dad yang sama ramahnya. Justin begitu sopan, yang membuatku semakin terpesona. "Saya Justin, teman Yn. Lebih tepatnya.."
"Teman dekat. Oke, Dad sudah dengar dari Adele"
"Dad!" Aku merasa ditertawakan oleh Dad yang meledekku.
"Ya, begitulah Dad"
"Ya, saya ayah Yn. Ini bunga untuk putriku?" Ujar Dad yang langsung to-the-point. Membuatku terkejut sekaligus malu. Tak seharusnya Dad menanyakan hal memalukan itu.
"Oh iya, saya membelikan ini untuk putrimu. Mohon diterima"
Dad menerima kuntuman bunga mawar merah tanda cinta yang langsung ia berikan padaku. Senyuman jahilnya terbentuk. "Putri Daddy sudah dewasa.. ya sudah Dad tinggal kalian saja" diacaknya rambutku perlahan. Aku menjerit. Tahu sendiri, tangannya begitu kotor dengan Cat.
Belum Dad masuk kedalam rumah, Mom sudah keluar. Matanya terbelalak melihat Justin. "M-m-mom.." suaraku terbata, takut, dan cemas bersamaan.
"Ada apa ini?"
Dad mengamati Mom yang mendekat, mengambil bunga dari Justin yang ia jatuhkan kasar keatas lantai.
"Dasar anak kurang ajar. Apa tamparan kemarin kurang dimatamu! Heh! Jangan ganggu Yn! Dia sudah memiliki kekasih!" Mom kelewat emosi, raut wajah Justin langsung turun menjadi sedih, menunduk menerima kata perkata yang menyayat hatinya.
"Mom.."
"Sudahlah, lagipula Yn dan Ashton baru pacaran. Bukannya dulu, kau juga memiliki pacar saat aku datang?" Dad menengahi.
"Tapi Wil-" Dad memotong ucapan Mom, "sudahlah, biarkan mereka berdua. Toh, Yn masih berhak memilih. Dia seorang wanita. Apa salahnya ada pria lain yang mencintainya, mungkin Justin lebih baik?" Dad membawa Mom kedalam rumah. Mom yang sepertinya tak rela meninggalkanku terus menerus berkata agar aku menjaga diri, langsung kedalam rumah, dan mengusir Justin.
"Sepertinya Dadmu menyukaiku, dan aku tahu sikap Mom mu." Jelas Justin yang membuatku tersentak.
Keningku berkerut, permasalahan ini turun bertubi. Memikirkan perkataan Mom yang bergilir menjadi ucapan Justin tak kalah pentingnya, "maksudmu, kau tahu mengapa Mom tak menyukaimu?"
"Ya.."
"Kenapa?"
Ia mendesah panjang. "Siapalagi selain Jeremy?"
"Dad lagi?"
"Hm. Dia mengancam Mommu untuk menjauhiku atau dia akan menghancurkan seluruh keluargamu. Tetapi ketahuilah, sepintarnya Jeremy, dia hanya pintar memutar kata saja. Aku tak yakin ia sanggup melakukannya"
"Tapi Justin.."
"Aku anaknya. Dia adalah sosok yang sangat kuketahui. Sayangnya, pasukanku masih kurang untuk mengalahkannya saat ini. Percayalah padaku, Jeremy takkan bisa menghancukan karir ibu ataupun ayahmu yang mereka bangun sendiri"
"Justin.." aku menggeleng, mencerna kata demi kata. Ini memusingkan, maksudku, aku memang tak yakin tetapi, ucapan Jeremy kala itu membuatku merunduk dan menuruti kemauannya. Dan kini Jeremy tak hanya mengancamku, melainkan Mom, dan Justin? Ia tak takut? Apa ini karena bukan masalah keluarganya? Atau memang Jeremy tak sekuat yang ada dibayanganku?
Tiba saja tangannya mengenggamku erat "Percaya padaku. Kita masih bisa bersama Sayang. Aku mencintaimu, dan sebaliknya. Tak ada yang bisa memisahkan cinta sejati. Kau harus tahu bagaimana kacaunya aku tanpamu. Aku mohon.. beri aku kesempatan satu kali lagi untuk berjuang denganmu.. tetapi jika aku gagal nanti, aku berjanji akan menjauh dan takkan menganggu hidupmu selamanya. Aku juga akan menggantikan semua yang sudah kurugikan atas perjuangan cinta kita. Aku mencintaimu"
Dammit. Kata-katanya meluluhkanku. Sontak, airmata itu mengalir. Aku tak sadar mengangguk dengan suara serak membalasnya. "Aku juga mencintaimu" dan ia memelukku, erat, kubalas dengan pelukan sama kuatnya. Seolah aku benar-benar menginginkan ini berhasil. Seolah aku tak ingin kehilangannya kedua kali, seolah dia cinta matiku. Seolah dia adalah segalanya. Dia memang seperti itu, dan akan selamanya didalam hatiku.