Cahaya pagi menyinari sosokku, aku tersadar bahwa aku tertidur didalam mobil. Bukannya kebugaran tubuh, aku malah semakin merasakan sakit dibagian lengan, kedutan diantara bibir dan pipi juga kakiku yang terkilir. Keseluruhan badanku remuk. Saat menggerakkannya, tanganku kembali berkedut kencang yang membuatku menjerit.
"Fuck!" Gumamku kesal, dengan menggunakan salah tangan lain, kurogoh saku untuk menghubungi Yn. Tak peduli reaksinya bagaimana, yang pasti aku butuh kepastian, kembali padaku atau aku akan masuk dalam ring lagi.
Ponselnya tersambung. Kudapatkan nomornya dari Shawn yang langsung dari Mom Yn. Aku sendiri belum pernah menemui kedua orangtuanya, kembali ke telfon, aku menghubunginya dan beberapa kali tak terangkat.
Airmataku turun deras, brengsek, rasanya tanganku kembali kebas, aku tak merasakan apapun lagi. Darah yang membeku disudut, itu membuat keadaanku semakin tumbang.
"Hallo?"
Ia mendahului percakapan. Aku menstabilkan pikiranku yang kacau dimana suaranya mulai memasuki telingaku, "Yn.. help me.." suaraku serak, tak kuasa menahan airmata. Sakitnya luar biasa. Mungkin tadi malam aku tidak tertidur, melainkan tidak sadarkan diri?
Yn terdiam, ia jelas tahu suaraku, mungkin ia sedang menimbangkan untuk memutuskan telfon atau menungguku bicara.
"Demi apapun jika kau tak kemari, mungkin ini adalah yang terakhir kalinya kau mendengarku.. " aku meringis, lenganku kambuh lagi, tulangnya masih belum membaik. Aku butuh medis, aku tahu itu.
Masih tak ada jawaban, tetapi aku sadar ia masih disana. "Yn.. please give me a chance.." tambahku lagi.
Lama, Yn sama sekali tak mengangkat suaranya. Aku yang terus mempertahankan kesadaranku untuk mendengar keputusannya.
"Kau dimana?" Yn akhirnya bersuara.
"Aku diarea Roxy's? Kau tahu kan?"
"Sedang apa kau disana?! Baiklah, aku kesana. Kau tunggu aku.." tampak kekhawatiran didalam suaranya, yang membuat senyumanku terangkat. Telfon kami terputus, disaat bersamaan pandanganku menjadi samar dan akhirnya gelap.
..
Yn pov
Roxy's? Sedang apa dia disana? Dia menangis? Dia tampak kesakitan? Apa dia melakukan tarung bebas? Bukankah area itu paling kejam? Justin senekat itu?
Pertanyaan itu berkecambuk didalam kepalaku, berputar yang membuat diriku terjebak selama perjalanan. Aku menggerutu saat Taxinya dilanda kemacetan jalanan Texas. persetan!
Butuh dua puluh menit sesampainya diarea, aku memandangi sekitar, menghubungi Justin berulang tetapi tak ada jawaban. Aku menyapukan kesekitar, diantara semua mobil yang terparkir, aku tertarik pada benda berwarna hitam dengan dua orang disisi berlawanan tengah berusaha mengintip sesuatu didalamnya. Mereka bertubuh besar, tetapi karena kekhawatiranku, aku sama sekali tak merasakan takut untuk mendekat
"Dia pingsan. Buka paksa pintunya!" Si pria bertubuh besar itu tampak panik, aku sendiri baru melihat bagaimana yang berfisik kasar masih memiliki hati semulia ini.
Saat pintu mobil terbuka, aku mencoba mencari celah untuk menatap yang ada didalamnya. Sekarang bukan hanya kami yang menonton, melainkan beberapa orang lainnya berkumpul. Pria itu tergeletak dengan kepala terjatuh pada kemudi mobil. Matanya terpejam, dan dia Justin!
Aku bergegas menyingkirkan tubuh besar pria itu, menaiki dijok pengemudi untuk lebih dekat dengannya. Justin tak sadarkan diri, airmataku mengalir, menyentuh tangannya yang terluka. Sangat terluka. Dimana tangan kirinya terhentai jatuh tak jauh ponselnya berada, lengan kanannya terluka, bahkan tulangnya terlihat jelas disini. Darahnya berkumpul disatu sisi.