"Jam berapa? Aku mengirimi-mu pesan berpuluh ribu kalinya, apa kau tak melihatnya satu-pun Yn?" Pertanyaan bertubi terlontar dari Justin yang sudah menunggu diapartement-ku. Ia terlihat kesal, seolah tahu bahwa aku bersama Nathan siang tadi.
Menghela nafas panjang, "aku membuat soal ujian, lagipula, aku tak ada waktu lagi mengerjakannya, jadi kuputuskan untuk melembur hingga semuanya selesai" mataku beradu dengan mata Hazel diarah sofa sana. "Sejak kapan kau disini?"
Justin menaikkan alisnya, bangkit dari sofa kearahku. Rasanya detak jantungku kembali tak terkontrol. meski aku berusaha untuk tidak gugup dihadapannya, tetapi mereka benar, Justin memang tampan. Berpandangan dengannya saja membuat hati ini kembali meluluh, semua sikap brengseknya menghilang dengan pesona didalamnya. Dia milikku.
"Kau tak bersama Nathan lagi kan?" Justin meraih pinggangku, merapat kearahnya, "aku mencium baunya dari sini" meletakkan bibirnya tepat dilekuk leherku. Aku yang tak bisa mengatur diri, memeluk punggungnya dengan sedikit membuka mulut merasakan nafas yang kini menggelitiki kulitku.
"Kau pikir kau ini Edward Cullen?"
"Aku terlalu tampan menjadi dia, sayang.." suaranya seksi, mencekat kerongkonganku seketika. Caitlin benar, aku tak bisa mengelak untuk terbuai dalam belaiannya.
Justin tepat mencium dibagian bibir bawahku, memegangi rahangku dengan kedua tangannya, "jadi, jawab aku. Kau pasti selingkuh dengan guru baru itu kan?"
Aku terkekeh, mendengar dirinya yang merajuk menjadi obat tersendiri atas aktifitasku seharian ini. "Tidak, aku setia padamu" saat itu juga, aku meraih bibirnya untuk bertemu dengan milikku, saling memakan satu sama lain hingga terdengar suara decakan yang menggugah hasratku. Bahkan tak sadar, tangan ini sudah berpindah untuk bermain dalam rambutnya, Justin yang terbuai, menyeimbangkan tubuhku agar tidak terjatuh karenanya.
Aku menjauh, Justin memajukan bibirnya dan merengek untuk meminta lebih. Tetapi perut ini terasa kosong karena sedari siang aku terlupa untuk mengisinya. "Aku lapar.."
"Ok, aku menunggu" Justin kembali terduduk disofa, menatap layar tv yang menyala. Siaran bola.
Justin yang terlihat menikmati acarnya tak menyadari aku yang sudah menyelinap masuk kedalam kamar. Mengganti pakaian dengan piyama serta menggosok gigi sebelum tidur. Tak lupa, aku juga memastikan alarm sudah terpasang dengan jam yang telah diatur. Kini, aku bernaung dibawah selimut. Menikmati malam didalam kamar diiringi dengan suara samar-samar yang dihasilkan dari tv.
..
Tersadar dari tidurku, aku mendapati Justin yang masih pulas disampingku. Dengan bertelanjang dada dan benda asing yang mungkin membuatku sedikit tak mempercayainya. Buku itu terbuka, beberapa rumus matematika yang ditulis oleh tangannya begitu rapih dengan berbagai ragam warna pulpen yang dirancang sedemikian rupa. Diam-diam, Justin mulai menuruti ucapanku mengenai rangking disekolah. Itu bagus, aku tersenyum bangga.
Aku beralih diri kearah dapur, membuatkan sarapan untuknya. selagi memasak, Ponsel-ku yang berada diatas meja berbunyi.
"Hallo?" Aku.
"Yn? Kau sudah memesan tiket untuk kemari? Sedari kemarin, aku tak mendapat kabar apapun" suara perempuan disana terdengar cemas, nada yang sering kudengar semenjak dulu. Saat aku berlari, dan terjatuh. Memulai menaiki sepeda, dan aku terluka. Aku merindukannya, Mom.
"Aku sudah membelinya beberapa minggu yang lalu. Aku juga sudah mulai membenahi barangku. Kau jangan khawatir"
Seraya melanjutkan masakanku, Spagetti yang sebelumnya kurebus sudah mengembang, aku berhati-hati untuk mengangkatnya dengan tangan terbungkus sarung berbahan anti panas. "Ya sudah jika kau memang membutuhkan sesuatu, telfon saja Mom ataupun Dad. Oke sayangku?"
"ya, Mom. Pasti"
"Love you my dear"
"Love you too Mom, Bye.." dan telfon kami terputus. Aku menghela nafas sejenak. Bukan inginku meninggalkan kota dimana aku memulai karir, semua impianku selama ini tercapai, tetapi aku harus. Aku tak bisa membohongi diri untuk menutupinya, meskipun aku akan kehilangan semuanya, termasuk Justin. Aku bahkan tak bisa membayangkan bagaimana aku bisa hidup tanpanya.
