Aku memberanikan diri untuk muncul dihadapan mereka, dengan senampan minuman untuk Ashton. Baik Mom dan pria itu kini langsung terdiam, enggan melanjutkan.
"Minumnya." Kuletakkan diatas meja, Adele yang masih sibuk bermain itu tidak memperhatikan.
"Thanks"
Aku mengangkat kedua alis sebagai respon. Lama bungkam, setelah aku duduk disofa, Mom memutuskan untuk keluar rumah dengan alasan mencari udara segar dan membeli beberapa bahan dapur.
Sampai mobilnya keluar rumah, menyisakan aku, Adele dan Ashton seorang. Adele tak berkomentar banyak, ia sama sekali acuh dan sibuk untuk bermain. Dimana Ashton menatapku dalam keheningan.
Semakin lama tatapannya menjadi sebuah tindakan was-was. Aku tahu, Ashton tidak seperti Nathan atau Justin yang liar diwaktu tertentu, tetapi jujur saja kebisuan ini membuatku jenuh. Aku memutuskan membuka suara ketimbang terus bimbang dalam pikiran yang terus berkelana kesana kemari.
"Jadi.. bagaimana kuiahmu?" Aku berbasa-basi.
"Baik, semester selanjutnya aku akan kerja lapangan. Ya, semoga saja aku bisa"
"Kau pasti bisa, kau pintar. Aku tahu itu"
Ashton tersenyum, "ya, tetapi tak sepintar untuk mencuri hatimu untukmu"
Deg. Brengsek, apalagi ini? Tawaku terdengar terpaksa dan penuh tekanan. "Ashton.."
Ia tertawa, lepas, terdengar mengerikan sekaligus menyenangkan? "Kau tampak pucat. Jangan serius, aku hanya bercanda.." ia mengacak rambutku yang sepundak. Menyesap minuman buatanku sebelum bangkit dari sofa.
Adele langsung mengalihkan perhatiannya, menatap Ashton seolah menginginkan dia untuk tetap tinggal. "Kau mau kemana?"
"Aku harus pulang Adele.."
"Kenapa?"
"Karena Mom ku menelfon untuk memintaku segera pulang dan memakan masakannya" alasan Ashton tampak menggelikan terdengar, tetapi sukses membuat Adele mengerti. Dengan wajah mayunnya, Adele mendekap Ashton sebagai salam perpisahan. "Aku akan merindukanmu gadis kecil.."
"Jangan lupa kemari.. aku juga merindukanmu.."
"Ya, aku akan kemari," dikecupnya kening Adele dan diturunkan dari gendongan tubuhnya hingga Adele berdiri tegap. Giliranku memberikan pelukan singkat sebelum dirinya keluar rumah dan menghilang bersama derungan mesin motornya.
Adele kembali melukis diatas kertasnya, ditemani olehku. Lebih menyenangkan bermain bersama Adele seorang diri dibanding bersama Ashton. Menyenangkan untuk Adele, tetapi tidak untukku.
"Yn.. apa ini bagus?"
Aku ikut menoleh pada lukisan yang ia buat. Begitu sederhana, terlukis tiga orang yang saling bertautan tangan. Yang ditengah berukuran lebih kecil dengan rambut ikatan, sedangkan tangan keduanya saling menggenggam seorang wanita dan pria dimasing-masing sisi.
"Siapa dia? Ini pasti kau kan?" Aku menujuk yang tengah. Adele mengangguk.
"Ini aku, itu kau.." jarinya menunjuk pada seorang gadis disisi lain dari sosok Adele digambar.
Tetapi, belum selesai menceritakan imajinasinya, kami terburu teralihkan pada sosok diluar rumah. Justin. Jantungku rasanya copot melihat tubuhnya berdiri diambang pintu, bahkan tak kudengar mesin mobil ataupun motor yang masuk kehalaman rumah.
"Ju-justin?" Ujarku gugup. Sudah berdiri untuk menghampiri. Justin tidak menatapku, melainkan tersenyum ramah pada Adele disana. "Sedang apa kemari?!" Tanyaku sedikit kesal.