Yn pov
Tulang hidungku patah. Untungnya Nathan menemaniku berobat malam ini, aku juga tidak menyarankan dirinya untuk mengetahui apartement-ku. Jadi, aku terhenti dihalte bus dengan alasan yang logis secara alami dibuat oleh akal sehatku. Ponselku tertinggal diapartement setelah Nathan menjemput petang tadi, awalnya aku menginginkan Justin yang mengantarku. Lantaran ia harus mengadakan dinner dengan keluarga Clara, aku tak bisa mengganggunya. Bagaimanapun Clara adalah tunangan Justin, lalu siapa aku?
"Terimakasih Nath tumpangannya. Aku minta maaf karena kau hanya mengantarku sampai disini saja"
"Ya, tak apa. Kau menerima tawaranku saja sudah cukup untukku. Hati-hati dijalan, dan sampai bertemu lagi disekolah besok!"
"Ok" aku membalas senyuman manisnya dan beranjak keluar dari Mobil Mercedez Hitam milik Nath. Lambaianku seiring dengan melesatnya mobil dijalanan utama. Setelah tak terlihat, aku beralih memutar tubuh untuk kembali pada apartementku.
Untungnya Lift sudah diperbaiki, memasuki kubikel lift hingga menunggunya sampai dilantai atas.
Ting.
Pintu lift terbuka, aku bergegas keluar. Melewati beberapa ruang sebelum tersampai didepan ruangan milikku. Aku menekan kata sandi pintu dan langsung terbuka, terdengar teriakan seseorang yang membuat diriku tertahan untuk segera masuk didalamnya.
Aku menoleh.
Justin?
"Justin?"
"Hey,.. kau darimana sayang?" Nafasnya terengah, bisa kupastikan ia menggunakan tangga darurat.
"Berobat dirumah sakit,dokter bilang tulang hidungku patah akibat hantaman Hailey" ujarku miris. Gadis batinku berteriak meminta pertanggung jawabannya, rasanya ingin seperti gadis pada umum-nya yang menginginkan dambaan hati-nya menanyakan bagaimana kondisi luka atau sekedar menemani. Tetapi Justin tidak, aku mencoba mengerti meskipun aku tak ingin. Justin yang tak mengerti perasaanku hanya mengangguk, seketika suasananya begitu canggung. Kuputuskan untuk berjalan mendahuluinya masuk kedalam apartemen disusul oleh Justin.
Berjalan kedalam kamar, Justin mengekoriku. Kuletakkan tas selempang pada gantungan didinding serta melepas jaket yang kukenakan. Justin yang terduduk dipinggiran bangkar hanya memperhatikanku. Hidungku kena perban karena hantaman Hailey sukses membuat kebiruan serta darah mengalir tak hentinya. Saat diklinik-pun aku sempat tak sadarkan diri, menangisi keadaan bahwa sebenarnya aku membutuhkan Justin disana.
Membuka lemari, meraih piyama bermotif polkidot dengan corak warna putih dan peach. Justin yang tampak acuh sepertinya memberiku akses untuk membuka baju serta celana jeans yang kukenakan dihadapannya dengan mengganti menggunakan piyama. Aku memang sudah terbiasa dengan dirinya, tubuh ini sudah menjadi milik Justin seutuhnya dari setahun lalu.
"Kau sudah makan?" Aku akhirnya bertanya. Bahkan hati ini tak tahan untuk bertengkar dengannya dalam jangka waktu yang lama. Justin mengangguk keras, aku melupakan dinner-nya dengan keluarga Clara yang membuat hati ini kembali diselubungi rasa bersalah atas pertanyaanku serta rasa sakit yang kian menusuk,entahlah—apa aku barusaja merasakan cemburu pada Clara?
Justin bangkit, aku terdiam ditempat. Sungguh, suasananya begitu lenggang, Tak seperti biasanya. Kakinya melangkah mendekat kearahku dengan wajah super datarnya. "Hey.." tangannya sudah mencapai pinggangku, refleks tanganku menyentuh kedua bahunya. "Aku minta maaf karena tak ada disisimu saat kau rapuh, aku menyesal. Aku bahkan sudah lalai menjagamu hingga kau terluka seperti ini. Maafkan aku"
Iris mata karamelnya memancarkan warna keemasan saat dibawah raungan lampu kamar, menatap lekat kedalam milikku. Aku mengangguk lemah, mencoba menahan gejolak dalam diri yang memaki untuk bersikap tegar dihadapannya.
"Sayang.. jangan menangis, aku minta maaf. Ok?" Tangannya mengusap pipi-ku yang sudah dibanjiri airmata, aku sendiri tak mengerti mengapa harus selemah ini dihadapannya. Namun sungguh, aku membutuhkannya sedari disekolah. Rasa sakit yang menjalar ditubuhku seketika menghilang. Aku bernaung dalam pelukannya setelah mengigit bibir bawah-pun tak berhasil membuatku untuk tidak menangis lagi.