"Membeli apa? Membenahi barang? Memangnya kau akan kemana?"tiba saja Justin sudah berada dibelakangku, aku yang terkejut setengah mati hampir kehilangan akal sehatku. Justin menatapku penuh curiga, aku sendiri tak tahu bagaimana menceritakannya, mendadak perutku memanas, sesuatu didalamnya meledak-ledak hingga menggugah rasa yang tak bisa kujelaskan. Yang pasti kepalaku menjadi berkedut begitu kencang.
"Hmm.. sebentar lagi liburan semester dimulai, Mom memintaku untuk berlibur ke Texas. Itu saja"
"Lalu, mengenai membenahi barang, apa kau bisa menjelaskannya?"
"Ya, well, bukannya semua liburan harus membenahi barang? Seperti pakaian, dan peralatan lainnya. Itu wajar, bukan?" Aku menelan kelenjar Saliva-ku perlahan, gemetar tubuh menguasai. Aku berharap Justin akan mempercayaiku.
Dari tatapan wajahnya, Justin tampak menggangguk kecil hingga akhirnya berbalik dan mengambil tempat disalah kursi meja makanku, "aku lapar. Bisakah kau memberiku makan?"
"Tentu," sekuat tenaga diriku melanjutkan acara masakku meskipun tak se-excited sebelumnya. Begitu kejam dan entahlah—didalam hatiku terdalam, aku tak ingin meninggalkannya, Tidak. Hubungan ini begitu indah, aku tak pernah merasakan sebegitu besar cinta seorang pria kepadaku,Bahkan Bryan. Mengangkat panci, aku meniriskan spagetti nya dengan dibarengi membuat bumbu barbeque kesukaan Justin. "Dimana Thomas? Ini akhir pekan, biasanya anak mantan itu sudah disini" lagi, Justin bertanya. Dan untuk kedua kalinya aku tersentak, membuat panci yang kupegang meluncur bebas dari tanganku. Air didalamnya mengenai punggung Kakiku, alhasil aku menjerit.
"Panas.." aku meringis. begitu cepat gerakan Justin hingga sudah berada disampingku, menyingkirkan panci dengan cepat. Mengangkat-ku hingga terduduk diatas kursi, aku terkesiap melihat gerakannya yang langsung berlari kearah kotak P3k, mengambil gel penghilang rasa panas. Dengan perlahan, tangannya mengolesi bagian dari kakiku. Yang membuat airmataku menangis, mengapa aku tak bisa memilikinya untuk selamanya?
"Sakit sayang? Mengapa kau sampai menangis?" Dari bagian kakiku yang terluka, tangannya meraih wajahku untuk memaksa menatapnya. Aku menggeleng, memejamkan mata dengan semua gambaran yang mulai muncul dipikiranku, aku takkan sanggup. Entah berapa kalinya aku menggeleng, namun rasa panas yang kurasa dibagian kaki berubah menjalar keseluruh tubuhku, hingga pangkal kepala. Aku tak kuasa menahannya lagi, damn. Aku mencintainya.
Justin meraihku, tangannya membungkus badanku hingga semerbak aroma maskulin dirinya tercium, tak lama aku membalas pelukannya. Aku memang membutuhkan ini, aku membutuhkan dirinya saat aku rapuh. Aku sadar, siapa aku dan siapa dia. Dia, anak pewaris perusahaan sepatu ternama diAmerika yang mungkin sudah bercabang diberbagai belahan negara didunia. Penerus Adolf Dassler, penemu Sepatu Adidas itu tengah memelukku. Mencintai gadis Texas yang dilahirkan dari keluarga sederhana dengan semua keterbatasan keluarga. Ayahku yang hanya penernak dan pemilik perkebunan Anggur—pembuatan Bir, dan Ibuku seorang penjahit biasa.
Justin mencium pangkal kepalaku, ini kelewat nyaman. Hingga dirinya menarik diri, menghapus airmata yang masih menjatuhi pipi. "Apa yang sebenarnya kau sembunyikan? aku tahu, kau gadis tegar. Bukan karena kakimu terkena air panas, kau jadi secengeng ini. Katakan Sayang.." seperti dugaanku, Justin tak sebodoh yang terlihat. Bahkan kini ia tahu aku sudah menyembunyikan sesuatu yang takkan pernah kuceritakan padanya.
"Aku hanya teringat pada janjimu untuk mengajakku berlibur ke Seattle minggu depan. Aku menangis karena kupikir kau melupakannya, itu sebabnya aku menelfon Mom untuk pergi kesana sebagai gantinya. Namun pada faktanya, aku masih menginginkan untuk pergi bersamamu. Sungguh.."
Justin yang mendengarku, tersenyum tipis. Senyum yang akan selalu kurindukan, "aku takkan melupakan itu sayang.. kupikir tidak baik untuk menggagalkan rencanamu apalagi jika menyangkut orangtua. Aku tak ingin merusak kebahagian-mu jika mengenai Keluarga, lagipula setelah kupikir ulang, bagaimana jika kita keTexas bersama? Aku juga ingin bertemu dengan Mom serta Dad-mu"
Airmataku semakin deras, entah mengapa hatiku semakin tersayat. Seandainya ia tahu yang sebenarnya.. aku menangis tersedu dihadapannya, beban-ku semakin berat, aku sendiri tak sanggup menahannya. Aku mengangguk, seolah menyetujui permintaannya. Nyatanya, tidak akan mungkin terjadi.