Aku mempererat pelukan dalam lindungan selimut tebal yang menutupi tubuh kami. Justin menatapku, ada keinginan yang begitu mendesaknya hingga menyentuhku berulang. Deruan nafas kami sama-sama cepat.
"Aku yang membawamu keluar dari Club malam ini, kau jangan khawatir, karena kali ini tak ada yang melihat kita" jelasnya tiba-tiba, yang membuatku terkejut sekaligus tenang bersamaan. Aku memercayainya, bagaimanapun caranya Justin juga akan bertindak dengan tetap menjagaku. Meskipun tidak, aku memang tetap akan kehilangan pekerjaan ini, sekuat apapun tenaga yang kuhasilkan untuk menjaganya tetap untukku.
"Kau percaya kan?" Aku mengangguk, Justin seharusnya tahu bahwa aku sangat mempercayainya. Kemudian, Justin kembali menciumiku, kali ini lebih ganas. Tangannya merapatkan pinggangku hingga jerry kembali memasukiku, aku merintih. Menancapkan jari-jari dipunggungnya, mataku terpejam seketika Justin mulai menggerakkan tubuhnya maju mundur secara berirama. Ranjang yang menjadi saksi bisu akan perbuatan kami ikut bergerak hingga headboard nya berulang kali menghantam tembok seiring dengan gerakan Justin yang dipercepat.
"Justin..."
Aku terus menggumamkan namanya ketika Justin tak sadar sudah bergerak terlalu cepat. Tak hanya itu, ia kini berpindah hingga mengambangiku, sementara dirinya berada diatasku. Hanya bertopang pada kedua lengannya yang kekar, Justin memulainya lagi. Lagi-lagi ranjangku hingga bergerak menabrak dinding yang membuat desahanku semakin kuat. Seperti energi baginya, Justin malah mempercepat gerakan bawahnya hingga aku tak sadar membuka mulutku, membiarkan deruan nafasnya yang terengah memasuki paru-paru. "apa ini nikmat, ha?" Justin masih bergerak, ucapannya terbata namun terdengar jelas. "Buka matamu sayang.." perintahnya dengan suara penuh menggoda.
Aku mencobanya, memegangi lengannya seraya menstabilkan tubuhku yang tengah dijamahinya. "Apa ini nikmat Yn? Ha?" Justin bertanya untuk kesekian kalinya, aku mengangguk lemah dalam tatapan sayupku yang berhadapan dengan mata karamel miliknya yang penuh hasrat, warna coklat gelap yang biasa Justin tampilkan lenyap dalam lensa hitam pekat dengan tajam penuh dengan kebutuhan yang ingin ia penuhi denganku. Damn, Justin tak berhenti memasukkan Jerry-nya lebih dalam hingga rasanya memenuhi rahimku. Brengsek!
"Justin.. cukup.. kau harus pergi kesekolah.."
Ia tak mendengarkan, sama sekali tidak. Justin menghentakkan satu kali dengan begitu kasar hingga aku menggerang keras. "Ah!"
Lagi, hingga ketiga kalinya, "Justin!" Dan kami sampai bersamaan. Justin tergeletak disampingku. Aku bergerak memeluk dada bidangnya yang dipenuhi keringat, mendengarkan detak jantungnya serta nafasnya yang tampak tak stabil. "Apa kau senang sekarang?"
Justin mengangguk, menggeser tubuhnya hingga berhadapan denganku. Tangannya bergegas mencari selimut yang kini terlempar jauh hingga keujung bangkar, menariknya hingga menutupi tubuh kami berdua. "Aku sedang tak bernafsu untuk mengerjakan ujian konyol itu, sungguh, aku bisa melakukan susulan. Kau saja pergi."
Aku menggeleng. Bersamanya lebih lama membuatku nyaman, aku akan merindukan yang satu ini, bercinta dengannya. "Aku ingin disini. Bersamamu"
Justin tersenyum miring, penuh makna tersembunyi. "Apa aroma tubuhku setelah melakukannya bersamamu membuat kau sulit berpaling?" Aku mengangguk yang membuatnya merasakan kemenangan pagi ini. Kicauan burung yang sedaritadi bertengger diranting pohon dengan tirai jendela terbuka membuat kami tersadar bahwa selama itu, kami membiarkannya begitu terekspos.
"Aku lupa soal jendelanya. Lagipula kamarmu berada dilantai paling atas. Mana ada orang yang melihatnya, dan ditemani cahaya matahari dari jendela membuat tubuhmu semakin menggairahkanku"
Aku cemberut, "tetapi kau tak menyentuh bagian atasku sedari awal. Kau bermain langsung pada intinya"
"Sejujurnya, aku ingin. Tetapi akan memakan waktu lama, lagipula kau harus bekerja bukan?" Deruan nafasnya masih terengah, "aku sudah mengatakan padamu, aku akan disini" jawabku sedikit memaksa, tetapi Justin justru melepaskan pelukanku. Dengan cekatan ia memakai kembali boxernya seraya bangkit dari bangkar.