Diatas bangkar-ku, Justin melindungi tubuhku dibawah selimut yang menaungi kedua tubuh kami. Perutku yang sedaritadi berbunyi ingin diberi isi tidak menyurutkan diriku untuk memandanginya yang kini bertelanjang dada, membiarkan wajahku berada didadanya, mendengar detak jantungnya yang beraturan serta nafasnya. "Kau sendiri sudah makan?" Justin akhirnya bertanya setelah terdiam beberapa saat dalam pemikiran kami masing-masing. Aku terlena, tak mengerti apakah aku harus mengatakan bahwa aku sudah melewati dinner seorang diri yang menjadi kebohonganku malam ini, atau menuruti keinginan perut dan meninggalkan moment bahagia ini?
"Ayo aku ajak kau ke-restoran kesukaanku. Kebetulan aku juga sudah lapar" Justin menggeser tubuhnya menjauh dan turun dari ranjang. Aku menggeleng, dan berkata bahwa makan malam bersamanya dalam Restoran adalah ide buruk yang tak mungkin kami lakukan. Tetapi Justin tengah memakai kembali baju polos putih tanpa jas formalnya dengan Jeans, menarikku bersamanya.
Aku mendesah, menuruti keinginannya.
Dengan mobil Ducati berlapis platinum yang sempat menjadi topik pembicaraan Hailey dengan Zeya saat di Café sekolah, aku malah teringat pada sosok Cody yang memberinya secara cuma-cuma untuk seorang bocah tengik yang bersamaku. Lihat sekarang? Dia berusaha membuat hubungan ini terlihat jelas dihadapan semua orang, dan aku harus menghadapinya bahwa sewaktu-waktu ini akan membuat diriku kehilangan pekerjaan di Graha's.
"Ada apa? Kau tampak tak suka?" Ujar Justin setelah aku tersadar dari lamunan dan Mobilnya terhenti depan restoran bernuasa eropa klasik kuno dengan didukung oleh pelayan-pelayan yang sudah menunggu didepan pintu. Ya Tuhan, lancarkanlah.. aku terus mengumpat meminta semuanya berjalan dengan baik. Tak ingin seorangpun memergoki kami berduaan disini.
"Tidak, aku.."
"Ya sudah, ayo" Justin sudah turun setelah membuka safety belt nya. Aku mengikuti, ia mengunci mobilnya sebelum merapatkan tubuhku dengannya. Seorang pelayan wanita menyambut. "Selamat datang di-La Bella, ada yang bisa saya bantu?"
"Aku ingin yang lebih Privat, kau bisa membantu?" Justin berbisik ditelinga sang gadis yang sepertinya membuat dirinya tingkah berlebih atas tindakan Justin, bisikan yang masih mampu terjangkau pada telingaku.
"Apa anda sebelumnya memesan tempat?"
"Tidak, aku harap kau bisa membantuku" Justin menyelipkan beberapa lembar dollar ditangan sang gadis, lantas si pelayan yang kutebak umurnya masih tak jauh dari Justin itu tersenyum puas, mengantar kami kedalam ruangan begitu besar dan mewah. Berbagai kursi disediakan, namun hanya terisi oleh sepasang disudut ruang. Justin memilih ujung paling jauh dari mereka, seolah meminta yang benar-benar privat. Pintu penghubungnya-pun terbuat dari kaca buram, takkan mampu membuat siapapun bisa melihat kedalamnya. ini benar-benar privat.
"Kau ingin pesan apa Sayang?" Justin membuyarkan lamunanku atas restoran megah ini, si pelayan itu menunjukkan ketidaksukaannya atas ucapan Justin dan melirikku dengan tatapan yang berbanding terbalik dengan apa yang diberikan kepada Justin. Tatapan mematikan tak terlihat.
"A-aku.. aku pesan Rice dengan Chicken Teriyaki and hot Chococino"
Justin tertawa lirih, "kau pikir ini di Mc.Donals? " tatapannya kembali pada si gadis—pelayan, lengkap dengan sebuah note ditangannya, "aku pesan seperti biasa. Atas nama Bieber, dua dan minuman yang sama seperti yang kupesan kemarin"
Gadis itu mengangguk, mengerti dengan ucapan Justin yang terlihat begitu bersahabat. Bahkan saat berbalik meninggalkan kami, si gadis sempat mengigit bibir bawahnya, membungkukkan badan mengambil pulpen yang ia kenakan saat terjatuh , alhasil membuat belahan kedua dadanya terlihat Jelas. Justin yang malah menatapku membuat si gadis kecewa dan berlalu dengan perasaan terluka.
"You're heartbreaker"
"Why?" Justin mengerutkan keningnya,