Sekitar pukul 3 pagi, aku terbangun, Sadar akan tangisan seseorang yang kini menemukan Yn meringkuk disamping ranjang. Kucoba mengusap mata untuk menyempurnakan pandanganku.
Dia disana, kusejajarkan posisi disampingnya. "Hey, kau belum tidur?" Tak tahu pasti alasannya menangis, tetapi itu membuat hatiku terpukul jika memang karena Nathan.
"Justin.."
Sekarang ia malah memelukku, erat, masih menangis yang membanjiri pakaianku.
"Nathan?" Ujarku to-the-point.
Yn menggeleng, mata merah bekas tangisan itu menatapku. "Aku takut.."
"Takut kenapa Sayang? Aku disini, kau tahu itu kan?"
"Aku tahu.. aku tahu.." ia mengangguk, hatiku kembali teriris. Tangisannya menyakitiku, aku bersyukur jika bukan karena Nathan, namun apapun itu, ini menyakitkan. "Aku takut.."
"Aku disini. Kau jangan khawatir, aku akan selalu ada untukmu"
Tangannya meremas pakaianku, lama tak ada ucapan lagi. Ia sama sekali tak bercerita alasannya menangis ataupun merasakan perasaan takut seperti ini. "Apa yang kua takutkan?" Tanyaku lagi, benar-benar bosan dengan pertanyaan penuh tanya diotakku.
"Aku takut menemui Dad Jeremy. A-aku.." terputus, lagi, mencoba mengatur sisa tangisannya yang sudah mereda. "Aku takut.. dia tak menyukaiku, aku takut.. aku coba untuk berani, terlebih tinggal satu langkah lagi.."
Brengseknya otakku langsung tertuju pada ceritaku malam tadi, mengenai Shawn dan Gadis itu. Rasanya ketakutan kehilangannya begitu mengental pada tubuhku. Aku gemetar, begitu shock sekaligus memberiku beribu tanggapan mengapa Yn mengatakan ini padaku. Aku tak ingin nasibku seperti Shawn. meskipun aku dipindahkan hingga kekutub utarapun, aku akan tetap mencintainya.
"Sayang.. kau bicarakan apa? Dia pasti menyukaimu. Apapun itu, aku akan membantumu. Kumohon jangan katakan seperti itu lagi Yn.. aku mencintaimu.. sangat.." kukecup pangkal kepala dan setetes airmata jatuh.
"Aku tau, aku juga mencintaimu.. aku hanya takut.. maafkan aku Justin"
"Ya, aku memaafkanmu Sayang.."
..
Yn pov
Justin mengajakku jalan. Kesebuah pusat pembelanjaan terkenal. Bukan mampir ke supermarket ataupun yang biasanya pasangan-Pasangan lain lakukan, aku dan Justin justru masuk pada area bermain. Setelah membeli beberapa koin,Justin mulai bermain dari bermain basket yang dimasukkan pada sebuah ring. Aku tertawa saat bolaku sama sekali tak ada yang masuk kedalam ring, sedangkan dirinya nyaris sempurna.
Tak sampai situ, kami melakukan photobox yang kebetulan ada disana. Berpose selama empat kali, gambarnya langsung tercetak. Yang membuatku terbahak karena salah satu diantaranya Justin tampak beraut layaknya hendak menangis, dimana yang satunya ia malah menciumku. Sungguh menggelikan.
"Ini lucu.." ucapku menunjuk pose teratas, kami saling menyilangkan tangan untuk mencubit pipi bersamaan. Ia mencubitku, begitupun aku sebaliknya.
"Ini favoritku" benar saja, Justin menunjuk pada bagian dimana kami bercium bibir. Sekejap, tak ada nafsu seperti biasanya. Entahlah, Justin sedang dalam mood baiknya.
"Aku lapar.."
Ia menoleh, menatapku yang meringis dihadapannya. "Ayo kita makan, aku tahu makanan cepat saji yang enak disini"
"Benarkah? Ayo.."
Aku bersendawa setelah piringku sepenuhnya kosong. Justin terbahak yang membuat pipiku memerah.