Hari ketiga dirumah sakit.
Justin semakin bertambah sehat, sesaat dokter memeriksa lengannya, Justin dinyatakan sudah bisa dipulangkan. Ada kelegaan sendiri, menyadari senyuman Justin muncul begitu senangnya. Ia masih tampak seperti bocah cilik untukku, dan bagaimana aku mencintainya itu terbilang aneh.
Dokter dan para perawat berlalu. Rencananya, setelah mengurus administrasi, aku akan mengantar Justin pulang. Karena Justin ingin dipulangkan hari ini juga. Aku mendekat, Justin yang masih tampak bahagia itu menatapku.
"Aku bilang apa, ini hanya masalah sepele"
"Kau ini.. tetap saja bandel, aku tak mengerti jalan pikiranmu" aku menggeleng tak percaya. Kuakui, perlakuannya membuatku luluh lagi. Yang semakin mendesak, Ashton sama sekali tidak memutuskan meskipun kedua matanya memergokiku bersama Justin.
"Apa yang kau pikirkan?" Tangannya yang menggenggam ku erat sekarang berbalik bertanya, sebuah pertanyaan yang menguras pikiranku. "Apa kau coba untuk meninggalkanku lagi?"
"Justin.."
"Lalu?" Ia menunggu.
"Tak ada. Aku harus memberesi semua pakaianmu"
Saat tangan kami saling terlepas, Justin kembali menahanku. "Kau akan bersamaku kan?" Mata karamelnya itu terlalu berharap, aku semakin jatuh dalam dekapannya dan aku mengangguk.
"Aku bersamamu. Sekarang lepaskan aku dan biarkan aku beresi semuanya."
"Oke.."
..
Justin tak ingin diantar menggunakan kursi roda. Seolah sudah benar-benar sembuh, ia berjalan dengan tegapnya keluar rumah sakit. Membawa sebuah tas yang berisi pakaiannya selama ini. Justin mencegat taxi. Demi apapun, aku sendiri tak tahu kemana Justin akan membawaku. Aku diam, menurut untuk mengikutinya. Toh, Mom akan mengerti begitupun Dadku.
Didepan sebuah hotel, Taxi itu terhenti. Aku terbelalak kaget membaca nama hotelnya yang ternyata menggunakan Mahone's disana. Mungkin Justin mendapatkan fasilitas gratis dari Austin selama ini.
Dimeja resepsionis, Justin mengambil kunci kamar. Pakaian Justin selama dirumah sakitpun diantar oleh Cody, kebetulan ia tengah berada di Texas untuk seminggu ini. Begitulah yang kudengar.
Didalam kubikel lift, suasananya benar-benar hening. Canggung melanda. Entah mengapa aku menjadi ragu berbincang dengannya. Seperti pertemuan pertama, atau kencan pertamaku dan dia yang terbilang cukup aneh. Aku ingat saat setelah Justin mengutarakan perasaannya padaku, aku hanya diam. Aku sendiri jatuh cinta padanya sejak lama. Dan malam itu Justin mengajakku kencan disebuah taman. Disitulah ia menciumku, tanpa berbincang dan ia mengendaraiku pulang kerumah. Sungguh menggilakan.
ting!
Pintu lift nya terbuka. Justin menarik pergelangan tanganku untuk mengikuti langkahnya. Lengannya seakan sudah tak merasakan sakit, karena ia menggenggamku erat. Yang satunya sibuk menyangking tas.
Diruang pojok, Justin membuka. Ternyata dugaanku salah. Bukan hanya kamar, ini semacam apartement mini. Mungkin penthouse,entahlah apa nama kerennya. Yang pasti, disini begitu bersih. Justin masuk pada ruangan dimana aku mengekorinya. Mataku menangkap sebuah ranjang berukuran sedang. Tidak sebesar ranjang miliknya di Ny.
"Kau pasti lapar, aku juga lapar. Kau masaklah, aku mandi"
"Jadi, aku masak sendiri?" Tanyaku balik.
Ia terkekeh, "sebuah kode untuk mengunjungi restoran?"
"Tidak.. maksudku, aku tidak lapar. Tetapi aku akan memasakkanmu"
