Dalam kamar Justin menjatuhkan tubuhku diatas ranjang, wajahnya yang hanya berjarak beberapa jengkal dariku tampak ganas. Mengigit bibir bawahnya dengan tangan bermain pada rambutku.
"Kau sexy, kau cantik, kau begitu menggairahkan.." ujarnya tanpa jeda langsung menciumku secara brutal. Kubalas ciumannya yang kini menuruni lekuk leherku.
Aku merasakan sesuatu menyentuh bagian sensitifku, Justin dengan tangan nakalnya sudah pada titik kelemahanku, dimana tubuhku menggeliat saat dirinya memasukkan satu jarinya padaku. Aku mengerang, "ahh.."
Bibirnya bermain pada kedua dadaku. Yang tadinya berada dibawah, Justin menggeser tangannya , meremas buah dadaku dengan gemas hingga diriku kembali mengejang sesaat. Kakiku menghimpir kakinya yang berada pada tengah tubuhku. Kali ini bibirnya menuruni kedua buah dada, mengulumnya dengan pembukaan paksa hingga pakaian yang kugunakan sedikit sobek. Tak hanya itu, tangan Justin menjelajahi pinggangku secara berkala, membuat sensasi aneh yang kurasa. Tak sadar, aku terus mengigit bibir bawah secara kasar menikmati semua sentuhannya.
Justin menyempong dadaku, menggigitnya kecil. "Ahh.. Justin.."
Braku terangkat namun belum sepenuhnya terbuka. Justin turun hingga pusar, lidahnya bermain diatas permukaan kulitku, yang membuatku terkekeh. Menarik dirinya keatas untuk kembali mencium bibirku.
"Mengapa kau selalu melarangku untuk bermain dibawah sana?" Protes Justin saat menarik diri dari ciumannya. Aku hanya tersenyum, sesuatu yang segar muncul dari sudut bibirku, jika bukan karena Justin yang membersihkannya, mungkin aku tak tahu jika Bibirku terluka karena kelakuanku sendiri.
Justin kembali menciumku, terus melumat hingga aku benar-benar merangsangnya dengan menarik sedikit rambutnya, menenggelamkan jemariku didalamnya, menelusuri rahang sempurnanya dan menarik dirinya keluar dari zona nyaman.
"Kau tak menyentuhku?" Akhirnya aku bertanya, setelah lama berciuman namun Justin sama sekali tak mengekspos bagian bawahku sedikitpun. Memang aku melarangnya jika menggunakan bibir, tetapi tidak dengan Jerry. Jujur saja, aku terangsang.
Justin menggeleng, dimana jawabannya menjadi sebuah penghalang nafsuku malam ini. Ia tertidur disampingku. "Aku sedang tidak mood, maafkan aku"
kujatuhkan diri diatas dadanya yang kembang kepis secara beraturan. "Kenapa?"
"Aku tak tega memberi Nathan hukuman seberat itu, terlebih saat aku tahu gadisku menangis karenanya"
Aku yang mendengar itu terasa memanas. Tak tahu, ada penyesalan disana. Penyesalan yang tak bisa kuartikan. Aku menolak dan menyesal karena menangis untuk Nathan, tetapi hati kecilku berkata menyesal karena tak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya. Toh, meskipun Nathan menyentuhku saat itu, bukankah tak ada pengaruhnya? Keperawananku pun sudah musnah karena Justin.
Tidak, aku tidak menyesal. Aku tidak akan mengungkit itu sama sekali.
"Aku menangis karena ia mengirimiku teks, yang membuatku mengulang peristiwa sialan itu. Hanya itu,sungguh"Justin yang menatap langit kamar tampak berkonsentrasi dengan pikirannya sendiri, tersenyum ketika mendengar penjelasanku. "Justin.. kau cemburu?" Dan lagi, pertanyaan yang langsung menjurus kuajukan.
Justin tersenyum masam, "tidak, sudahlah.. tidurlah, aku akan menjagamu"
"Tidak, aku tak mau. Aku ingin kau menidurkanku."
Ia tersenyum miring, segera menyampingkan tubuhnya membuatku lebih leluasa memeluk tubuhnya dimana dirinya pun membalas pelukanku. "Tidurlah, kau pasti lelah"
"Ya, kau juga tidur" aku yang menengadah menatap mata karamel itu penuh arti. Justin mendaratkan bibirnya untuk mengecupku sebelum aku menunduk lagi, menenggelamkan wajah didalam dada bidangnya.