Pasar malam diTexas. Untungnya Dad mengijinkanku untuk pergi bersama Justin, sampai disana, tempatnya begitu ramai. Banyak terpajang berbagai lampu menghiasa disekitar dengan para penjual yang beraneka. Justin membawaku kedalam sebuah photobox dengan membayar pada tukang karcis sebelumnya. Berpose 4 kali, fotonya langsung tercetak.
Kami memang sering melakukan, bahkan dulu saat di Mall, Justin selalu mampir pada area photobox seperti ini. Entah sudah berapa foto yang kami hasilnya.
Aku melihat gambarnya, tak begitu buruk, begitupun dengan Justin. Satu lagi, hari ini Justin tampil beda, warna rambutnya sedikit pirang dan sedikit terpangkas habis. Tetapi ia masih terlihat tampan untukku, selalu.
"Kau cantik.."
Aku tersipu malu saat kalimat itu terlontar. Sialnya, hampir semua pujian yang Justin berikan padaku membuatku blushing. "Aku memang cantik dari lahir"
Justin terkekeh, "ya aku tahu, mungkin fakta seperti itu yang membuatku tak bisa jauh darimu"
"Benarkah?"
"Menurutmu?"
"Tidak, kau bisa. Maksudku, bisa kacau" ledekku yang membuat Justin tertawa.
Digenggam kembali tanganku menelusuri pasar malam, menikmati malam indah dengan beberapa orang berlalu lalang. Biasanya aku menggandeng Thomas disisi lain, dan aku merindukannya sekarang.
"Apa yang kau pikirkan?"
"Hah?" Mata kami bertemu, Justin yang selalu membaca gerak-gerikku.
"Kau memikirkan sesuatu?"
Aku menggeleng. Hanya sepele, tetapi tak bisa terulang. Thomas, bocah cilik yang berseteru dengan Justin mencuri perhatianku. Ibunya yang ternyata mantan pacar Justin. Damn, aku sendiri tak yakin untuk mengingatnya. "Aku merindukan Thomas. Hanya itu" ujarku menyerah saat mata karamel itu terus memacuku untuk berterus terang.
"Thomas? Aku bertemu dengannya. Dia sudah besar, maksudku, dia begitu lincah, dan masih memusuhiku"
"Kau bertemu dengannya? Dimana?"
Akhirnya Justin memutuskan untuk terduduk pada sebuah bangku panjang ditepian taman, masih area pasar malam. Tangannya membelai rambutku, mengaitkan beberapa helai pada balik telingaku. "Saat dimall, aku membeli rokok, bertemu Caitlin dan Thomas. Setelah itu aku tak mengingatnya"
"Kau amnesia?"
Tawa renyahnya tercipta, "bukan sayang, hanya saja, saat itu pikiranku tertuju padamu. Aku tak peduli dengan apapun. Jadi, aku melupakan apa yang mereka katakan padaku"
"Sedalam itukah cintamu?"
"Apa kau masih tak percaya?" Wajahnya makin mendekat, aku yang tak bergerak menunggunya, Justin menggulum bibir bawahnya yang mengering dengan sontak berpengaruh pada kerongkonganku yang tiba saja mengering. Kutelan ludahku dalam-dalam. Kini hening kami saling menyentuh. "Apa kau masih meragukanku?" Nafasnya yang hangat menyapu permukaan wajahku saat Justin berucap. Begitu menggoda yang membuat mataku terpejam.
"Aku percaya"
Bukannya terdiam ditempat, tanganku malah melarikan diri hingga mengambil lekuk lehernya mendekat, dimana bibir kami bertemu. Justin melumatnya, merasakan bagaimana benda lembab itu memainkan bibirku, tanganku yang meremas rambut tipisnya dimana begitu licin untuk kugenggam. Rambut Justin yang masih tumbuh berdiri itu menusuk kulit tanganku, dimana menambahkan sensasi aneh untuk menggenggamnya erat. Justin sama denganku, tangannya mendekat untuk mendekap pinggangku hingga tubuh kami benar-benar dekat.
Ini gila, dimana aku selalu berciuman liar diarea publik. Aku menyontohkan tak baik untuk anak-anak kecil yang mungkin menonton aksi kami saat itu.